Rabu, 26 Desember 2012

Indekos Baru


Selamat datang di rumah baru!
Empat belas bulan ke depan saya punya rumah tinggal baru. Sebuah keluarga kecil di tengah perkampungan Jawa-Bugis yang cukup ramai, dengan dua orang anak, satu laki dan satu perempuan. Perjalanan menuju rumah tinggal baru dilakukan pada hari ke-4 saya di Kalimantan setelah tiga hari awal dibuka dengan acara pisah-sambut (pisahan dengan Pengajar Muda/PM lama dan penyambutan PM baru) di ibukota kabupaten Paser, Tanah Grogot.
Kiranya tak perlu terlalu panjang tentang deskripsi perjalanan ya. Tapi sekilas, saya mau coba gambarkan rekam transprtasi yang bisa ditempuh jikalau Anda kebetulan tersesat di Balikpapan dan seberangannya. Pendaratan pertama adalah di Bandara Sepinggan, Balikpapan. Ingat, bahwa Balikpapan bukan ibukota Kalimantan Timur! Saya entah kenapa masih menyangka bahwa Balikpapan adalah ibukota provinsi Kaltim hingga saat naik angkot dari bandara menuju dermaga penyeberangan. Parah ya. Tapi yasudah, yang penting kan sudah sadar toh? Hehe.
Tadi dari bandara, naik angkot dulu kita, men, ke dermaga penyeberangan Balikpapan-Penajam Pasir Utara atau kerap orang sebut Penajam saja. Mengekor pada teman-teman PM 3, kami (PM 5) dinaikkan ke kapal yang mereka sebut dengan nama perusahaan penyedia jasa angkutan kapal tersebut. Belakangan saya baru tahu bahwa perusahaan penyedia jasa ini cukup tersohor di daerah Paser. Menyeberang Cuma butuh waktu 30 menit. Belum lepas penat beristirahat di kapal, lanjut lagi dengan perjalanan darat nan panjang selama 3-4 jam dari Penajam menuju Tanah Grogot.

Seperti yang sudah disinggung di atas, hari ke-4 baru dimulailah perjalanan menuju rumah tinggal permanen kami para PM 5 selama bertugas. Lokasi penempatan saya ada di Kecamatan Longkali, yang sebenarnya sudah dilewati saat pertama kali datang. Jadi kalau ditarik garis lurus dari dermaga Penajam ke Grogot (kata “Tanah” sering dihilangkan untuk mempersingkat waktu bicara, sama seperti “Tanjung Priok” yang lebih sering disebut “Priok” saja ketimbang disebut lengkap), maka Longkali adalah titik lokasi pertama penempatan. Garis lurus tersebut adalah jalan raya yang menurut saya mirip jalanan Pantura tapi versi imut dikit dan lebih bergelombang, dan patokan menuju desa penempatan PM di Longkali adalah sebuah gang yang disebut Gang Ali. Konon katanya dipilih nama “Ali” karena di dekat situ ada rumah besar milik Haji Ali, rumah yang semula saya sangka masjid karena dibangun dengan arsitetur agak ke-timurtengah-an mengingatkan saya dengan istana dalam cerita 1001 malam.

Dari gang Ali, lumrahnya bagi yang tidak punya motor adalah harus ngojek. Tak tanggung-tanggung, biaya satu kali ngojek dari gang Ali ke rumah hostfam saya ditembak sebesar 35ribu rupiah. Ada bagian jalanan yang sudah aspal, ada yang berbatu-batu, ada yang tanah lembek dan licin. Pemandangan kanan-kiri sawah seperti berasa di Jawa, serta alang-alang tinggi ketika melewati Desa Sarang Alang, desa tetangga yang kaya akan alang-alang.  

Dan taraaaa!! 30 menit dari Gang Ali, sampailah di desa saya, Desa Maruat namanya. Sebelum mencapai rumah hostfam, terlebih dulu saya dipertemukan dengan sekolah tempat saya mengajar, SDN 019 Longkali. Ada lapangan rumput yang becek dengan rumput liar setinggi lutut di beberapa tempat, cat hijau pudar yang bertuliskan nama sekolah, dan tembok-tembok polos yang rasanya ingin saya gambari suatu saat nanti.
Saya kini menjadi anggota keluarga ke-5. Setelah Bapak, Ibu, Nanda, dan Doni, turutlah saya dalam daftar transmigran Jawa yang berijin tinggal selama 14 bulan di Kalimantan Timur. Rock onnn!!!!

-ditulis tanpa mendengarkan musik apapun selain musik cecak dan suara fan laptop-

Keliru


Sudah pernah membuat anak orang menangis tersedu-sedu? Berapa kali?

