Surabaya
kota besar, WAJAR kalau mal-nya banyak.
Walikotanya
sangat perhatian terhadap lingkungan, WAJAR kalau ruang hijau di tengah kota-nya
rapi dan menarik hati.
Harga
karcis tol Suramadu mahal sekali, WAJAR karena sebagai ganti waktu penyebrangan
yang terpangkas dari dahulunya yang masih pakai feri.
Segala
kewajaran itu kami pelajari dari seorang kawan baru, Senky namanya.
Karena
suatu proyek lepas, 5 orang pemuda-pemudi tanggung itu diharuskan bertemu di
ibukota Jawa Timur pada pertengahan Mei lalu. Saya dan Umur yang berangkat dari
Jogja, serta Neke, Nina, dan Wanya yang memulai perjalanan dari Jakarta. Itu pertama
kalinya bagi saya menginjakkan kaki di Bandara Juanda, karena jarang
terpikirkan oleh saya ke Surabaya pakai pesawat, mengingat jaraknya dengan
Jogja hanya dekat saja jika ditempuh dengan kereta (dibandingkan ke Jakarta sih maksudnya).
Di
terminal pertama kami pagi itu, sebuah kantor yang mengurusi masalah pendidikan
di bilangan Jagir Wonokromo, kami bertemu dengan anggota tim ke-6 kami. Namanya sudah saya sebutkan di atas
tadi, Senky. Iya, itu namanya, bukan typo
atau nama samaran. Saya nggak tahu
usianya, tapi waktu dia memperkenalkan diri sebagai mahasiswa semester 10, saya
bisa menebak sekiranya dia lebih muda 2 tahun dari rata-rata kami. Oh kecuali
Wanya, tentu saja, yang belakangan terungkap bahwa angkatan tahun kuliahnya
adalah 200* (digit angka terakhir dirahasiakan demi hajat hidup orang banyak).
Masing-masing
dari kami punya teman asli Jawa Timur juga, tapi kami berlima sepakat
berpendapat bahwa Senky termasuk salah satu spesies Jawa Timur yang langka. Bagaimana
tidak? Dia selalu bisa menjawab dan menjelaskan segala hal yang kami tanyakan
tentang dirinya maupun tentang pengetahuan ke-Surabaya-annya kecuali 1, letak
rumah makan Bu Rudi yang sambal rumahannya terkenal hingga kemana-mana. Momen yang
paling unik tentu saja adalah kami mampir ke tempat karaoke dan playlist nya si
Senky ini luar biasa bervariasi mulai dari lagu super jadul, top forty, lagu
rohani jaman SD hingga lagu rohani kekinian macam band Wali. Dan kata Senky,
ini pertama kalinya dia bernyanyi setelah sekitar 2-3 tahun yang lalu terakhir
kali melakukannya. Hmm…saya sepintas jadi bertanya-tanya apakah yang kami
lakukan dengan mengajaknya menyanyi malam itu adalah dosa atau luar biasa.
Mulai
dari Tugu Pahlawan, hotel Majapahit tempat perusakan bendera Belanda pada
September 1945 dulu, taman Bungkul yang sedang hits karena problematika eskrim
gratis tempo hari, hingga museum rokok HM Sampoerna sempat terjamah di
perjalanan singkat lalu. Selain itu, satu lagi hal yang menarik buat saya adalah
tentang bagaimana hampir setiap narasumber yang kami jumpai tidak pernah tidak
menyebut nama Bu Risma dalam cerita panjangnya. Mengutip kata favorit Senky, “WAJAR,
“ karena proyek yang kami bawa kebetulan nyerempet
banyak dengan topik lingkungan dimana beliau sangat concern dalam menanganinya. Terlepas dari wawancara menggetarkan di
Mata Najwa serta artikel dan buku yang ditulis tentang sepak terjang Bu Risma,
saya kali ini benar-benar takjub karena ada juga masanya saat berita di TV
serta kesaksian rakyat sendiri bisa sejalan.
Yah,
intinya saya sih tulisan ini mau bilang terimakasih sama Senky dan untuk
bantuannya selama kami berada di kota kesayangannya itu. Cepetan lulus ya, Senk, terus jadi PM! (hahahahah) dan berpetualang
lebih jauh sampai rindu kampung halaman. Seperti Neke dan Wanya yang selalu kangen
Bogor, Umur yang selalu bangga akan ke-Cirebon-an nya, saya yang selalu cinta sama
Yogyakarta, atau Nina yang tak pernah jenuh kembali ke Jakarta.
Salam
metal!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar