Rabu, 05 November 2014

Sekolah : Dari Buku Hingga ke Film Drama

As long as we move forward, we will be able to see many things* – Edison’ No Haha

sumber gambar :
https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5162005867100982596#editor/target=post;postID=4930790459765937567
Saya selalu suka membaca buku berlatar belakang sekolah lengkap dengan dinamikanya. Waktu saya kecil dulu, ada sebuah buku setebal buku Lupus berjudul “Cerita Hantu di Sekolah” yang mengambil latar tempat di Jepang. Dengan mengangkat isu hantu bernama Hanako yang kerap “mengajak main” kalau seorang murid sedang sendirian di dalam toilet nomor 4, atau hantu murid lama yang masih penasaran karena ada masalah yang belum terselesaikan di sekolah, atau sekolah yang dekat kuburan sehingga sedang di koridor lantai ke-sekian kerap terdengar suara-suara aneh, buku itu sukses membuat saya menaruh perhatian dengan bangunan bernama sekolah. Yah, walaupun fokusnya malah jadi ke cerita horor-nya, bukan kehidupan sekolah-nya. Tapi sekarang, daripada disuruh baca cerita horor, saya memilih disuruh lari pagi.

Selasa, 04 November 2014

Dua Tahunan Kita!

Waktu dan kondisi : jam 2 pagi, mabok borang (tapi masih sempet selfie #ealahselo)














Pada hari ini dua tahun yang lalu, ada sebuah pesawat jurusan Jakarta-Balikpapan yang mengalami turbulensi sekitar jam 9 WITA.

Kelas Sabtu bersama Padi dan Cacing

Ada kalanya ketika kita menginjak usia tertentu, usia itu menjadikan kita serba salah. Namanya usia tanggung. Jelas, bukan botol air mineral saja yang punya kemasan ukuran tanggung, nyatanya usia juga.

Mau ikut acaranya PEMUDA : udah ketuaan.
Mau ikut acara orang DEWASA : terlihat paling muda sendiri.
Huft.

Minggu, 12 Oktober 2014

Mengapa Jalan Terus, Bu?

Dalam tulisan sebelum ini, saya sempat mengatakan untuk menuliskan tentang alasan saya turut membantu kegiatan Pameran Kelas Inspirasi Yogyakarta bulan September 2014 lalu. Walaupun judul awalnya “alasan turut membantu”, pada akhirnya saya lah yang terbantu. Terbantu untuk memahami kerelaan. Tsaah.

Kalo kata Mitch Albom sih,

Satu-satunya waktu yang kita sia-siakan adalah ketika kita menghabiskan waktu dengan mengira kita sendirian.

Berjuang itu, walaupun untuk kebaikan diri sendiri, tidak bisa sendiri. Misalnya, ingin punya bisnis beromset besar. Apa mungkin sendiri membangun rancang proses produksi, jaringan, pemasaran, dan keuangannya? Ingin bisa sekolah lanjut. Apa mungkin sendiri hanya dengan belajar teori siang malam, tanpa peduli siapa yang harus bayar SPP, harus mencari beasiswa atau cari pekerjaan tambahan, siapa yang mendanai kebutuhan kuliah, dan sebagainya? Ingatlah bahwa di suatu tempat entah dimana, setidaknya ada 1 orang lain yang bermimpi sama, sedang berjuang sama kerasnya dengan kita. Masalah hasil? Tergantung.

Tergantung usaha dan keputusan pihak-pihak terkait.

See? Kalau itu sebuah bisnis, maka pihak-pihak terkait itu bisa mulai dari investor, suplier bahan baku produksi, hingga konsumen di pasar. Kalau itu adalah beasiswa, maka pihak-pihak itu bisa orangtua, teman dekat, atau bahkan pewawancara.
Mereka adalah orang-orang di belakang layar yang memberikan kepercayaan bahwa potensi keberhasilan dalam cita-cita atau tujuan yang kita bawa. Nah, dalam pameran Kelas Inspirasi Yogyakarta yang lalu, saya bertemu dengan orang-orang di belakang layar ini. Singkatnya, mereka-lah “alasan-turut-membantu” saya, orang-orang yang ada ketika ide ini dibuat, yang percaya bahwa ide tersebut bisa terwujud, dan yang MASIH ADA hingga akhir cerita.
Orang-orang ini bekerja atas nama “relawan”, yang menyisihkan beberapa waktu produktifnya yang berharga untuk mencari uang ataupun mengejar gelar hanya demi berkejaran dengan keinginan merealisasikan ide dan kenyataan bahwa dukungan untuk mewujudkannya tidak banyak. Dulu, saya hanya familiar dengan istilah “relawan” saat ada bencana alam. Dengan sigap dan heroik, orang-orang dewasa ini (saya sebut orang dewasa karena saat itu saya masih remaja, kalau tidak salah saat bencana tsunami Aceh tahun 2004) bahu membahu pergi ke pelosok tempat terjadinya bencana untuk bertemu para korban yang kehilangan nyaris seluruh hidupnya, baik itu materi maupun keluarga, dengan cara mengisi kegiatan, menyalurkan logistik, memantau kondisi bencana terkini, menggalang bantuan, dan sebagainya. Saya lihat semua itu lewat televisi dimana kata “relawan” sering mampir di telinga saya. Ada relawan medis, logistik, guru, psikolog, tentara, dan banyak lagi, baik dari dalam maupun luar negeri. Yang saya tahu, mereka datang dan menyibukkan diri tanpa bayaran berarti di tempat bencana itu karena satu hal : empati.
Empati membentuk sebuah harapan. Harapan merangkai suatu cita-cita. Cita-cita meminta penggerak. Dan bergerak memerlukan wadah serta pemikiran dan tentunya, keikhlasan. Tak selesai di situ, nyatanya relawan di kegiatan berbasis voluntir yang lain, tidak cukup hanya berbekal empati. Setidaknya, harus ada semangat jalan-terus untuk menyambung nyalanya empati yang kadang meredup nyaris mati.
Saya sendiri menemukan fase redup itu saat ikut mempersiapkan acara pameran ini baik dari dalam diri saya sendiri maupun saat saya memandang kepada orang lain. Tapi kemudian, dalam obrolan singkat sambil makan di satu malam, kawan saya mengatakan, “Kadang aku nanya sama diriku sendiri. Kita ini lagi ngapain sih? Memangnya ada sangkut pautnya dengan profesionalisme kita? Kok mau sih capek-capek?” Dia meneruskan makan sebentar, lalu menyambung, “Tapi semakin banyak pertanyaan macem itu, rasanya kok cuma jadi semakin jauh ya dari ikhlas.”
Kalimat itu dikatakannya dengan sangat ringan, dan darinya saya belajar 2 hal. Satu, bahwa dengan keluhan, tak akan pernah ada jalan. Dua, bahwa dari kegiatan yang awalnya serba minim bisa menjadi kegiatan pameran yang berjalan secara layak.

Lalu pada akhirnya, hanya niat bersih dan cita-cita besar yang akan menjaga kita semua dan negeri ini ke depan – Hikmat Hardono.

Bukan begitu?



p.s : tulisan ini saya buat untuk seorang kawan sekaligus kakak dan juga orang-orang yang berjuang di jalur yang sama, meski dengan kondisi jalan yang masing-masing berbeda kelak-keloknya, lubangnya, bebatuannya, tapi yakin bahwa tetap bergerak dalam keikhlasan adalah satu-satunya cara untuk terus maju dan mencapai tujuan. Atau mungkin melampauinya. 

Selasa, 16 September 2014

"Kecemplung" Pameran





Sepertinya catatan hutang tulisan saya semakin bertambah. Di awal bulan September saya sempat meniatkan untuk menulis setiap hari. Namun setelah 5 hari pertama, berikutnya tiada. Dan pada akhirnya, baru 10 hari kemudian, yaitu hari ini, mulai menulis kembali.

Apa yang terjadi selama seminggu kemarin? Jaga pameran.
Menjadi event organizer? Tidak juga, karena kalau dibayar, saya pasti sudah terbang ke Pulau Togean, Sulawesi, saat ini dengan bayaran tersebut. Haha. Ini pertama kalinya saya ikut mengurus suatu acara semacam pameran foto, setelah sebelumnya lebih banyak berkutat mengurus acara-acara seperti seminar, diskusi, latihan kepemimpinan, training, dll. Dan kalau biasanya acara pameran hanya melibatkan saya sebagai pihak yang datang, berkunjung, lalu terkagum-kagum, kali ini saya diberi kesempatan untuk belajar dari belakang layar bersama orang-orang hebat yang bersedia “ikut campur” di dalamnya.
Saya bisa dibilang “kecemplung” ketika akhirnya in charge secara penuh di kegiatan ini sejak 2-3 minggu sebelum hari H. Era “jadi panitia” buat saya sudah berakhir ketika Kelas Inspirasi Yogyakarta, 24 April 2014 lalu sudah terlaksana. Tapi ada satu hal, yang dalam tulisan terpisah akan saya ceritakan lebih detail, yang membuat saya kemudian memutuskan ikut mendukung acara pameran ini sepenuhnya.


Suasana Pamera (foto : Fransisca Tika)
Pameran yang berlangsung 8-14 September 2014 di Museum Pendidikan Indonesia UNY ini sebenarnya adalah kelanjutan dari gerakan sosial bernama Kelas Inspirasi Yogyakarta. Kegiatan puncak Kelas Inspirasi disebut dengan Hari Inspirasi, hari dimana ratusan profesional diundang untuk mengajar selama 1 hari ke SD-SD di Yogyakarta sebagai relawan. Selama berlangsungnya kegiatan, ada juga relawan fotografer dan videografer yang merekam jejak-jejak tersebut. Muara dari kegiatan sehari itu akhirnya berujung pada pameran 7 hari kemarin, Pameran Kelas Inspirasi. Konsepnya sederhana, jajaran foto dan tampilan video dengan barang-barang kecil sebagai ornamen yang mewakili keprofesian. Ide tentang barang-barang keprofesian ini sebenarnya hanya berawal dari gurauan kecil dengan beberapa teman di malam pembukaan pameran, tepat sebelum saling berpamitan pulang ke rumah masing-masing. Tapi dari gurauan yang diseriusi, jadi juga konsep lumayan di keesokan hari. Lalala. J
Selain pameran, ada pula workshop komunitas dan talkshow dengan 2 tema berbeda, tentang Kelas Inspirasi (yang diisi oleh relawan pengajar Daniel Denny Setiawan, Feriawan Agung Nugroho, dan salah satu kepala sekolah SD yang pernah disinggahi kegiatan Kelas Inspirasi) dan Pengajaran Kreatif. Sebanyak 12 komunitas pendidikan datang untuk open house dan melakukan workshop dalam rangkaian acara pameran, antara lain Solo Mengajar, Arsip UGM, Hoshizora Foundation, Koin Cinta Pendidikan, Save Street Child, Jogja Menyala, Kamera Analog Jogja, Sanggar Anak Alam, Book For Mountain, Gerakan KAMMI Mengajar, Kelas Inspirasi, dan Coin A Chance. Dari kehadiran mereka, saya ternyata bisa belajar bagaimana sebuah inisiatif gerakan menjadi berarti karena ada wadahnya, yaitu komunitas-nya. Seperti dalam sebuah tayangan presentasi TED-x nya Ridwan Kamil, beliau bilang :

“Temukan dulu masalahnya, pilih satu yang spesifik, cari solusi, bikin komunitas. Mengapa harus bikin komunitas? Karena tanpa komunitas, ya ngga ada penggeraknya. Nggak jalan solusinya.”

Salah satu stand komunitas - Sanggar Anak Alam
Foto : Fransisca Tika
 
Talkshow-nya sendiri tidak terlalu mengalami kesulitan teknis, hanya sempat terjadi miskomunikasi dengan calon peserta dan harapannya tidak lagi terulang di masa yang akan datang (kalau ada pameran lagi). Talkshow  yang semula direncanakan akan dihadiri oleh Pak Anies Baswedan harus puas dengan video berisi pesan dari beliau sebagai pengganti karena beliau tidak jadi bisa hadir. Seperti biasa, saya selalu menganggap ulasan Pak Anies, walau hanya beberapa menit, adalah jeda menyenangkan yang tidak pernah rugi untuk didengarkan. Sebuah pesan singkat sederhana mengenai kegiatan Kelas Inspirasi dan pentingnya sebuah dokumentasi beliau utarakan dengan pilihan kata-kata yang tidak pernah tidak tepat. Salah satu yang benar-benar “membius” saya adalah saat bagian ini dikatakan :

"Inspirasi itu datangnya dari interaksi, bukan hasil dari berdiam diri."


Ada juga pesan menarik dari Pak Andy, salah satu pengisi acara talkshow tentang pengajaran kreatif dari Rumah Belajar Semi Palar, Bandung.

“Sekolah seringkali mengkotak-kotakkan pelajaran. Padahal di kehidupan nyata, semua ilmu itu tak bersekat. Metode belajar holistik mempersiapkan anak untuk dapat beradaptasi di kehidupan nyata.”

(terima kasih buat Mba Wulan yang sudah berbagi catatan dan foto yang menarik dari Pak Andy di atas)
Saya masih ingat betul bagian dimana beliau mengatakan hal di atas, yaitu saat ditunjukkan slide pertama dalam presentasinya untuk menjelaskan Semi Palar lewat gambar gelas-gelas cat warna-warni dan selembar kertas yang sudah penuh coretan warna.

Pak Andy-Semi Palar sedang berbicara mengenai konsep holistik
Foto : Mba Wulan 

Pengisi talkshow yang lain adalah Pak Ahmad Bahruddin dari Komunitas Belajar Qaryyah Thayybah yang banyak memberikan contoh karya kreatif anak-anak didiknya seperti tulisan dan gambar. Kata beliau,

“Di sekolah kami guru dilarang mengajar. Guru harus belajar. Belajar memahami potensi anak, memfasilitasi kebutuhan dan kemampuan mereka.”


Foto oleh : Mba Wulan
Kedua sekolah tersebut terhubung melalui satu benang merah : kebebasan. Saya sendiri sempat membatin, apa jadinya seseorang dengan kebebasan tanpa ada penanaman sistem kontrol, baik dari luar maupun dari dalam dirinya? Yang mungkin terjadi adalah dia bisa jadi orang yang lupa filosofi padi (bahasa gampangnya jadi orang yang “sok”) dan tidak mengerti unggah-ungguh ketimuran (jika kita bicara dalam konteks orang timur). Sebaliknya, pengekangan kebebasan bisa berdampak buruk pada matinya kreativitas dan berakhir pada ke-tidak produktif-an.
Namun tiap-tiap sekolah senyatanya (dan semestinya) memiliki cara sendiri untuk mengelola bagaimana kebebasan tersebut  dalam porsi yang pas, menjadi hal menyenangkan yang tetap terarah. Konsep tematik yang ditawarkan sekolah Semi Palar sudah demikian bagus contohnya, konkret, dan bisa dijalankan sesuai kurikulum pendidikan yang saat ini juga mengusung konsep tematik di tingkatan pendidikan dasar. Diam-diam saya menunggu saat dimana Semi Palar bisa menjadi salah satu rujukan dan contoh praktek penerapan tematik yang menarik bagi para guru yang masih bingung dengan konsep tersebut dalam aktivitas di kelasnya.
Dulu waktu diberi kesempatan sejenak jadi guru SD, terasa mudah untuk mengonsep tematik di atas lembar-lembar RPP tapi cukup kelabakan saat praktek dan melakukan pengukuran terhadap kemajuan siswa. Terminologi “kemajuan” di sini tidak melulu tentang angka, tapi kemajuan siswa juga perlu dituangkan dalam catatan, toh?
Terima kasih untuk sesinya yang menarik, Pak Andy dan Pak Bahrudin. Semoga pembaharuan-pembaharuan seperti yang Anda lakukan bisa lebih masif lagi terjadi di kemudian hari.




Senin, 08 September 2014

Sebuah Traktiran

-5 September 2014-

Yang menyenangkan hari ini adalah ditraktir teman di kafenya. Namanya Milk Bar, jualan susu (jelas termaktub dalam judul kafenya) yang dimodifikasi cantik menjadi berbagai varian rasa. Harga produk utamanya, minuman yang berbahan baku  susu sapi dengan aneka campuran buah hingga biskuit, dibandrol antara Rp 17-20 ribu.

ENAK!
Menurut saya lebih enak daripada jenis-jenis susu lain yang dijual di warung susu sejenis. Orang Jawa bilang, “ono rego ono rupo”, artinya ada harga ada wujud. Mendambakan sesuatu yang murah meriah tapi berkualitas tinggi? Weits! Daripada buang bensin mencari-cari yang entah ada entah tidak, pilih saja pilihan-pilihan terdekat di depan mata.

Kalau setiap hari jajan seperti ini sih agak berat juga. Berat di lemak terutama. Huahahah. Tapi kalau mau sekali-dua kali ganti suasana dan merasakan sajian susu enak tanpa eneg, ya bisa dicoba. Apalagi kalau minumnya sambil berkontemplasi. Halah.

Malam itu si pemilik kafe, Mbak Tika, setelah merampungkan acara launching varian produk barunya, menyelakan waktu duduk bersama saya dan teman saya. Dalam obrolan yang sangat biasa, orang yang dulu hanya saya kenal lewat acara paginya di radio itu, berbagi beberapa kabar dengan kami yang sedang mampir. Salah satu yang saya paling ingat adalah kalimat singkatnya tentang “sekarang orang udah nggak bisa jualan produk aja. Mereka jual hal lain yang kemudian bikin itu produk jadi berharga tinggi”.

Salah satunya adalah dengan menjual cerita. Ada sebuah brand kain batik yang bisa beromset sangat besar bukan hanya karena kain batik yang mereka jual berkualitas, tapi juga karena ada cerita di balik lembaran kain yang mereka produksi. Ada lagi sebuah brand clothing yang desainnya tak terlalu istimewa tapi bisa menjual kaos dengan harga 3-4 kali lipat harga kaos sewajarnya. Bagaimana bisa? Dengan mendampinginya pakai cerita yang membuat si pembeli kaos merasa bangga saat memakainya.
Kedengarannya menarik, bukan begitu?

:)

Niatnya.......

-4 September 2014-

Hari ini menyenangkan karena saya sedang bersiap membuat kebun kecil di loteng. Terinspirasi dari rumah seorang teman yang gersang tapi dia banyak tanam kangkung memanfaatkan lahan terbatas di halaman rumahnya yang sempit. Belum tahu akan berhasil atau tidak.

Doakaaannn.

Mehehehehe.

Bertemu Doberman

-3 September 2014-

Hari ini saya bertemu seekor Doberman. 

Iya, pertamanya saya takut setengah mati karena harus masuk ke sebuah rumah yang ketika saya masih di depan pagarnya, suara galak seekor anjing dari dalam sudah terdengar nyaring. Begitu pagar dibuka, langsung tahan nafas! Seekor Doberman coklat bertampang galak menyambut. Namun ternyata di balik tampang dan gonggongannya yang galak, anjing ini pemalu. Gertak sedikit, mundur. Saya sempat bertanya-tanya dalam hati, ini betul anjing spesies Doberman atau Doberman berhati angora?

Saya berada di rumah tersebut selama beberapa jam. Tidak ada berisik suara gonggongan sama sekali. Lalu waktu saya pulang, anjing itu sedang duduk tenang di jalan menuju motor saya. Melihat saya dan pemilik rumah datang, anjing tersebut langsung menyingkir. Setelah saya mengeluarkan motor dari pagar rumah, saya ingat ada sesuatu yang tertinggal dalam dan harus masuk lagi untuk mengambilnya. Dan si Doberman itu? Dia ada di posisi yang sama saat saya keluar tadi, dan lagi-lagi dengan sukarela menyingkir karena saya mengisyaratkan akan melewati posisi nyamannya.

Melihatnya, saya jadi ingat film Hachiko yang sukses membuat saya mimbik-mimbik (posisi kritis tepat sesaat sebelum air mata keluar dari kantongnya) hingga akhirnya menangis terharu. Doberman yang biasanya diwaspadai sebagai anjing pelacak berbahaya, di rumah ini dia bagaikan seekor kucing berbulu anjing. Tidak ada yang salah, yang ada hanya kesadaran yang bertambah bahwa lingkungan sekitar senyatanya membentuk karakter dalam diri setiap individu. Hachiko tidak pernah meninggalkan kebiasaannya untuk menunggu majikannya keluar dari pintu stasiun kereta dan berjalan pulang berdampingan, bahkan hingga tuannya itu mengalami musibah dan meninggal. Kata orang-orang, itu karena pada dasarnya anjing memiliki sifat dasar yang setia dan cukup pintar untuk menerima perlakuan-perlakuan yang bersifat pembiasaan.

Terbiasa dengan hidup nyaman membuat si Doberman pun tak perlu pusing-pusing bernafsu memburu penjahat. Meskipun begitu, sebelum saya pergi dari rumah itu, melihat si Doberman sejenak berputar-putar di halaman rumah.

“Ia mungkin mencari. Mungkin juga tidak. Baginya majikannya-lah hidupnya, jantungnya, darahnya. Se-penuh hati itu bisa diberikan oleh seekor binatang, bagaimana mungkin manusia berjuang hanya setengah-setengah?”

Ke Pasar

Beberapa waktu belakangan ini saya sedang membantu seorang pengurus PKMT (Pusat Kajian Makanan Tradisional) untuk mempersiapkan beberapa kebutuhan untuk pameran makanan. Bukan sembarang makanan yang akan dibawa, melainkan makanan yang “keberadaannya hampir punah”.  Sesuai dengan tema pameran, jenis makanan yang akan harus saya cari adalah makanan yang sama sekali asing di pendengaran saya, seperti besengek (olahan benguk yang dimasak dengan santan gurih), growol (terdiri dari olahan mawur dan cenit-cenit), gayam rebus, dan geblek. Makanan-makanan itu hanya ada di pasar-pasar tradisional, dan tidak setiap pasar tradisional menyediakan semuanya. Awalnya, saya sampai berkeliling ke 5 pasar untuk mencari dan memesannya secara khusus. Bukan saja perkara mencari, mendapatkannya pun harus diupayakan agar dalam satu hari untuk kemudian dikemas secara vakum.
Dan begitulah, hingga akhirnya saya dipertemukan dengan makanan-makanan ajaib itu di pasar xxx (saya lupa namanya, pokoknya pasar dekat perempatan Wirobrajan), Pasar Sentul, Pasar Prawirotaman, Pasar Demangan, Pasar Condong Catur dekat rumah, dan bahkan Pasar Minggir dengan upaya titip sama teman. Setelah memetakan rute terbaik untuk mendapatkan semua bahan dalam satu waktu, tanpa saya sadari saya jadi betah berputar-putar pasar sambil melihat-lihat dagangan di sana. Begitu sampai rumah, tiba-tiba belanjaan sudah banyak.



Atas ki-ka : tempe kedelai, besengek, sari kedelai
Bawah ki-ka : jipang, terong, brokoli, grontol (jagung putih rebus yang disajikan dengan parutan kelapa), strawberi
Hanya di Pasar Condong Catur saya menjumpai penjual grontol yang cukup “menjanjikan”, karena jagungnya masih di dalam panci, masih hangat, dan kelapa parutnya baru. Sementara di tempat yang lain, kebanyakan menjualnya sudah dalam bentuk plastikan yang entah kapan kelapanya diparut. Dan untuk besengek, sungguh wajib untuk dicoba!
Jadi, hal menyenangkan untuk hari ini adalah berputar-putar dari pasar satu ke pasar yang lain. Pastinya Anda tak perlu melihat harga per ons, tapi langsung tanyakan harga satuan kilogram-nya. Dan bicara tentang makanan yang hampir punah, semoga pasar tradisional semacam ini tidak lantas ikut-ikutan punah, karena saya masih ingin makan grontol  dan besengek lagi!
Nb : grontol itu seperti cupcorn, dalam versi butiran yang lebih besar. Penambahan keju parut dan susu kental manis dipercaya bisa meningkatkan mood Anda hari itu ke tingkat maksimal.


Selasa, 02 September 2014

Terjaga Tengah Malam

Kata Hukum Kekekalan Energi, energi itu tidak bisa diciptakan atau dimusnahkan, melainkan hanya bisa diubah dari bentuk satu ke bentuk yang lain. Energi itu ibarat sebuah cerita, dia mengalir bukan dicipta, dan bisa berada dalam bentuk berbeda pada orang dan tempat yang berbeda-beda pula. Sebagai contoh, orang hobi makan dan hobi masak. Sama-sama memiliki kesenangan terhadap benda berupa “makanan”. Tapi perhatikan, bahwa ketika yang satu merasa senang karena masih punya rejeki untuk membeli makanan enak, yang lainnya merasa senang masih bisa memasak makanan enak untuk keluarga kecilnya. Bentuk energy (cerita)-nya beda, namun efeknya sama : positif.
Saya ingin mengawali September ini dengan menuliskan hal-hal yang secara personal membuat saya senang sehingga mendorong saya untuk tetap berpikir positif. Hal-hal itu bisa meliputi benda, manusia, kegiatan, maupun kejadian yang membuat saya senang mengalaminya. Kalau Anda membaca post ini dan berniat melakukan hal yang sama, sok atuh, monggo.  Karena sejatinya kesenangan itu menular, makan jangan ragu untuk meneruskannya untuk dibaca oleh lebih banyak orang.J
Semoga bisa istiqomah dalam 30 hari ke depan, walau postingan pertama sudah telat hari. Huahahaha. Saya rangkum perjalanan 30 hari ke depan dalam #30halmenyenangkan dan #mymonthlyproject karena #bahagiaitusederhana sudah terlalu mainstream, dan karena saya bersyukur sama Allah untuk waktu hidup yang terlewati.        
                
-1 September 2014-

Hal menyenangkan buat saya adalah ketika bisa terjaga di tengah malam setelah sebelumnya sempat tertidur 2-3 jam. Kenapa menyenangkan? Karena ketika jalanan di luar sudah lebih tenang, udara mulai sedikit turun suhunya (jadi agak dingin), dan kepala sudah lebih segar, keheningan itu jadi harta berharga sebagai modal dan persiapan untuk keesokan harinya.
Agak sulit sebenarnya mendapatkan kesenangan ini, karena fase kritis saya, yaitu jam 9-11 malam, kalau sudah terlewati dengan kegiatan tidur pasti tak akan bangun sampai subuh menjelang. Sebaliknya, jika jam 11 ke atas masih melek, artinya kemungkinan bisa tidur baru akan terjadi menjelang pagi sekitar jam 2-3. Kebiasaan yang ke-2 jelas bukan kebiasaan yang bagus untuk kesehatan, tapi memang demikian yang terjadi. Terjaga tengah malam maksudnya bukan kemudian melek sampai pagi juga, tapi ada 1-2 jam untuk melakukan hal-hal selo untuk berdamai dengan hari-hari (halah). Contohnya? Baca buku, nonton film, cari cemilan, menulisi blog sekalian blogwalking, mengedit foto, sikat gigi (kalau kebetulan lupa karena kan ketiduran tadi ceritanya. Hehe), youtube-an Queen (ngomong-ngomong saya lagi suka banget lagu Queen yang “I Was Born to Love You” setelah mendengarnya dijadikan soundtrack salah satu dorama Jepang. Liriknya sederhana, ala-ala romantis klasik gitu, dan terutama suara Freddie yang….ah, pasti Anda lebih tahu lah), dan hal-hal semacam itu.
Tentu, tidur itu sendiri adalah sebuah kesenangan. Mengistirahatkan otak sejenak, mengisi ulang “baterai”, dan melupakan masalah sejenak. Tapi sekali-dua, malam yang hening pasti juga selalu jadi kerinduan.


Selasa, 12 Agustus 2014

Belajar Masak #1

Suatu hari, saya ingin buat klepon. Lalu jadilah. Taraaa!!!

Fakta : dari 100% adonan jadi, hanya 50% yang mencapai bulat sempurna tanpa kehilangan isi (gula jawa). Sisanya, masuk surga. 

Lalu percobaan ke-2 adalah mencoba memasak spaghetti carbonara. Akhirnya dengan modifikasi sana-sini, dapat juga sepiring carbonara yang menurut saya kali ini rasanya lebih "ringan". Mungkin karena pakai susu rendah lemak dan tak terlalu banyak keju (alasan sebenarnya sih karena cuma punya keju cheddar aja di rumah. Fiuh). 



Fakta : tanpa olive oil (mahaaaal...), beef nya juga bukan smoked beef, tapi untung terselamatkan dengan spaghetti yang "pas". Hore!

-So there will always be “first time” in our life. The hardest one is WHEN we decide to get started with.-

Selasa, 05 Agustus 2014

Waktu Puasa Pertama

Dulu kami pernah hidup bersama dalam satu rumah selama 2 bulan dalam rangka menuntaskan titah suci milik kampus tercinta bagi mahasiswa tahun ke-3 (dan tahun-tahun di atasnya) bernama KKN, Kuliah Kerja Nyata. Saya dan dia, berbeda 180 derajat. Kalau dia tipe yang sabar, saya tipe yang mudah tersulut. Kalau dia tipe keibuan, maka saya tipe remaja SMA yang kurang stabil. Kalau dia santun dan relijius, maka saya…. yah, itulah. 
Tahun 2013 lalu, melalui undangan yang disampaikannya lewat salah satu media sosial pertemanan, saya tahu dia sudah memutuskan untuk menikah. Saya absen hadir, karena sedang di Kalimantan. Lalu sekitar 3 bulan yang lalu, putri pertamanya lahir. Hingga minggu kemarin, berawal dari sebuah sapaan singkat di malam pertama tarawih, dia mengabarkan sedang berada di Yogyakarta. Dan besoknya, kami putuskan untuk bertemu.
Kami tidak banyak berbicara tentang nostalgia. Mungkin karena masa lalu terlalu rumit untuk dikenang kembali. Halah. Kami lebih banyak bicara tentang keadaan kami masing-masing saat ini, apa rencana masa depan kami, sedang bersama siapa saat ini, dan hal-hal semacam itu. Hingga kemudian sampai pada topik menjalani hidup berrumahtangga *lapkringet*. Saya pikir, teman saya ini tipe yang memang akan menjadi full time mommy, seperti dulu, agak dulu sekali, dia pernah menyiratkan yang demikian tentang pandangannya terhadap seorang wanita yang sudah berkeluarga.
Saya pikir dia tipikal seorang ibu yang dengan mantap memilih berkarir di rumah bersama anaknya dan memiliki usaha rumahan, online, atau semacamnya, sementara suaminya bekerja di luar. Selesai. Well, itu bagus, karena setiap orang normal pasti juga mendambakan  hidup yang sejahtera dan bahagia. Tapi ternyata pikiran saya agak meleset. Lagi, bukti nyata bahwa manusia kerap kali berasumsi dan terjebak asumsi serta kenangan masa lalu, adalah bahwa saya tak menyadari kemungkinan adanya gesekan kecil bernama “perubahan”. Sebenarnya saya tidak tahu apakah memang ada perubahan dalam pandangan hidup teman saya itu, atau memang dari dulu demikian, tapi ada satu hal yang jelas membuat saya tersenyum dari obrolan kami tempo hari itu.
“Jadi kamu bakal kerja lagi?”
“Iya dong. Kan kita harus bertanggungjawab sama ilmu kita.”

***

Kalau kata Agustinus Wibowo di bukunya Titik Nol, dia tulis “Rumahku sekarang adalah jalanan yang membentang. Aku adalah nomad, rumahku adalah perpindahan”. Saya sendiri mungkin tak akan mampu mendefinisikan cara mengisi hidup sekuat Agustinus meletakkan definisinya pada perjalanan hidupnya. Tapi yang saya yakini, perjalanan (dan BUKAN waktu), bisa membuat seseorang mengalami gesekan-gesekan yang bisa jadi membuat seseorang itu berubah jadi bukan dirinya yang dulu. Dan Agustinus, pernah memilih cara yang demikian untuk mengisi hidupnya, hingga sampai juga dia berjumpa dengan “gesekan” lain lagi yang melahirkan sebuah masa baru untuk mengisi hidupnya. Mungkin, teman saya juga.
Bukan berubah, tapi meluaskan pandangan. Bukan lupa daratan, tapi mencoba menyelam lebih dalam (pinjam istilah Banda Neira dari salah satu lagunya “Berjalan Lebih Jauh”). Menikah, memiliki keturunan, menyaksikan pernikahan keturunan, karir yang sukses, dan seterusnya adalah gelembung-gelembung besar yang menjadi kabar-kabar baik yang ingin didengar orang dalam rangka mengisi hidup.
Meskipun, nyatanya hidup tidak hanya diisi dengan kabar-kabar baik. Ada hambatan yang tak kelihatan, ada kegagalan yang tak menyenangkan, ada kebingungan yang tak terjelaskan, ada pula kesedihan yang disembunyikan. Dan tentu saja, pasti akan selalu ada ilmu bermanfaat yang harus diutarakan.

p.s : terimakasih untuk Silvy Arundita, untuk pesan menariknya di hari pertama puasa saya. J

Jumat, 27 Juni 2014

7 Tips Menikmati Perjalanan dengan Riang Gembira

Beberapa hari yang lalu, saya dan beberapa orang teman bermaksud menghadiri resepsi pernikahan di Malang. Ini perjalanan ke-3 saya ke arah timur (area Jawa Timur dan sekitarnya), setelah 2 kali sebelumnya selalu mendarat di Surabaya. Pernah mencoba menggunakan moda transportasi umum darat (kereta) dan udara, kali ini saya dan beberapa teman dari Jogja berangkat dengan menyewa mobil bersama-sama. Next, mungkin bis Mira atau Eka bisa jadi pilihan berkendara ke sana. Ada satu lagi sih, Sumber Selamat, yang dulunya sempat punya nama panggil Sumber Kencana. Rrrr…entahlah, mungkin ada yang bisa bujuk saya untuk mencoba bis satu ini? Mengingat sebagai outsider (pengguna jalan di luar penumpang bis SS itu, maksud saya), saya beberapa kali punya pengalaman menegangkan saat membersamai SS.

Kebetulan saya kebagian jatah sebagai supir cadangan, jadi porsi menikmati perjalanan masih lumayan banyak. Berangkat lewat Solo yang ditempuh dari Jogja dalam waktu 4 jam, kota-kota kecil macam Sragen, Magetan, Madiun, Kediri, Blitar menjadi pemanis perjalanan 14 jam kami ke Malang. Kembali dari Malang menuju Jogja, kami ternyata bisa hemat 3 jam dengan lewat jalur gunung (Blitar-Tulungagung-Trenggalek-Ponorogo-Wonogiri-Solo). Jadi dari total 36 jam pulang-pergi, 25 jam di antaranya kami habiskan di perjalanan. -___-

Walau begitu, saya cukup suka perjalanan ke timur ini. Kenapa ya? Mungkin karena ini pengalaman pertama buat saya, atau mungkin juga karena suka jalan, atau mungkin juga karena kota-kotanya klasik dan tak terlalu padat jadi rasanya ikut selo. Hehe. Nah, lewat tulisan ini saya juga mau coba kasih beberapa tips melewati 25 jam bermobil di jalanan dengan riang, versi saya tentunya.

1. Bawalah teman-teman yang selo. Dengan teman yang selo, niscaya perjalanan Anda tidak akan berada dalam tekanan rekan yang berorientasi pada hasil akhir semata, alias pingin cepat sampai ke tempat tujuan.

2. Sediakan supir cadangan, seperti saya misalnya. Walaupun kemampuan menyetir pas-pasan dan selalu deg-deg-an kalau mau menyalip truk gandeng atau bus AKAP, setidaknya cukup menyediakan waktu bagi supir utama untuk beristirahat sejenak dan kembali prima saat harus menyetir lagi.

