“Dan bersama saya Nur Indah dan rekan saya
Maya dari kelas 4, kami akan memandu acara perpisahan kelas 6 ini dari awal
sampai selesai nanti”.
Cuplikan
kalimat pembuka yang dibawakan oleh Indah tersebut mengawali senyum lebar saya
di pagi hari itu. Saya baru membagikan naskah pembawa acara pada Indah dan
Maya, yang bertugas sebagai pembawa acara, sehari sebelumnya. Walau saya pun
bukan seorang presenter handal, apa boleh buat, mereka butuh pelatih untuk
simulasi. Hasilnya? Pertama-tama mereka bagaikan robot MC, membawa acara dengan
membaca teks persis sama seperti yang saya ketikkan. Kedua kali, saya minta
untuk melepas teks sesekali sambil memandang ke para tamu. Masih tetap
ke-robot-robot-an. Ketiga kali, sedikit-sedikit bisa lepas teks dan membawa
acara dengan bermodalkan hafalan di kepala sesuai teks. Haha.
Time to take some rest, I guess. Di
kelas itu tinggal ada kami bertiga dengan kertas-kertas dan pita-pita
berserakan untuk hiasan kelas. Murid-murid yang lain sudah pulang lebih dahulu,
karena saya janjikan untuk memulai lagi menghias kelas jam 4 sore selepas
yasinan. Dan tinggallah Maya dan Indah yang latihan menjadi pembawa acara.
Sambil
menempel-nempel kertas dengan selotip bolak-balik, Indah dan Maya berceloteh sambil
sesekali menanyakan pendapat ibu gurunya yang sibuk menggambar huruf-huruf
tempelan. Dari makanan di rumah sampai jalanan desa yang rusak, dari rasa takut
jadi pembawa acara hingga acara perpisahan tahun lalu. Betapa sulitnya menjadi
pembawa acara tanpa teks, betapa asingnya kata MC (dibaca emsi) ketika saya
gunakan kata itu untuk pengganti kata “pembawa acara” yang terlalu panjang, dan
betapa keukeuh-nya mereka memilih
tidak pulang untuk berlatih.
Selepas
istirahat dan mengoceh sana-sini, mereka latihan lagi. Kali ini, teks masih di
tangan tapi pelan-pelan sudah mulai tertutup. Aksen membawakan acara dengan
metode menghafal membuat saya tersenyum geli dibuatnya. Saya selipkan gurauan
antar presenter juga dalam teks nya, tapi kalau dihafal terdengar tidak alami
dan cenderung kaku. Maka saya putuskan untuk mencoba mengganti teks MC itu
dengan susunan acara dari pembukaan hingga penutupan. Di akhir latihan, saat
mengambil sepeda bersiap mau pulang, Indah bilang, “Aku ngga bilang mamak ah
kalau besok jadi pembawa acara”. Timpal Maya, “Iya, aku juga biar kejutan ya
Ndah”. Saya ketawa. There is a proud
inside, feel it?
***
Pagi hari
sebelum tampil, Maya masih sibuk menghafal teks pembawa acara dengan Indah
membantu mengingat-ingat di sampingnya. “Deg-deg an bu. Nanti kalau salah-salah
gimana?” tanya Maya gugup. Saya berhenti sejenak dari kesibukan mengurus
printilan perpisahan dan bilang, “Maya tidak perlu khawatir salah. Indah juga.
Maya dan Indah yang sudah berani jadi pembawa acara dan mau berlatih dengan
sungguh-sungguh sudah sangat hebat lho. Pasti orangtua kalian juga bangga. Yuk,
sekarang ambil mikrofonnya. Kita mulai acaranya. “
Seringkali kita mengabaikan bahwa
orang-orang yang jauh lebih muda daripada kita karena merasa kita sudah lebih
tahu dari pengalaman. Saya harus mengakui bahwa sumber inspirasi terbaik
datangnya dari kerendahan hati dan keberanian yang murni. Indah dan Maya, dalam
hal ini, telah meruntuhkan tembok pengabaian itu.
“Di balik dinding malu itu, kamu bisa jumpa
dengan keberanianmu. Melompatlah yang tinggi, Nak, tak perlu malu apalagi ragu.
”