Saya sudah pernah, dan berkali-kali. Haha. Salah satu kelemahan saya di depan anak-anak adalah meihat mereka menangis, meskipun seringnya saya yang buat mereka begitu. Rasanya seperti disalahkan oleh dunia ketika melihat mereka murung dan mulai menangis. Apa yang telah salah saya lakukan dan ucapkan? Mulai dari membimbing untuk melakukan sesuatu, mengerjakan latihan, hingga maju tampil ke depan entah menjawab soal atau sekedar bernyanyi sudah pernah saya coba. Niat awalnya benar-benar suci lho ini, yaitu ingin agar anak-anak lebih berani. Ohya, tipikal anak-anak saya mayoritas adalah anak-anak yang “baik di sekolah”. Nakal dan hiperaktif sih iya pasti, tapi bukan itu masalah terbesarnya. Barulah ketika menangani sendiri anak-anak ini, pertanyaan macam “seperti apa mereka di rumah?” mulai muncul ke permukaan. Makin lama, pertanyaan ini makin tebal, mengeras, dan ukuran font-nya membesar, trus berubah warna makin lama makin pekat. Halah.

Berkaca dari diri sendiri terlebih dahulu, saya melihat bahwa cara didikan orangtua di rumah ternyata terbukti menyeleksi sikap-sikap tertentu yang kita gunakan di masa depan. Selebihnya, alam dan lingkungan yang membentuk pribadi kita. Orangtua saya tidak pernah memukul, saya tidak tinggal di lingkungan orang yang suka main tangan, maka saya pun tak terbiasa menggerakkan tangan untuk ‘menegur” orang lain. Orangtua saya tidak marah dengan kata-kata kotor, lingkungan saya kadang sangat “kotor” kadang “bersih”, maka saya memilah-milah. Tentu saja lebih banyak terseret lingkungan pada akhirnya. Hahaha!! :p. Orangtua saya selalu mengerjakan segala sesuatunya dengan tidak bergantung pada harapan untuk dibantu orang lain, lingkungan saya kadang sangat “memanjakan”, maka saya pun tumbuh menjadi orang yang suka kelayapan (pergi jalan-jalan)  sendiri.

Terlalu seringnya anak-anak minta tugasnya untuk dipentan (huruf “e” dibaca seperti pada kata “desa”, yang artinya diberi nilai) membuat mereka mengukur kemampuan melakukan sesuatu berdasarkan benar-salah. Ya, saya sendiri juga seringkali memberikan nilai angka pada mereka di beberapa kesempatan. Terkadang ada tugas-tugas kecil yang tidak untuk saya ambil nilainya, tidak saya beri nilai, melainkan hanya diberi semacam tanda penyemangat. Saya bilang bahwa penanda-penanda tersebut memiliki rentang nilai sendiri-sendiri. Kalau di Hogwarts punya sistem penilaian O untuk Outstanding hingga T untuk Troll, eh bukan, P untuk Poor, maka secara sederhana saya kenalkan anak-anak disini dengan Excellent hingga Keep Spirit (sering dibaca oleh anak-anak dengan “escelekete” dan “kip sprit”. Hadeh).

Inilah kemudian yang sempat jadi bumerang untuk saya sendiri. Suatu ketika saya sedang menemani anak-anak belajar malam di rumah saya. Tugas mereka malam itu adalah membuat soal dari kotak-kotak angka yang saya berikan, dengan cara membuat pohon soal. Pohon soal adalah pohon dimana daun-daunnya ditulisi soal-soal hitungan dari angka-angka yang diberikan dan “berbuah” jawaban. Instruksinya adalah masing-masing anak membuat soal dan jawaban sendiri untuk nantinya ditukar dan mengerjakan milik teman lain.  Tiap “daun pertanyaan” akan memiliki warna yang sama dengan “buah jawabannya” sendiri, dimana letak daun dan buah adalah acak.

Salah satu anak, Hasna, membuatnya dengan memberikan nomor baik pada soal maupun jawaban tanpa saya instruksikan. Hal ini tentu saja menjadi tinggal pelajaran mewarnai saja akhirnya. Pada saat membahas, jadilah teman-temannya mempermasalahkan pekerjaan Hasna yang kurang benar, tidak sesuai instruksi yang diberikan. Disinilah proses “penilaian” secara alamiah dilakukan oleh anak-anak : menilai benar-salah dari tingkat kebenaran mengikuti instruksi yang diberikan. Betul memang harapan saya agar semuanya mengikuti instruksi dengan baik dengan kebebasan mengembangkan apapun selama proses membuat tugasnya. Karena dalam pikiran saya, hal apapun itu, konsep dasar harus dibangun dengan benar dulu, barulah kran pengembangan kreativitas sepanjang proses belajar dibuka pol.
Tapi apa yang terjadi? Tak selamanya cinta itu indah, Jon (nostalgia lagunya Wayang – Tak Selamanya. Ingat? :D). Maksud saya, tak selamanya apa yang dibangun dalam kepala saya tersampaikan dengan cara yang tepat ke sasaran. Dalam diam Hasna kecil saya menangis, membelakangi saya. Punggung tangannya sesekali mengusap pipinya. Saya datangi ia, menanyakan alasan tangisannya malam itu. Lama ia menghabiskan air matanya. Adik Hasna yang masih 3 tahun, Hasni, juga ikut menenangkan kakaknya dengan duduk di samping Hasna. Lucu melihat Hasni mengelus-elus tangan kakaknya dan berucap “sudah kak, jangan menangis. Ayo kita pulang”.

Hingga akhirnya, setelah habis airmata di pipi dan matanya, Hasna menjawab pertanyaan saya (“Kenapa Hasna tiba-tiba menangis? Ibu jadi bingung ini kan?”) :

“Keliru, Bu. “ Lalu dia meneruskan. “ Saya salah mengerjakan. Harusnya ndak seperti ini. “ Sambil menunjuk buku tugasnya.

Dan seorang anak pun terkadang bisa sangat sedih ketika keliru dalam mengerjakan suatu hal, bahkan sebelum sempat dimarahi. Ada dua poin yang saya baca di sini. Yang pertama, pengaruh kebiasaan di rumah yang menjadikannya “perasa”, entah kebiasaan apa. Jelas tidak semua anak akan bersikap demikian pada kasus yang sama. Kembali ke apa yang dibicarakan di awal tadi, bahwa apa yang membentuk karakter anak sekolah usia di bawah 11 salah satunya adalah rumahnya. Saya pun jadi menghela nafas dalam-dalam, memperingatkan pada diri sendiri bahwa sebenarnya anak-anak pun menyadari kalau dia keliru. Poin yang kedua, jadi tanpa harus disalahkan atau dipojokkan karena kesalahannya, sebenarnya jauh di dalam hati mereka sudah sangat sedih. Lalu apa yang harus dilakukan?

Saya pikir tiap guru punya caranya masing-masing. Kalau saya pribadi, yang bisa saya lakukan adalah melapangkan hatinya dulu. Mengiyakan kekeliruannya, ya, tapi juga membesarkan hatinya bahwa dari yang keliru itulah kita beranjak untuk menjadi benar.

Karena saya percaya, apapun yang baik untuk mereka nanti, baiknya dimulai sejak saat ini. Ajari mereka hari ini, maka yakinlah mereka akan bisa melakukannya sendiri. Nanti.

-Dibuat sambil mendengarkan Bila Kau Tak di Sampingku dari album 7 Desember-nya Sheila On 7. Walaupun konteks lagunya bercerita tentang hubungan orang dewasa, tapi judul lagu ini menegunkan saya sebuah hal : bahwa akan kurang bisa dibayangkan kalau para pembelajar cilik ini nanti tidak lagi di samping saya-

Sabtu, 15 Desember 2012

Kembali ke "Rumah"


Hello, World. How’s your doing?

Yap, seperti janji saya, gelas pertama setelah istirahat sekian lama terisi kembali.

Saat ini saya sedang di Kalimantan bagian timur, Kabupaten Paser. Daerah tempat saya tinggal namanya Desa Maruat, Kecamatan Longkali, yang jauhnya 2,5 jam dari kota Balikpapan dengan sekali penyeberangan singkat di atas laut (sekitar 20-30 menit tergantung alat transportasi penyeberangannya) dan perjalanan darat 2 jam-an. Kedatangan saya di tanah Paser ini dalam rangka piknik memenuhi tugas sebagai orang baru yang bikin gaduh desa dan sekolah sekitar, kadang-kadang orang sebutnya Pengajar Muda. 

Entah apapun namanya, menjadi “pengajar” sungguhan sangat tak sebanding dengan proses meraih predikat itu sendiri. Seperti gelar sarjana yang melekat layaknya labelling, tinggal pilihan kita-lah yang akan membuat label tersebut tambah erat atau lepas sebagian, atau lepas seluruhnya dan menjadi seutuhnya diri sendiri.

Mari sebarkan semangat pantang menyerah. Semangat yang selalu murid saya, Aini, bilang jika ada teman lain yang mengeluh "tidak bisa, Bu!" untuk kerjakan soal. Aini bilang, "Kamu coba dulu naah.. Ndak boleh menyerah begitu." (dan seketika saya langsung ingin memeluknya). Karena ketidakbisaan sesungguhnya berawal dari keyakinan “tidak bisa dan pesimis”, maka sebaliknya pun mungkin sekali terjadi, bahwa “kebisaan” pasti muncul dari keyakinan “bisa dan optimis”. 

Jadi, mari tetap optimis, manis, dan menulis. Salam klimis.

-dibuat sore hari di depan tempat main game online, akses terdekat menyentuh internet dari desa, sambil mendengar suara tembak-tembakan..dzinggg dziinggg -