3. Hindari membawa flashdisk berisi file musik. Biarkan radio lokal setempat, dari kota ke kota, menuntun Anda ke titik frekuensi paling gaul di kota itu hingga ke tingkatan yang menuntun pada kebajikan. Trust me. Tunggu sampai radio Anda menangkap siaran pengajian radio ala Jawa Timuran yang menyejukkan dan…. ngakak sakpole!

4. Malu bertanya sesat di jalan. Jangan salahkan power bank yang nihil atau ponsel yang habis baterai saat kebingungan mencari alamat di kota yang sama sekali asing. Jangan sampai lah kesana kemari membawa alamat…..dung crek!

5. Bersabarlah. Biarkan Sumber Selamat di belakang sana berjalan mendahului. Sebagai kapten yang baik, mengatur serangan dengan kepala dingin mutlak diperlukan. *uopoooo*

6. Berhentilah di beberapa tempat kece dan lakukan sesi foto bersama. Ini penting, karena bagaimanapun, kita butuh eksistensi. Halah.



jam 4 sore di suatu tempat yang dingin di Tawangmangu (foto diambil oleh bapak baik
yang saya curigai sebagai takmir masjid setempat)

7. Bersegeralah untuk membeli jajanan yang menarik di kerumunan yang terlewati di sebuah kota. Ini sangat berguna untuk merekatkan hubungan kekeluargaan antar penumpang. Itu, jajajan itu maksudnya.

Itu dulu sedikit tips yang bisa saya bagi, kalau membantu baguslah, kalau tidak ya tidak apa-apa. Tempat tujuan boleh selalu sama dan itu-itu saja, tapi mengalami perjalanan akan selalu jadi cerita yang berbeda. Kan? Nah, sampai jumpa di perjalanan-perjalanan yang lain! Hap hap hap!


ini dia pernikahan Mas Luqman dan Farida, di Malang. Blessed you both!!


Jumat, 06 Juni 2014

Napak Tilas Pentas

Selalu. Menonton penampilan langsung, adalah obat rindu, bisa jadi juga sendu.
Dunia panggung yang selalu menggebu-gebu. Alur cerita yang kadang mundur kadang maju.
Juga tentang mengaduk-aduk rasa ingin tahuku : bagaimana bisa tertulis naskah itu?

Teater menjadi salah satu tempat terbaik dimana saya selalu merasa diterima oleh orang-orang di sekitar saya meskipun saya datang tanpa bawa kemampuan apa-apa. Kenangan berada di atas panggung, diterangi cahaya lampu sorot, latihan tak kenal waktu, mengobrak-abrik pasar mencari kostum, mencari ekspresi dan logat bicara paling mengesankan di depan cermin…….ah! Saya bisa dibuat gila saking rindunya.
Jadi, Senin malam kemarin (2/6), kenangan itu dihidupkan kembali lewat mini teater di Kedai Kebun Forum dalam rangka menemani rasa penasaran seorang teman. Judulnya “Planet ke-11”, diproduksi oleh Teater Amarta besutan Nunung Deni Puspitasari yang sebelumnya sempat mengenyam pengalaman magang di Teater Koma, sebelum akhirnya kembali ke Jogja dan mandiri dengan karya-karyanya. Naskah yang dipentaskan mereka adalah adopsi terjemahan dari naskah seorang penulis naskah drama asal Slovenia, Evald Flisar. Kisahnya bercerita tentang persahabatan 3 sekawan gelandangan dengan latar tempat masa kini, dimana banyak orang berkeliaran untuk mencari kebahagiaan pribadi (saja) yang membuat ketiganya frustasi.
Tiga sekawan yang tadinya kabur dari rumah sakit jiwa itu bernama Paul yang harus menderita setiap kali mendengar dengungan suara sirene ambulans di kepalanya, Magdalena yang tergila-gila pada sepotong paha ayam yang nikmatnya bagai makanan surga, serta Peter yang sempat menjadi “musuh bersama” dengan gaya perlentenya hasil mencuri barang-barang mahal di toko. Konflik memuncak ketika ketiganya saling mencurigai satu sama lain karena menduga adanya pengkhianatan dalam persahabatan di antara mereka, diisyaratkan dengan berbunyinya telepon genggam curian mereka dengan nomor asing yang “aneh”.
Hingga pada akhirnya, setelah melalui serentetan adu kalimat yang cukup panjang, mereka mendapati adanya kedamaian untuk kembali. Kembali, ya, kembali ke dunia asal mereka. Dunia dengan imajinasi suka-suka mereka tanpa mesti terraih bentuk fisiknya, tanpa khawatir apa-apa, tanpa nafsu yang merajalela.  

Ada beberapa scene yang demikian cepat berlalu tanpa bisa saya tangkap maksudnya kemudian sudah ganti dengan scene yang lain. Itu masalah saya pribadi, sih, sebenarnya.. hahaha.  Buat saya yang hanya pernah bermain-main teater di ekstrakurikuler sekolah, tentu saja akan sulit mengerti dialog-dialog satir yang dilontarkan dalam pentas sekitar-120-menit itu. Sambil tergopoh-gopoh mencerna isi pentas, saya mengamati situasi di belakang dialog yang berbalas tanpa henti. Sebuah level hitam kurang lebih sebesar kasur single standar, layar kaku seukuran sekitar 3x8 meter untuk jarak pandang 100 meter-an diletakkan horizontal dengan lekukan tengah seperti lipatan buku. Ringkas, kelam. Saya ingat dulu pelatih teater saya yang super keren, Pak Sugeng, hanya memerlukan selembar kain hitam besar seukuran 4x6 meter dan topeng-topeng buatan tangan dan mengantar anak-anak didiknya juara 1 lomba teater se-Kota Yogyakarta. Sederhana itu menakjubkan, Boi!

Baiklah, karena saya jadi mendadak melankolis akibat mengingat-ingat beberapa kenangan jaman dulu, lebih baik segera saya akhiri tulisan ini. Terima kasih Ajeng yang sudah ajak saya merapat ke pentas ini dan menyelami beberapa kenangan lama saya.
God, I miss that stage.

Sajak Kecewa

Aku tidak bisa bilang tidak sedang jatuh cinta
Apa namanya?
Ketika kamu begitu menantikan sapaan pribadinya
Ketika kamu berdebat tapi terasa nikmat
Ketika kamu kesal tapi tak mampu marah
Ketika kamu tak peduli apa yang dia miliki
Tapi hanya peduli  tentang “he’s the man!”
Ketika kamu tidak khawatir tentang hari besok
Karena kamu yakin kalian akan mengusahakannya
Bersama-sama

Aku tidak bisa bilang tidak sedang jatuh cinta
Apa disebutnya?
Ketika hati berdebar hanya karena baca namanya
Ketika segala semangatnya menyemangatimu juga
Ketika kata-kata pendeknya membuatmu tertawa
Tanpa kecuali, tidak terkecuali

Aku tidak bisa bilang tidak sedang jatuh cinta
Apa istilahnya?
Ketika pikiranmu hanya ingin memastikan dia ada di seberang sana
Ketika doa setelah orangtua dan hinder dari api neraka
Adalah tentang menyebut namanya
Ketika jarimu kemudian menyentuh gambar telepon warna hijau
Sedang jari satunya menyentuh gambar telepon warna merah 2 detik setelahnya
Ketika pesanmu sudah terketik sempurna
Tapi tanpa ampun kamu menghapusnya

Bagaimana sebaiknya meruntuhkan yang begini?
Rasanya ingin sembunyi
Malu mengakui, tapi memendam lama bakal tak kusanggupi
Bagaimana aku seharusnya?
Kalau dia ternyata sudah ada yang punya
Lalalalala….

Rabu, 28 Mei 2014

Surabaya dan Senky


Surabaya kota besar, WAJAR kalau mal-nya banyak.
Walikotanya sangat perhatian terhadap lingkungan, WAJAR kalau ruang hijau di tengah kota-nya rapi dan menarik hati.
Harga karcis tol Suramadu mahal sekali, WAJAR karena sebagai ganti waktu penyebrangan yang terpangkas dari dahulunya yang masih pakai feri.
Segala kewajaran itu kami pelajari dari seorang kawan baru, Senky namanya.

Karena suatu proyek lepas, 5 orang pemuda-pemudi tanggung itu diharuskan bertemu di ibukota Jawa Timur pada pertengahan Mei lalu. Saya dan Umur yang berangkat dari Jogja, serta Neke, Nina, dan Wanya yang memulai perjalanan dari Jakarta. Itu pertama kalinya bagi saya menginjakkan kaki di Bandara Juanda, karena jarang terpikirkan oleh saya ke Surabaya pakai pesawat, mengingat jaraknya dengan Jogja hanya dekat saja jika ditempuh dengan kereta (dibandingkan ke Jakarta sih maksudnya).

Di terminal pertama kami pagi itu, sebuah kantor yang mengurusi masalah pendidikan di bilangan Jagir Wonokromo, kami bertemu dengan anggota tim ke-6  kami. Namanya sudah saya sebutkan di atas tadi, Senky. Iya, itu namanya, bukan typo atau nama samaran. Saya nggak tahu usianya, tapi waktu dia memperkenalkan diri sebagai mahasiswa semester 10, saya bisa menebak sekiranya dia lebih muda 2 tahun dari rata-rata kami. Oh kecuali Wanya, tentu saja, yang belakangan terungkap bahwa angkatan tahun kuliahnya adalah 200* (digit angka terakhir dirahasiakan demi hajat hidup orang banyak).

Masing-masing dari kami punya teman asli Jawa Timur juga, tapi kami berlima sepakat berpendapat bahwa Senky termasuk salah satu spesies Jawa Timur yang langka. Bagaimana tidak? Dia selalu bisa menjawab dan menjelaskan segala hal yang kami tanyakan tentang dirinya maupun tentang pengetahuan ke-Surabaya-annya kecuali 1, letak rumah makan Bu Rudi yang sambal rumahannya terkenal hingga kemana-mana. Momen yang paling unik tentu saja adalah kami mampir ke tempat karaoke dan playlist nya si Senky ini luar biasa bervariasi mulai dari lagu super jadul, top forty, lagu rohani jaman SD hingga lagu rohani kekinian macam band Wali. Dan kata Senky, ini pertama kalinya dia bernyanyi setelah sekitar 2-3 tahun yang lalu terakhir kali melakukannya. Hmm…saya sepintas jadi bertanya-tanya apakah yang kami lakukan dengan mengajaknya menyanyi malam itu adalah dosa atau luar biasa.  

Mulai dari Tugu Pahlawan, hotel Majapahit tempat perusakan bendera Belanda pada September 1945 dulu, taman Bungkul yang sedang hits karena problematika eskrim gratis tempo hari, hingga museum rokok HM Sampoerna sempat terjamah di perjalanan singkat lalu. Selain itu, satu lagi hal yang menarik buat saya adalah tentang bagaimana hampir setiap narasumber yang kami jumpai tidak pernah tidak menyebut nama Bu Risma dalam cerita panjangnya. Mengutip kata favorit Senky, “WAJAR, “ karena proyek yang kami bawa kebetulan nyerempet banyak dengan topik lingkungan dimana beliau sangat concern dalam menanganinya. Terlepas dari wawancara menggetarkan di Mata Najwa serta artikel dan buku yang ditulis tentang sepak terjang Bu Risma, saya kali ini benar-benar takjub karena ada juga masanya saat berita di TV serta kesaksian rakyat sendiri bisa sejalan.

Yah, intinya saya sih tulisan ini mau bilang terimakasih sama Senky dan untuk bantuannya selama kami berada di kota kesayangannya itu. Cepetan lulus ya, Senk, terus jadi PM! (hahahahah) dan berpetualang lebih jauh sampai rindu kampung halaman. Seperti Neke dan Wanya yang selalu kangen Bogor, Umur yang selalu bangga akan ke-Cirebon-an nya, saya yang selalu cinta sama Yogyakarta, atau Nina yang tak pernah jenuh kembali ke Jakarta.
Salam metal!