Senin, 26 Desember 2016

Kamu Tahu Wiji Thukul, Kan?


Namanya familiar di kepalaku, tapi riwayat hilangnya aku tak pernah tahu. Kemana ajaaaa, Sin? *nutupinmuka

Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang paling sering muncul memberondong kepala saya sembari membaca kisah pelarian Wiji Thukul pada rentang tahun 1996-1998. Di lembar-lembar awal, saya membacanya dengan jeda-jeda dari waktu senggang satu ke waktu senggang berikutnya. Namun memasuki lembar-lembar pertengahan, saya mulai menciptakan kesenggangan itu sendiri dan menyelesaikannya. Alasannya tentu saja karena dari bagian pertengahan ini, cerita mulai seru.

Minggu, 11 Desember 2016

Bersukacita Sama Willa



Suatu hari, aku naik kursi, naik ke bufet, mencoba membuka bagian radio yang ada kainnya. Mak berteriak-teriak, “Astaganaga Willa! Mau diapakan radio itu!” Waktu aku bilang mau melihat orang-orang kecil yang ada di dalam radio, yang selalu omong-omong dan menyanyi itu, Mak langsung menangkap tanganku.

Saya lupa dari siapa saya mendapatkan rekomendasi untuk membaca buku ini : Na Willa. Saya hanya tiba di salah satu kios buku di ujung Pasar Santa, daerah Kebayoran Baru, Jakarta – Post – lalu teringat ada yang pernah menyarankan untuk membacanya dan membelinya.

Ditulis oleh seorang dewasa, Reda Gaudiamo yang dalam waktu dekat ini (kata mas pemilik Post sore itu) akan menerbitkan buku terbaru yang ditulis bersama anaknya Soca : Aku, Mems, dan Beps yang tampaknya menggemaskan, Na Willa seperti anak baru-agak-malu-malu yang menyita perhatian hiruk pikuk kelas, jika saya memposisikan sudut pandang sebagai guru di ruangan itu. Ilustrasinya yang sederhana dan ceria, saya suka. Spasi di antara paragrafnya, saya suka. Willa, pilihan namanya saya suka. “Menengok Dul” dan “Berhenti Sekolah” menjadi dua cerita favorit saya.

Buku ini adalah cerita harian si Willa. Berlatar belakang Surabaya di jaman keemasan Lilis Suryani (sekitar tahun 1960-an) dengan kata-kata berbahasa Jawa dan situasi biasa-biasa. Ada konflik anak-anak ketika Willa bertengkar dengan Warno yang suka mengejek rasis, ada rasa penasaran anak-anak ketika Willa membongkar radio kesayangan Mak, ada kekesalan anak-anak karena “dicap” sebagai anak nakal padahal tidak nakal, dan ada juga saya ikut berbunga-bunga ketika Willa menemukan sekolah yang disukainya.


Membaca hari-hari Willa sambil ngemil almond crispy slondok seperti jalan-jalan pagi ke pasar tradisional : segar, riuh, hidup. Begitu. Selamat menyambut Senin yang libur, Pekerja!

Rabu, 28 September 2016

4 Tips Berkendara Aman di Lampung



Seorang teman saya pernah sempat berkelakar, “Sin mending lu tulis deh tips-tips aman berkendara di Lampung. Pasti guna banget. ” Saya ketawa. Opooo jal.

Minggu, 25 September 2016

Kuis Cokelat (bagian 1)

Suatu kali, secara acak saya meminta beberapa kawan untuk mengirimi saya 5 pertanyaan terkait cokelat melalui layanan pesan instan. Tanpa batasan, bisa pertanyaan apapun. Ada pertanyaan yang bisa segera saya jawab secara spontan, tapi ada juga yang secara spontan langsung lari cari literatur alias nggak tahu jawabannya. Haha.

Sebagai penanda, saya akan beri huruf S, sakretine, untuk pertanyaan yang bisa dengan spontan saya jawab dan R, rareti blas, untuk yang perlu pendalaman materi (baca : tanya-tanya, nengok literatur). Ohya, kalo ada salah-salah jawab, bagi yang lebih berilmu lebih, boleh donggg koreksian dan tambahan pengetahuannya. Yuhuuu.

Sabtu, 24 September 2016

Ke Krakatau, Hore!






Menepi jam 6 pagi
Seminggu yang lalu, saya dan beberapa teman dari Jakarta pergi piknik. Sebenarnya rencana piknik hanya berawal dari obrolan singkat yang tidak lebih dari : eh ke Lampung yuk / haha ayuk, tengokin aku / kapan? / habis idul adha aja / ok wrapped!
E lha tenanan bar idul adha. Memang geng piknik yang ini betul-betul minim wacana.

Rabu, 17 Agustus 2016

Cerita Si Marlina

Perempuan itu menyapu pandangannya ke setiap sudut kedai terang berarsitektur kuno itu. Kedai yang tidak terlalu besar, tidak pula terlalu ramai, dengan lagu-lagu jazz pelan yang mengalun sepanjang 50 menit terakhir kedatangannya di situ. Putri kecilnya yang baru menginjak usia 4 tahun sudah tertidur di pangkuannya. Sofa merah yang empuk sepertinya sukses memanggil-manggil Si Kecil ke alam mimpi untuk memberikan me-time ibunya.

Sabtu, 11 Juni 2016

Catatan Senggang Lepas Nonton Serial Drama Jepang : I’m Home

“Pada saat itu, yang terpikir olehku hanya…pulang”
Salah satu penggalan dialog yang diucapkan Ieji Hisashi (Kimura Takuya) saat mengenang detik-detik  sebelum terjadinya kecelakaan yang membuat Hisashi kehilangan memori 5 tahun terakhir-nya. Diceritakan kemudian, kecelakaan tersebut membuat Hisashi tidak bisa melihat rupa istri dan anaknya karena selalu dibayangi topeng. Topeng, yang bertindak seperti dinding yang menyembunyikan hal-hal otentik di baliknya.

sumber : http://asianwiki.com/File:I%27m_Home-p1.jpg#file

Minggu, 15 Mei 2016

Jarak

Suatu hari, ketika sedang menunggu seduhan kopi di kedai teman, ada sebuah pesan masuk ke ponsel saya. Ngobrol pendek, lalu si pengirim pesan tanya apakah saya suka sastra. Saya sejujurnya agak bingung mau jawab apa, karena kalau sastra-nya beneran sastra, saya nggak pernah baca. Ya gimana mau baca, buku Food Engineering sama Mikrobiologi Pangan Pengolahan lebih menarik sih (haha mbelgedes ndobos banget). Tapi saya jawab, “Iya dulu suka bikin puisi”.

Selasa, 10 Mei 2016

Memoritmo : Petualangan Para Pendengar

Atas nama mood yang sedang bagus, saya mau tulis tentang bacaan terakhir saya. Haha. Bukan buku sarat ilmu pun setebal Kamus Besar Bahasa Indonesia, hanya buku kecil kurang dari 200 halaman berjudul Memoritmo yang saya temukan di bazaar buku dan tertarik beli karena ada nama Eross Chandra dan Cholil Mahmud sebagai salah dua kontributornya.
Adalah Maradilla Syachridar, penggagas project buku ini. Ditilik dari profilnya, mbak-mbak ini ternyata adalah additional vocal dan synthetizer di Homogenic. Ia membuka buku ini dengan pertanyaan : lagu apa yang paling bermakna dalam hidupmu, lalu melempar pertanyaan itu ke 13 musisi dan music enthusiast pengisi buku ini. 

Minggu, 01 Mei 2016

Cerita Seduh : Arabika Kerinci di Kedai Anak Lanang





Reza
Kali ini cerita seduh datang dari Kedai Anak Lanang. Kedai baru yang terletak di pusat kota tapi melipir sedikit, suasananya serem-serem-syahdu, mengusung tagline : ngopi serasadi rumah sendiri. Haha sebenarnya ini tagline bikinan saya sih, tapi serius ini representatif sekali untuk kedai kopi ini. Bagaimana tidak?

Satu. Mereka menyewa sebuah rumah kuno berarsitektur Belanda dengan bagian belakang rumah yang masih dalam rekonstruksi. Pintu, jendela, dan kursi anyam yang mereka pilih untuk interior kedai sungguh sangat “rumahan”. Ada sebuah meja bar panjang dari kayu sebagai tempat untuk melakukan aktivitas seduh kopi di dalam rumah, dan sebuah rak buku anyam menempel di salah satu sudut rumah. Pintunya bercat hijau pastel, menambah ke-old school-an tempat ini. Haha.

Sabtu, 30 April 2016

Setahun di lampung (bagian 2)



[lanjutan]
 Belanja di pasar
Di bawah ini saya ambilkan beberapa cuplikan menarik yang saya temui ketika melakukan transaksi di pasar tradisional. Antara heran, bingung, sekaligus bikin ketawa kalau diingat-ingat. 

Setahun di Lampung (bagian 1)



Selamat setahunan!!
Iya, selamat setahunan di Lampung. Seru banget kota ini. Lain daripada yang lain!!! :D Untuk yang belum pernah ke Lampung dan berencana memiliki karir panjang di Lampung, saya bantu kasih gambaran sedikit nih seperti apa di sini, walau hanya gambaran umum. Boleh percaya boleh enggak, tapi yang pasti ini kumpulan cerita dari apa-apa yang saya temui dan alami selama setahun ke belakang. Mariii...

Cerita Seduh : Red Bourbon


Saya lagi punya project kecil untuk mencatat setiap kopi yang diseduhkan buat saya. Namanya Brewing Story Project atau bahasa gampangnya cerita seduh. Dalam cerita super singkat, saya pingin menampilkan profil seduhan yang dikasih ke saya secara detil, berikut penyeduhnya, notes yang timbul, dan foto. Belum selengkap itu sih, tapi ini lagi usaha. Dimulai dari kopi.


