Sepertinya catatan hutang tulisan
saya semakin bertambah. Di awal bulan September saya sempat meniatkan untuk
menulis setiap hari. Namun setelah 5 hari pertama, berikutnya tiada. Dan pada
akhirnya, baru 10 hari kemudian, yaitu hari ini, mulai menulis kembali.
Apa yang terjadi selama
seminggu kemarin? Jaga pameran.
Menjadi event organizer? Tidak juga, karena
kalau dibayar, saya pasti sudah terbang ke Pulau Togean, Sulawesi, saat ini
dengan bayaran tersebut. Haha. Ini pertama kalinya saya ikut mengurus suatu
acara semacam pameran foto, setelah sebelumnya lebih banyak berkutat mengurus acara-acara
seperti seminar, diskusi, latihan kepemimpinan, training, dll. Dan kalau biasanya
acara pameran hanya melibatkan saya sebagai pihak yang datang, berkunjung, lalu
terkagum-kagum, kali ini saya diberi kesempatan untuk belajar dari belakang
layar bersama orang-orang hebat yang bersedia “ikut campur” di dalamnya.
Saya bisa dibilang “kecemplung”
ketika akhirnya in charge secara
penuh di kegiatan ini sejak 2-3 minggu sebelum hari H. Era “jadi panitia” buat
saya sudah berakhir ketika Kelas Inspirasi Yogyakarta, 24 April 2014 lalu sudah
terlaksana. Tapi ada satu hal, yang dalam tulisan terpisah akan saya ceritakan
lebih detail, yang membuat saya kemudian memutuskan ikut mendukung acara
pameran ini sepenuhnya.
|
Suasana Pamera (foto : Fransisca Tika) |
Pameran yang berlangsung 8-14
September 2014 di Museum Pendidikan Indonesia UNY ini sebenarnya adalah
kelanjutan dari gerakan sosial bernama Kelas Inspirasi Yogyakarta. Kegiatan
puncak Kelas Inspirasi disebut dengan Hari Inspirasi, hari dimana ratusan profesional
diundang untuk mengajar selama 1 hari ke SD-SD di Yogyakarta sebagai relawan. Selama
berlangsungnya kegiatan, ada juga relawan fotografer dan videografer yang
merekam jejak-jejak tersebut. Muara dari kegiatan sehari itu akhirnya berujung
pada pameran 7 hari kemarin, Pameran Kelas Inspirasi. Konsepnya sederhana,
jajaran foto dan tampilan video dengan barang-barang kecil sebagai ornamen yang
mewakili keprofesian. Ide tentang barang-barang keprofesian ini sebenarnya
hanya berawal dari gurauan kecil dengan beberapa teman di malam pembukaan
pameran, tepat sebelum saling berpamitan pulang ke rumah masing-masing. Tapi
dari gurauan yang diseriusi, jadi juga konsep lumayan di keesokan hari. Lalala. J
Selain pameran, ada pula workshop komunitas dan talkshow
dengan 2 tema berbeda, tentang Kelas Inspirasi (yang diisi oleh relawan
pengajar Daniel Denny Setiawan, Feriawan Agung Nugroho, dan salah satu kepala
sekolah SD yang pernah disinggahi kegiatan Kelas Inspirasi) dan Pengajaran
Kreatif.
Sebanyak 12 komunitas pendidikan datang
untuk open house dan melakukan workshop dalam rangkaian acara pameran,
antara lain Solo Mengajar, Arsip UGM, Hoshizora Foundation, Koin Cinta
Pendidikan, Save Street Child, Jogja Menyala, Kamera Analog Jogja, Sanggar Anak
Alam, Book For Mountain, Gerakan KAMMI Mengajar, Kelas Inspirasi, dan Coin A
Chance. Dari kehadiran mereka, saya ternyata bisa belajar bagaimana sebuah inisiatif
gerakan menjadi berarti karena ada wadahnya, yaitu komunitas-nya. Seperti dalam
sebuah tayangan presentasi TED-x nya Ridwan Kamil, beliau bilang :
“Temukan
dulu masalahnya, pilih satu yang spesifik, cari solusi, bikin komunitas. Mengapa
harus bikin komunitas? Karena tanpa komunitas, ya ngga ada penggeraknya. Nggak jalan
solusinya.”
|
Salah satu stand komunitas - Sanggar Anak Alam
Foto : Fransisca Tika |
Talkshow-nya sendiri tidak terlalu
mengalami kesulitan teknis, hanya sempat terjadi miskomunikasi dengan calon
peserta dan harapannya tidak lagi terulang di masa yang akan datang (kalau ada
pameran lagi). Talkshow yang semula direncanakan akan dihadiri
oleh Pak Anies Baswedan harus puas dengan video berisi pesan dari beliau
sebagai pengganti karena beliau tidak jadi bisa hadir. Seperti biasa, saya
selalu menganggap ulasan Pak Anies, walau hanya beberapa menit, adalah jeda menyenangkan
yang tidak pernah rugi untuk didengarkan. Sebuah pesan singkat sederhana
mengenai kegiatan Kelas Inspirasi dan pentingnya sebuah dokumentasi beliau
utarakan dengan pilihan kata-kata yang tidak pernah tidak tepat. Salah satu
yang benar-benar “membius” saya adalah saat bagian ini dikatakan :
"Inspirasi itu datangnya dari interaksi, bukan hasil dari berdiam
diri."
Ada juga pesan menarik
dari Pak Andy, salah satu pengisi acara talkshow tentang pengajaran kreatif
dari Rumah Belajar Semi Palar, Bandung.
“Sekolah
seringkali mengkotak-kotakkan pelajaran. Padahal di kehidupan nyata, semua ilmu
itu tak bersekat. Metode belajar holistik mempersiapkan anak untuk dapat
beradaptasi di kehidupan nyata.”
(terima kasih buat Mba
Wulan yang sudah berbagi catatan dan foto yang menarik dari Pak Andy di atas)
Saya masih ingat betul
bagian dimana beliau mengatakan hal di atas, yaitu saat ditunjukkan slide pertama dalam presentasinya untuk
menjelaskan Semi Palar lewat gambar gelas-gelas cat warna-warni dan selembar
kertas yang sudah penuh coretan warna.
|
Pak Andy-Semi Palar sedang berbicara mengenai konsep holistik
Foto : Mba Wulan |
Pengisi talkshow yang lain adalah Pak Ahmad
Bahruddin dari Komunitas Belajar Qaryyah Thayybah yang banyak memberikan contoh
karya kreatif anak-anak didiknya seperti tulisan dan gambar. Kata beliau,
“Di
sekolah kami guru dilarang mengajar. Guru harus belajar. Belajar memahami
potensi anak, memfasilitasi kebutuhan dan kemampuan mereka.”
|
Foto oleh : Mba Wulan |
Kedua sekolah tersebut terhubung
melalui satu benang merah : kebebasan. Saya sendiri sempat membatin, apa
jadinya seseorang dengan kebebasan tanpa ada penanaman sistem kontrol, baik
dari luar maupun dari dalam dirinya? Yang mungkin terjadi adalah dia bisa jadi
orang yang lupa filosofi padi (bahasa gampangnya jadi orang yang “sok”) dan
tidak mengerti unggah-ungguh
ketimuran (jika kita bicara dalam konteks orang timur). Sebaliknya, pengekangan
kebebasan bisa berdampak buruk pada matinya kreativitas dan berakhir pada ke-tidak
produktif-an.
Namun tiap-tiap sekolah senyatanya
(dan semestinya) memiliki cara sendiri untuk mengelola bagaimana kebebasan
tersebut dalam porsi yang pas, menjadi
hal menyenangkan yang tetap terarah. Konsep tematik yang ditawarkan sekolah
Semi Palar sudah demikian bagus contohnya, konkret, dan bisa dijalankan sesuai
kurikulum pendidikan yang saat ini juga mengusung konsep tematik di tingkatan
pendidikan dasar. Diam-diam saya menunggu saat dimana Semi Palar bisa menjadi
salah satu rujukan dan contoh praktek penerapan tematik yang menarik bagi para
guru yang masih bingung dengan konsep tersebut dalam aktivitas di kelasnya.
Dulu waktu diberi
kesempatan sejenak jadi guru SD, terasa mudah untuk mengonsep tematik di atas lembar-lembar
RPP tapi cukup kelabakan saat praktek dan melakukan pengukuran terhadap
kemajuan siswa. Terminologi “kemajuan” di sini tidak melulu tentang angka, tapi
kemajuan siswa juga perlu dituangkan dalam catatan, toh?
Terima kasih untuk sesinya
yang menarik, Pak Andy dan Pak Bahrudin. Semoga pembaharuan-pembaharuan seperti
yang Anda lakukan bisa lebih masif lagi terjadi di kemudian hari.