Minggu, 12 Oktober 2014

Mengapa Jalan Terus, Bu?

Dalam tulisan sebelum ini, saya sempat mengatakan untuk menuliskan tentang alasan saya turut membantu kegiatan Pameran Kelas Inspirasi Yogyakarta bulan September 2014 lalu. Walaupun judul awalnya “alasan turut membantu”, pada akhirnya saya lah yang terbantu. Terbantu untuk memahami kerelaan. Tsaah.

Kalo kata Mitch Albom sih,

Satu-satunya waktu yang kita sia-siakan adalah ketika kita menghabiskan waktu dengan mengira kita sendirian.

Berjuang itu, walaupun untuk kebaikan diri sendiri, tidak bisa sendiri. Misalnya, ingin punya bisnis beromset besar. Apa mungkin sendiri membangun rancang proses produksi, jaringan, pemasaran, dan keuangannya? Ingin bisa sekolah lanjut. Apa mungkin sendiri hanya dengan belajar teori siang malam, tanpa peduli siapa yang harus bayar SPP, harus mencari beasiswa atau cari pekerjaan tambahan, siapa yang mendanai kebutuhan kuliah, dan sebagainya? Ingatlah bahwa di suatu tempat entah dimana, setidaknya ada 1 orang lain yang bermimpi sama, sedang berjuang sama kerasnya dengan kita. Masalah hasil? Tergantung.

Tergantung usaha dan keputusan pihak-pihak terkait.

See? Kalau itu sebuah bisnis, maka pihak-pihak terkait itu bisa mulai dari investor, suplier bahan baku produksi, hingga konsumen di pasar. Kalau itu adalah beasiswa, maka pihak-pihak itu bisa orangtua, teman dekat, atau bahkan pewawancara.
Mereka adalah orang-orang di belakang layar yang memberikan kepercayaan bahwa potensi keberhasilan dalam cita-cita atau tujuan yang kita bawa. Nah, dalam pameran Kelas Inspirasi Yogyakarta yang lalu, saya bertemu dengan orang-orang di belakang layar ini. Singkatnya, mereka-lah “alasan-turut-membantu” saya, orang-orang yang ada ketika ide ini dibuat, yang percaya bahwa ide tersebut bisa terwujud, dan yang MASIH ADA hingga akhir cerita.
Orang-orang ini bekerja atas nama “relawan”, yang menyisihkan beberapa waktu produktifnya yang berharga untuk mencari uang ataupun mengejar gelar hanya demi berkejaran dengan keinginan merealisasikan ide dan kenyataan bahwa dukungan untuk mewujudkannya tidak banyak. Dulu, saya hanya familiar dengan istilah “relawan” saat ada bencana alam. Dengan sigap dan heroik, orang-orang dewasa ini (saya sebut orang dewasa karena saat itu saya masih remaja, kalau tidak salah saat bencana tsunami Aceh tahun 2004) bahu membahu pergi ke pelosok tempat terjadinya bencana untuk bertemu para korban yang kehilangan nyaris seluruh hidupnya, baik itu materi maupun keluarga, dengan cara mengisi kegiatan, menyalurkan logistik, memantau kondisi bencana terkini, menggalang bantuan, dan sebagainya. Saya lihat semua itu lewat televisi dimana kata “relawan” sering mampir di telinga saya. Ada relawan medis, logistik, guru, psikolog, tentara, dan banyak lagi, baik dari dalam maupun luar negeri. Yang saya tahu, mereka datang dan menyibukkan diri tanpa bayaran berarti di tempat bencana itu karena satu hal : empati.
Empati membentuk sebuah harapan. Harapan merangkai suatu cita-cita. Cita-cita meminta penggerak. Dan bergerak memerlukan wadah serta pemikiran dan tentunya, keikhlasan. Tak selesai di situ, nyatanya relawan di kegiatan berbasis voluntir yang lain, tidak cukup hanya berbekal empati. Setidaknya, harus ada semangat jalan-terus untuk menyambung nyalanya empati yang kadang meredup nyaris mati.
Saya sendiri menemukan fase redup itu saat ikut mempersiapkan acara pameran ini baik dari dalam diri saya sendiri maupun saat saya memandang kepada orang lain. Tapi kemudian, dalam obrolan singkat sambil makan di satu malam, kawan saya mengatakan, “Kadang aku nanya sama diriku sendiri. Kita ini lagi ngapain sih? Memangnya ada sangkut pautnya dengan profesionalisme kita? Kok mau sih capek-capek?” Dia meneruskan makan sebentar, lalu menyambung, “Tapi semakin banyak pertanyaan macem itu, rasanya kok cuma jadi semakin jauh ya dari ikhlas.”
Kalimat itu dikatakannya dengan sangat ringan, dan darinya saya belajar 2 hal. Satu, bahwa dengan keluhan, tak akan pernah ada jalan. Dua, bahwa dari kegiatan yang awalnya serba minim bisa menjadi kegiatan pameran yang berjalan secara layak.

Lalu pada akhirnya, hanya niat bersih dan cita-cita besar yang akan menjaga kita semua dan negeri ini ke depan – Hikmat Hardono.

Bukan begitu?



p.s : tulisan ini saya buat untuk seorang kawan sekaligus kakak dan juga orang-orang yang berjuang di jalur yang sama, meski dengan kondisi jalan yang masing-masing berbeda kelak-keloknya, lubangnya, bebatuannya, tapi yakin bahwa tetap bergerak dalam keikhlasan adalah satu-satunya cara untuk terus maju dan mencapai tujuan. Atau mungkin melampauinya.