Suatu hari, aku naik kursi, naik ke bufet,
mencoba membuka bagian radio yang ada kainnya. Mak berteriak-teriak, “Astaganaga
Willa! Mau diapakan radio itu!” Waktu aku bilang mau melihat orang-orang kecil
yang ada di dalam radio, yang selalu omong-omong dan menyanyi itu, Mak langsung
menangkap tanganku.
Saya lupa
dari siapa saya mendapatkan rekomendasi untuk membaca buku ini : Na Willa. Saya
hanya tiba di salah satu kios buku di ujung Pasar Santa, daerah Kebayoran Baru,
Jakarta – Post – lalu teringat ada yang pernah menyarankan untuk membacanya dan
membelinya.
Ditulis
oleh seorang dewasa, Reda Gaudiamo yang dalam waktu dekat ini (kata mas pemilik
Post sore itu) akan menerbitkan buku terbaru yang ditulis bersama anaknya Soca :
Aku, Mems, dan Beps yang tampaknya menggemaskan, Na Willa seperti anak baru-agak-malu-malu
yang menyita perhatian hiruk pikuk kelas, jika saya memposisikan sudut pandang
sebagai guru di ruangan itu. Ilustrasinya yang sederhana dan ceria, saya suka.
Spasi di antara paragrafnya, saya suka. Willa, pilihan namanya saya suka. “Menengok
Dul” dan “Berhenti Sekolah” menjadi dua cerita favorit saya.
Buku ini adalah
cerita harian si Willa. Berlatar belakang Surabaya di jaman keemasan Lilis
Suryani (sekitar tahun 1960-an) dengan kata-kata berbahasa Jawa dan situasi
biasa-biasa. Ada konflik anak-anak ketika Willa bertengkar dengan Warno yang
suka mengejek rasis, ada rasa penasaran anak-anak ketika Willa membongkar radio
kesayangan Mak, ada kekesalan anak-anak karena “dicap” sebagai anak nakal
padahal tidak nakal, dan ada juga saya ikut berbunga-bunga ketika Willa
menemukan sekolah yang disukainya.
Membaca hari-hari
Willa sambil ngemil almond crispy slondok seperti jalan-jalan pagi ke
pasar tradisional : segar, riuh, hidup. Begitu. Selamat menyambut Senin yang
libur, Pekerja!