Kenapa saya melakukan ini? Sederhana aja, sambil belajar, sembari menghargai setiap seduhan dan karya orang lain. Saya buka pakai cerita pertama ya.

Minggu, 13 Maret 2016

Kejutan Way Ratai (2)

[lanjutan]

fiuh
Ini baru cerita menuju kebun kopi. Belum kisah jalan pulangnya. Jadi ketika di atas gunung, hujan turun deras sekali. Sudah terbayang di benak saya bagaimana licinnya jalan pulang nanti. Dan benar saja. Beberapa korban terpeleset unjuk gigi, saya sendiri sempat terjerembab sekali bertumpu lutut, sekali terjun bebas sampai harus menggapai rumput liar untuk menghentikan plesetan, dan beberapa kali harus lari-lari karena ketidakmampuan mengendalikan rem kaki lalu berakhir dengan melompat ke rerumputan terdekat untuk menghentikan laju. Sebagian besar dilakukan dengan kemayu sambil bawa payung ungu. Haha. Untuk jalan pulang ini, saya hanya sekali naik motor selama 5 menit terakhir. Prestasi!

Kejutan Way Ratai (1)

Berawal dari perkenalan kami di sebuah kedai kopi, Hasti yang membawa bendera Coffee Trip dalam rantai bisnisnya ini membuat saya penasaran. Saya sendiri bukan maniak kopi, tapi saya suka sekali kopi (dan coklat #tetep). Lalu ada tawaran piknik ke kebun kopi? Wuah, orang dengan tingkat penasaran setinggi saya tentu saja nggak bisa tinggal diam. Akhirnya, begitu ada kesempatan, mintalah saya sama Hasti untuk diikutkan dalam trip, terserah trip siapapun, sebagai peserta. Rombongan yang bersama saya kemarin kebetulan adalah guru-guru TK dan SD di sekolah Tunas Mekar Indonesia, Bandar Lampung.
Ada beberapa kejutan di piknik kopi kali ini. Karena panjang, saya pecah jadi 2 bagian ya.

Minggu, 14 Februari 2016

The Boss' Talks



Apa yang lebih baik ketimbang bertemu orang-orang menyenangkan yang suka berbagi, menjalani hari-harinya secara rendah hati, dan tahu ke mana arah hidup mereka akan berjalan? Namanya Sueng dan Hasti, orang-orang yang ceritanya semalam bikin saya masuk kamar kosan sambil ngelamun. 

Sabtu, 13 Februari 2016

Langit Samping Jendela

Tulisan super pendek (pas 200 kata) dalam rangka iseng menanggapi tantangan salah satu penerbit di Jogja untuk menulis dengan tema "petir" tanpa ada kata-kata petir di dalamnya. Aneh sih jadinya, tapi biarlah. Akhirnya menulis fiksi lagiiiiii kyaaaa.

Seorang wanita datang ke kedai. Katanya dia mencari tempat duduk dimana ia bisa melihat langit dengan leluasa. Kukatakan padanya, kedai kami tidak punya ruang terbuka.
Ia menggeleng. Kata dia, tempat itu ada di kedai ini. Kulirik jendela, awan gelap menggantung . Kilatan kecil cahaya di sela-selanya menyisik disusul geraman kecil geluduk. Kutawarkan pada wanita itu untuk duduk di meja bar sementara kucarikan tempat yang dia maksud.
“Bolehkah?” tanya wanita itu. Aku tersenyum, dan mengangguk. Duduklah wanita itu di depan meja bar, memandang ke luar lewat jendela. Tak lama kemudian, hujan benar-benar turun.
“Mbak dengar suara barusan? Suara seperti pecahan piring tapi di langit.” Aku tersenyum kecil. “Pacar saya bilang benar ini tempatnya. Dimana saya bisa lihat langit luas dan juga dia.”

Belakangan baru kusadari, meja bar kami terletak 4 anak tangga lebih tinggi daripada lantai meja para tamu dengan jendela besar tanpa terali dan mengarah ke sawah belakang. Jendela ini hiburan kami para barista saat menarik nafas dalam sebelum mulai mengucurkan susu di atas espresso dan me-latte. Wanita ini, tunangan Rama, barista kami yang beberapa bulan lalu meninggal tertimpa pohon tumbang di tengah badai hebat dalam perjalanan menuju bandara. Kata Rama sore itu, “Pacarku dateng. Aku jemput dia dulu ya.”

Senin, 08 Februari 2016

Cerita Ibu PKK - Pencicip Kopi Keliling (1)


Huft.
Rasanya Januari terlalu banyak perjalanan dadakan yang menguras energi. Oleh karena itu, di bulan Februari saya memilih untuk lebih banyak berdiam diri. Lalu atas nama kesenggangan waktu yang demikian banyak di akhir pekan panjang yang tanpa piknik ini, saya buka tulisan Februari dengan bercerita tentang ketidaksengajaan saya bertemu kumpulan orang hobi minum kopi di Lampung.