Wanita itu bilang, ia hanya tak ingin aku
bermimpi terlampau jauh
dan jatuh dengan kesakitan yang sangat.
Wanita yang lain bilang, betulkah
keputusanku saat ini serius
dan bukan hanya ajang pelarian diri dari
kenyataan.
Wanita yang lain lagi bilang, mengingatkanku
bahwa ada sekat-sekat dimana seorang wanita harus rela membagi hidupnya dalam
sebagian kodrat dan sebagian lain dengan mimpi-mimpinya.
Mendengarnya, aku meringis dan hanya tenggelam
dengan helaan nafas dalam-dalam.
Beberapa waktu kosong saya yang lalu saya pakai untuk
mengunjungi tempat-tempat tinggal beberapa teman. Kenapa ke rumah teman? Karena
rumah, seringkali bercerita lebih asyik dan lebih banyak daripada lama
perkenalan yang kita habiskan dengan si penghuni di luar rumah. Kartu
kepanitiaannya, tumpukan buku ceritanya dari jaman teenlit sampai fiksi ilmiah, bingkai-bingkai foto yang dipilih
untuk dipajang, hal-hal semacam itu lah. Buat apa? Iseng. Iseng untuk tahu
tempat dimana kawan-kawan ini akan selalu kembali setelah melakukan perjalanan
yang mungkin tak terkira jauhnya.
Saya sempat pergi
ke rumah nenek Ajeng bersama Ajeng di Solo. Rumah putih yang luas,
saudara-saudara yang hangat, serta jalanan yang ramai tapi santai. Saya tak
bisa berpikir bahwa orang-orang di tempat itu punya ambisi lain selain
membangun keluarga yang harmonis, pekerjaan yang memadai, dan sebuah rumah
nyaman dengan teras kecil yang hangat untuk menutup malam.
Saya sempat juga pergi menengok rumah Halida di Sumenep,
Madura di minggu depannya. Ini pertama kalinya saya melakukan perjalanan ke
timur sendirian berirama dengan gesekan rel dan kereta menuju Stasiun Gubeng di
Surabaya. Meneruskan jalan selama 3 jam dengan travel sambil menyusur tepian
pantai penghasil garam, saya dipertemukan dengan keponakan Halida yang berisik
dan lincah, dialog-dialog sederhana dalam sebuah keluarga yang super baik,
serta jajaran rumah yang membawa saya ke 30 tahun silam. Saya tak bisa menduga
apa lagi yang diinginkan sebagian besar orang di tempat itu, kini, selain pergi
ke kota Surabaya dan hidup tenang di hari-hari sisanya.
Saya mengunjungi rumah Raras yang baru di bilangan
Imogiri Timur. Saya masih ingat 6 tahun terakhir ini kami jarang sekali bertemu
karena keperluan menuntut ilmu dan penghidupan masing-masing di tempat yang
berbeda, hingga Februari lalu bisa bertemu lagi di Jogja dengan mimpi yang
kurang lebih sama. Ia memperkenalkan saya dengan nama-nama seperti Banda Neira,
Tigapagi, Yuna, Dialog Dini Hari, membawa saya memutar kembali Bangkutaman, The
Adams, Frau, dan beberapa lagi lainnya. Hanya ada ayah dan ibunya di rumah,
persis sama dengan penghuni rumah saya dua tahun belakangan. Kami tumbuh dewasa
di lingkungan ilmu dan pekerjaan yang berbeda dan beberapa hal seperti potret
keluarga kami yang kurang lebih senada serta kesukaan terhadap musik, buku, beberapa
macam seni, sampai Takuya Kimura membuat kami bisa bicara ngalor ngidul tentang
perjalanan 6 tahun yang sudah-sudah. Darinya, saya tak meragukan apa lagi yang
diinginkannya selain hidup dari keputusan bulat yang telah dia ambil dan
menikmatinya secara maksimal.
Bermimpi yang tinggi, hati-hati jarak jatuhnya ke tanah
bumi juga lebar. Bercita-cita yang besar, hati-hati dengan nyatanya yang tak
sebesar harapan. Untuk para pencerita dan wanita-wanita yang tak saya sebut
namanya, terimakasih untuk “jeda” agar tak lupa menyiapkan kapling “kecewa” serta
untuk mengingat selalu tempat kembali selepas perjalanan-perjalanan panjang
nanti. Cheer up!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar