Adalah Risma,
gadis Bugis chubby yang tinggal di
rumah sebelah, yang menanyai saya ketika saya sedang berkunjung melayat
neneknya yang baru saja meninggal. “Kapan kita jalan-jalan lagi, Bu?” Lagi, dia maksudkan karena sudah pernah
kami jalan-jalan dengan sepeda waktu kapan hari. Tujuan jalan-jalan kami waktu
itu adalah empang (semacam petak kolam atau tambak) di dusun saya, Urip.
Berawal dari rasa penasaran saya terhadap ujung dusun yang misterius, berakhir
dengan tenggelamnya kaki saya hingga selutut ke dalam lumpur empang sisa hujan
semalam sebelumnya.
Pertanyaan
Risma membuat saya terdiam beberapa detik. Memang sudah agak lama saya tidak
jalan dengan anak-anak, dikarenakan ada liburan antar semester dan kejadian ini
itu yang mengharuskan saya tak bisa pulang ke desa cukup lama. Dan setelah
memastikan bahwa hari Minggu terdekat masih bebas agenda, segera saya buat
kesepakatan untuk jalan di hari tersebut. “Jam 8 saja ya, biar ndak terlalu
panas, “ ujar saya kala itu.
Hari Minggu
yang dimaksud pun tiba. Jam setengah 7 pagi, ketika saya sudah akan
bersiap-siap jalan-jalan, Nanda, adik angkat saya mengajak saya untuk cuci baju
di sumur bor. Hari itu sudah sekitar 10 hari hujan tak turun sehingga air hujan
yang biasanya digunakan sebagai sumber air bersih untuk mandi, cuci baju,
hingga masak, ludes. Akibatnya, sumber air untuk mandi dan cuci baju bergeser
ke air sumur pada hari ke-7. Air sumur ini adalah air yang disimpan di galian
tanah berbentuk persegi panjang menyerupai kolam, asalnya dari tanah. Rasa air
sumur yang sedikit asin dan “berlogam” membuat air ini tidak bisa dibuat
memasak. Namun lagi-lagi, karena sudah lamanya tak turun hujan, persediaan air
di situ pun menipis sehingga sumur bor lah alternatif ke-3 nya.
Sumur bor
ini letaknya sekitar 10 menit berjalan kaki dari rumah saya, melewati kebun
belakang rumah yang penuh pohon kelapa dengan jalur berupa jalan setapak
bernyamuk. Jadilah, setelah menimbang-nimbang dan melirik tumpukan cucian di sudut
kamar, saya mengiyakan ajakan Nanda dengan perkiraan jam setengah 9 kelar dan
bisa memenuhi janji jalan-jalan. Lekas saya ambil baju-baju kotor dan saya
rendam selama 30-45 menit. Kemudian, baju hasil rendaman yang sudah diperas
dimasukkan ke dalam kantong besar dan diikat di boncengan sepeda. Jam sudah
menunjukkan pukul 8 kurang seperempat ketika saya dan Nanda berangkat.
Ternyata
mencuci butuh lebih dari sekedar membilas dan menggosok. Ya mengantri, ya naik
turun badan, ya menunggu. Dan karena cucian Nanda sangat banyak, akhirnya kami
baru bisa pulang sekitar sejam kemudian. Di tengah jalan pulang, kami disusul
oleh dua makhluk kecil berbaju rapi yang mengayuh sepeda. Ternyata mereka sudah
menunggu di rumah sejak jam 8, dan karena saya tidak kunjung pulang maka mereka
susul saya. Risma dan Doni.
Jalan-jalan
yang saya janjikan waktu itu adalah menggunakan sepeda dengan asumsi bahwa Lola
sudah diperbaiki. Namun karena si Lola rantainya putus di tengah perjalanan
pulang dari mencuci baju di sumur bor tadi, saya pun membatalkan agenda
jalan-jalan (ohya, Lola ini adalah nama sepeda saya). Tentu saja usulan ini
langsung ditolak mentah-mentah oleh Risma. Segera saja dia menawarkan untuk
jalan kaki saja dan mengabarkan bahwa rute jalan yang akan ditempuh tidak
terlalu jauh. Doni kecil pun hanya menurut . Saya tersenyum saja dengarnya. Saya
tinggalkan mereka untuk menjemur baju, mandi dan sebagainya sampai sejam
kemudian baru selesai dengan dugaan mereka akan capek menunggu dan mengurungkan
niat jalan-jalan.
Namun apa
yang terjadi? Mereka berdua masih nongkrong
dengan bahagia di depan TV, menunggu saya selesai mandi dan ganti baju.
Akhirnya, atas nama kemanusiaan, saya pun “menjadikan” agenda jalan-jalan hari
itu. Walau jam sudah menunjukkan waktu tak layak jalan karena sudah terlampau
siang, kami tetap jalan. Sinar matahari terik, ketika dengan lugu Doni berkata
sebelum berangkat, “Ibu lama sekali kami tunggu”. Oh God.
Kami memilih
untuk jalan ke dusun sebelah lewat jalan tembus hutan. Di tengah jalan, seorang
anak ikut bergabung, Mawar namanya. Saya di belakang menyaksikan mereka
bercakap banyak sekali. Sesekali mereka tanyai saya, “Ibu suka buah jambu kah?
Suka buah belimbing? Suka buah ceri (ceri yang dimaksud ini dikenal luas dengan
sebutan kersen atau talok dalam Bahasa Jawa)? Tapi cerinya habis. Ibu suka
sirsak? Bu nanti kita beli es ya. Bu istirahat di bawah pohon situ saja naah”,
dan seterusnya. Kami berjalan di tengah teriknya matahari yang mulai naik tepat
di atas kepala, latihan memotret, beli es, dan melakuan razia ceri di rumah
tukang jualan es. Sederhana, tapi saya senang bisa terlaksana. Dalam hati saya
berjanji, walau apapun yang terjadi, sebuah janji haram hukumnya untuk
diingkari. Menunda janji mungkin bisa saja, tapi tak terpenuhinya janji akan
lain lagi persoalannya.
Janji itu
seperti matahari ya ternyata.
Mengikuti di atas kepala kita dari pagi hingga senja, tak hilang dengan alasan
apapun kecuali karena kodratnya berakhir saat waktunya tiba. Kalau janji,
berakhir kalau memang kedua pihak (si pemberi janji dan yang diberi janji)
lupa.
“Bu, kapan
kita ke Muara (desa sebelah yang letaknya sekitar 20 menit naik motor, -Pen)?
Katanya kemarin setelah terima rapot, “ celetuk Mawar di tengah jalan pulang.
Saya menatap Mawar sambil tersenyum. “Hmm..iya, terima rapor kenaikan kelas, kan?”
Memetik ceri
Membugkus hasil petikan sendiri
Tiga tokoh utama