Dalam
tulisan sebelum ini, saya sempat mengatakan untuk menuliskan tentang alasan
saya turut membantu kegiatan Pameran Kelas Inspirasi Yogyakarta bulan September
2014 lalu. Walaupun judul awalnya “alasan turut membantu”, pada akhirnya saya
lah yang terbantu. Terbantu untuk memahami kerelaan. Tsaah.
Kalo
kata Mitch Albom sih,
Satu-satunya waktu yang kita sia-siakan adalah
ketika kita menghabiskan waktu dengan mengira kita sendirian.
Berjuang
itu, walaupun untuk kebaikan diri sendiri, tidak bisa sendiri. Misalnya, ingin
punya bisnis beromset besar. Apa mungkin sendiri membangun rancang proses produksi,
jaringan, pemasaran, dan keuangannya? Ingin bisa sekolah lanjut. Apa mungkin
sendiri hanya dengan belajar teori siang malam, tanpa peduli siapa yang harus
bayar SPP, harus mencari beasiswa atau cari pekerjaan tambahan, siapa yang
mendanai kebutuhan kuliah, dan sebagainya? Ingatlah bahwa di suatu tempat entah
dimana, setidaknya ada 1 orang lain yang bermimpi sama, sedang berjuang sama
kerasnya dengan kita. Masalah hasil? Tergantung.
Tergantung usaha dan keputusan pihak-pihak
terkait.
See? Kalau itu sebuah bisnis,
maka pihak-pihak terkait itu bisa mulai dari investor, suplier bahan baku produksi,
hingga konsumen di pasar. Kalau itu adalah beasiswa, maka pihak-pihak itu bisa
orangtua, teman dekat, atau bahkan pewawancara.
Mereka
adalah orang-orang di belakang layar yang memberikan kepercayaan bahwa potensi
keberhasilan dalam cita-cita atau tujuan yang kita bawa. Nah, dalam pameran
Kelas Inspirasi Yogyakarta yang lalu, saya bertemu dengan orang-orang di
belakang layar ini. Singkatnya,
mereka-lah “alasan-turut-membantu” saya, orang-orang yang ada ketika ide ini
dibuat, yang percaya bahwa ide tersebut bisa terwujud, dan yang MASIH ADA hingga
akhir cerita.
Orang-orang
ini bekerja atas nama “relawan”, yang menyisihkan beberapa waktu produktifnya
yang berharga untuk mencari uang ataupun mengejar gelar hanya demi berkejaran
dengan keinginan merealisasikan ide dan kenyataan bahwa dukungan untuk
mewujudkannya tidak banyak. Dulu, saya hanya familiar dengan istilah “relawan” saat
ada bencana alam. Dengan sigap dan heroik, orang-orang dewasa ini (saya sebut
orang dewasa karena saat itu saya masih remaja, kalau tidak salah saat bencana
tsunami Aceh tahun 2004) bahu membahu pergi ke pelosok tempat terjadinya bencana
untuk bertemu para korban yang kehilangan nyaris seluruh hidupnya, baik itu
materi maupun keluarga, dengan cara mengisi kegiatan, menyalurkan logistik,
memantau kondisi bencana terkini, menggalang bantuan, dan sebagainya. Saya
lihat semua itu lewat televisi dimana kata “relawan” sering mampir di telinga
saya. Ada relawan medis, logistik, guru, psikolog, tentara, dan banyak lagi, baik
dari dalam maupun luar negeri. Yang saya tahu, mereka datang dan menyibukkan
diri tanpa bayaran berarti di tempat bencana itu karena satu hal : empati.
Empati
membentuk sebuah harapan. Harapan merangkai suatu cita-cita. Cita-cita meminta penggerak.
Dan bergerak memerlukan wadah serta pemikiran dan tentunya, keikhlasan. Tak
selesai di situ, nyatanya relawan di kegiatan berbasis voluntir yang lain,
tidak cukup hanya berbekal empati. Setidaknya, harus ada semangat jalan-terus untuk
menyambung nyalanya empati yang kadang meredup nyaris mati.
Saya
sendiri menemukan fase redup itu saat ikut mempersiapkan acara pameran ini baik
dari dalam diri saya sendiri maupun saat saya memandang kepada orang lain. Tapi
kemudian, dalam obrolan singkat sambil makan di satu malam, kawan saya
mengatakan, “Kadang aku nanya sama diriku sendiri. Kita ini lagi ngapain sih? Memangnya
ada sangkut pautnya dengan profesionalisme kita? Kok mau sih capek-capek?” Dia
meneruskan makan sebentar, lalu menyambung, “Tapi semakin banyak pertanyaan
macem itu, rasanya kok cuma jadi semakin jauh ya dari ikhlas.”
Kalimat
itu dikatakannya dengan sangat ringan, dan darinya saya belajar 2 hal. Satu, bahwa
dengan keluhan, tak akan pernah ada jalan. Dua, bahwa dari kegiatan yang awalnya
serba minim bisa menjadi kegiatan pameran yang berjalan secara layak.
Lalu pada akhirnya, hanya niat bersih dan
cita-cita besar yang akan menjaga kita semua dan negeri ini ke depan – Hikmat Hardono.
Bukan
begitu?
p.s :
tulisan ini saya buat untuk seorang kawan sekaligus kakak dan juga orang-orang
yang berjuang di jalur yang sama, meski dengan kondisi jalan yang masing-masing
berbeda kelak-keloknya, lubangnya, bebatuannya, tapi yakin bahwa tetap bergerak
dalam keikhlasan adalah satu-satunya cara untuk terus maju dan mencapai tujuan.
Atau mungkin melampauinya.