Minggu, 07 November 2010

Buku Favorit

"Apa buku favoritmu?"

Gadis itu memutar bola matanya yang dan memberhentikannya sedikit lama ketika menatap langit-langit. Kelas yang berdebu karena penghuninya tidak rajin piket ikut menunggu jawaban yang keluar dari mulutnya. Hari ini pelajaran Bahasa Indonesia, pelajaran yang cukup digemarinya sejak setahun yang lalu saat kelas 1 SMP.  Saat itu, seorang guru Bahasa Indonesia yang tua tapi menyenangkan telah mengambil hatinya. Hatinya untuk memahami tiap kata yang terbaca oleh matanya.

Gadis itu sebenarnya tak punya buku favorit yang sering dia baca hingga berkali-kali. Dia hanya sering meminjam buku, membacanya dengan gembira, menangis saat ending cerita menyentuh perasaannya, dan bercerita pada siapa saja tentang buku yang pernah sempat digenggamnya.

"Saya tidak punya buku favorit, Bu, " jawab si Gadis.
"Kenapa? Apa kamu nggak pernah baca buku?" tanya Bu Guru.
"Saya...saya suka baca buku tapi saya tidak pernah punya buku favorit, Bu. Karena semua buku yang saya baca adalah favorit saya, " jelas si Gadis.
Bu Guru terdiam sejenak di depan papan tulis. Agak terkejut ampaknya ketika mendapati seorang anak berusia 13 tahun melontarkan jawaban seperti itu. Dibandingkan seorang anak yang menjawab bahwa dia menyukai buku tentang marxisme atau supernova, jawaban Si Gadis lebih mengejutkan untuknya. Karena dalam jawaban itu, terselip sebuah "rasa" yang lebih dari sekedar rasa kagum dalam memfavoritkan satu judul buku tertentu.

Penggalan kisah pendek di atas saya pake buat memberikan salah satu gambaran mengenai jawaban seseorang ketika diberikan pertanyaan apa-buku-favoritmu-? padanya. Sebenarnya belum tentu juga orang yang memiliki jawaban seperti Si Gadis adalah orang seperti yang dipikirkan oleh Bu Guru. Bisa saja orang yang menjawab seperti itu adalah orang yang jarang baca buku tapi pernah mendengar jawaban macam itu dan menganggap jawaban itu keren, atau bisa juga karena dia gugup diberi pertanyaan itu hingga dia lupa buku favoritnya apa, atau bisa juga karena dia adalah penikmat komik dan majalah, jadi memang nggak punya buku favorit. Hehe..

Saya sendiri tidak punya buku favorit. Tapi untunglah saya punya penulis favorit. Saya pikir tiap orang sebaiknya bisa memberikan jawaban konkret atas segala pertanyaan yang ditujukan padanya karena jawaban itu adalah passion-nya. Setidaknya, seseorang yang punya pilihan bersikap, bertindak, memutuskan menurut saya adalah orang yang keren. Kecuali jika itu menyangkut hal-hal yang ghaib, saya no comment. Mungkin kamu akan tertawa mendengar siapa penulis favorit saya. Bukan Fira Basuki, bukan Dewi Lestari, bukan Paulo Coelho, bukan Pramudya Ananta Toer, bukan Sir Arthur Conan Doyle, ataupun bukan Raditya Dika.


Bisakah terbaca olehmu siapa pengarang buku merah di atas?
Itu penulis favorit saya. Enid Blyton (11 August 1897 – 28 November 1968).
Bukan tulisan puitis melankolis yang kaya diksi khas sastra ataupun berbau teori politik ataupun style majalah fashion, tapi tulisan ringan untuk menghibur anak TK dengan gambar berwarna-warni. Ada seri Indonesia-nya tuh, dan saya punya lho. tapi entah sekarang dimana. Kalo ketemu besok saya pajang disini ahhh.

Ceritanya sederhana banget. Noddy, adalah boneka kayu. Yang membuat Noddy adalah seorang kakek tua dan si kakek ketika itu sedang membuat boneka singa dan Noddy tidak suka. Noddy kabur, dan bertemu dengan Telinga Lebar (itu tuh, bapak2 tua berkerucut merah yang sangat sayang dengan sepeda tuanya). Petualangan mereka pun berlanjut di Negara Mainan, negara dimana Telinga Lebar merasa Noddy cocoknya tinggal. Baca sendiri deh di deskripsi cerita lengkapnya di http://www.facebook.com/#!/pages/Noddy/137057639657812

Selain Noddy ini, Enid Blyton juga memukau masa kecil saya dengan buku-buku Malory Towers' dan St.Clare's Series (cerita tentang dinamika sekolah asrama cewek di Inggris dan guru-guru yang berkarakter lucu. Hampir mirip Hogwarts, tapi ini sekolah biasa, mamen, bukan sekolah sihir), Lima Sekawan dan Pasukan Mau Tahu (cerita detektif remaja gitu)..ternyata cuma sedikit bukunya yang masuk ke Indonesia (atau yang sempet saya baca?) Karyanya banyak bangeeettt, dan terutama sangat ngetop di era 40 hingga 50-an.

Enid Blyton menyampaikan ceritanya dengan sangat sederhana. Pelajaran-pelajaran kecil yang penting untuk diketahui anak-anak, dan bacaan yang kalo bahasa saya, "menyehatkan" kita. Buku Enid adalah buku yang pertama kali menggerakkan saya untuk mulai menyukai buku bacaan yang isinya tulisan semua. Ini juga karena kakak saya yang dua-duanya adalah laki-laki, nggak pernah pinjem serial cantik jadi saya nggak tahu ada komik serial cantik dan sebagai gantinya paling banter adalah komik dragon ball dan buku-buku Enid ini.
Mengenang masa-masa membaca buku Enid Blyton mengingatkan saya bahwa banyak sekali buku yang harus saya baca saat ini. Bukan buku-buku mengenai petualangan detektif atau pengalaman si Noddy. Tapi saya harus baca, katanya demi masa depan saya. Hehe


Malam ini adalah malam ketiga pasca letusan merapi yang dahsyat, Jumat (5/11) dini hari lalu. Teman-teman kecilku di tempat pengungsian, sudah tidurkah kalian? Ingin kubacakan sedikit cerita petualangan Noddy untuk kalian, tapi kalian pasti lebih tertarik jika tokoh yang kuceritakan bernama Upin Ipin atau Bernard.. Yasudahlah gakpapa. Tidurlah. Tidurlah dalam doa yang panjang, mendoakan Merapi yang tak kunjung terlelap.




Kamis, 04 November 2010

Berani Mimpi, Berani Hidup Lebih Lama Lagi

"Orang-orang kayak kita ini, kalo nggak punya mimpi, udah mati, boy!" kata Arai.

Bermimpi hanya kita yang tahu. Bermimpi tak butuh uang atau tenaga. Tapi bermimpi butuh tekad. Aku pun pernah punya mimpi. Banyaaaak sekali mimpi. Banyaaaak sekali untaian kata sejak yang pertama kali kuukir saat kelas satu SMP hingga tadi malam sebelum aku terlelap 9 jam lamanya.

Ada seseorang yang membuatku ingin bermimpi dan melompat lebih tinggi. Keluar dari dunia yang sekarang sedang kugeluti. Cerdas, ya itu dia. Sederhana, ya itu dia. Hidup dalam dunia berbeda, ya itu dia.

Dia berhasil membuatku ingin bermimpi. Di ruang ini akan kuletakkan tentang mimpi-mimpi itu. Dan, yah..mimpiku yang pertama adalah menggapai gelar sarjana dengan gembira. Maka itu, selamat pagi dunia. Aku tak akan kalah karena aku tak ingin. Aku akan melompat lebih tinggi lagi karena aku ingin bertemu dengan orang yang telah mengajariku mimpi itu.


Membaca tulisanmu yang cerdas
membuatku pusing karena buatku itu berat
Memperhatikan caramu bicara dan memilah kata
membuatku minder karena rasanya aku kalah telak
Maafkan aku jika menulis banyak tentangmu,
Aku, hanya sedang mengagumimu 


Rabu, 03 November 2010

dekat, tapi jauh

Anak itu mendongak. Dan gadis itu merasakan kata-kata yang tadi meluncur deras dari mulutnya menjadi sedikit terbata-bata dan berhenti total pada akhirnya.
“ Kak!” gadis itu dipanggil sekali.
“Ya?” jawab si Gadis sambil memalingkan wajah dengan wagu.
Dan sisa hari itu tak bisa dihabiskannya dengan tenang. Berpikirlah dia tentang anak yang tadi mendongak padanya itu. Sudah lama sekali sejak terakhir kali dia merasakan tak bisa lepas dari perasaannya terhadap seseorang Sore itu ia serasa diguyur air dingin yang membuat hatinya beku beberapa detik, dan tetap beku pada detik-detik berikutnya hingga Cuma malam yang akhirnya mencairkan hatinya. Malamnya, hatinya kebetulan sempat tercairkan tiga jam. Lalu dia bangun, dan mendapati keningnya panas. Panas bukan karena pusing, bukan gejala flu atau tipus, atau bahkan kesiram air panas.
Sejak hari itu, ia tak pernah absen datang ke tempat yang sama, dimana dia bisa melihat seseorang-yang-menyita-semua –pandangnya-di sore-hari. Gadis itu mengamati bagaimana anak itu berjalan, mengetik, membaca, tertawa, datang dan pergi naik motor, tertidur, terbangun. Lama-lama jadi freak juga, pikir si Gadis sambil menertawai diri sendiri.
Hubungan ini lebih seperti system emulsi. Emulsifiernya adalah system yang menaungi mereka. Menjaga mereka tetap dekat, tapi tak bisa menyatukan. Menstabilkan hidup mereka, tapi tak pernah benar-benar bersatu. Air adalah si bocah, dan minyak adalah si Gadis. Emulsifier memang mengikat mereka, dimana gugus polarnya mengikat si Bocah (air) dan gugus non polarnya mengikat si Gadis (minyak). Tapi emulsifier tak pernah mengijinkan mereka berjalan bersama. Karena mereka berbeda. Terlalu jauh berbeda.


Kayak gini ini kira-kira gambarnya emulsi. Antara globula minyak (dark) dan droplet air (light) yang telah menyatu dalam satu sistem emulsi, tapi  tetep aja kepisah. 



diakses dari :http://chestofbooks.com/food/science/Experimental-Cookery/The-Type-Of-Emulsion-Formed.html
Namun gadis itu lalu melamun. Pada dasarnya apa yang diciptakan secara antagonis oleh Tuhan adalah nikmat. Kalau dia dan si Bocah sama-sama bermuatan positif atau sama-sama bermuatan negatif, maka tak pernah ada yang butuh emulsifier. Tak akan ada merapi maupun pantai selatan yang memberikan pelajaran kemanusiaan, tak akan ada golongan kiri dan kanan yang saling mengedepankan idealisme masing-masing, tak akan ada yang namanya mayor label dan indie, tak ada lagi mimi lan mintuna*lama-lama  marmos*..sederhananya, tak indahlah dunia, boy.
Si Gadis masih menunggu seseorang-yang-menyita-semua-pandangnya-di-sore-hari datang.  Datangkah dia? Dia pasti datang, batin si Gadis. Dia pasti datang. Pasti datang. Pasti.

Ingin kuletakkan pena di mejamu agar kamu bisa terus menulis
Tapi aku gak bisa melakukannya
Ingin kusodorkan rokok agar kita bisa berbincang bersama dengan santai
Tapi aku benci asap rokok
Ingin kuberikan buku agar bisa bercerita kamu padaku di sepanjang sisa soreku
tapi bukuku cuma buku ecek-ecek
mungkin terlalu remeh untuk kau baca


Ingin kuberi tahu sesuatu padamu
Aku benar-benar menunggumu sore itu.
Tahukah kamu?

agak lebay juga sih kalo sampe hujan2 gini. kalo ujan yo ngiyup lah. tapi boneka ini lucu..ketoke kiy sediiihh banget hingga langit pun meneteskan air mata untuk menunjukkan empatinya..aku ambil dari blognya orang http://brahmasta.net/2007/04/19/menunggu-2/