Dulu kami
pernah hidup bersama dalam satu rumah selama 2 bulan dalam rangka menuntaskan
titah suci milik kampus tercinta bagi mahasiswa tahun ke-3 (dan tahun-tahun
di atasnya) bernama KKN, Kuliah Kerja Nyata. Saya dan dia, berbeda 180 derajat.
Kalau dia tipe yang sabar, saya tipe yang mudah tersulut. Kalau dia tipe keibuan,
maka saya tipe remaja SMA yang kurang stabil. Kalau dia santun dan relijius,
maka saya…. yah, itulah.
Tahun 2013
lalu, melalui undangan yang disampaikannya lewat salah satu media sosial
pertemanan, saya tahu dia sudah memutuskan untuk menikah. Saya absen hadir,
karena sedang di Kalimantan. Lalu sekitar 3 bulan yang lalu, putri pertamanya
lahir. Hingga minggu kemarin, berawal dari sebuah sapaan singkat di malam
pertama tarawih, dia mengabarkan sedang berada di Yogyakarta. Dan besoknya,
kami putuskan untuk bertemu.
Kami tidak
banyak berbicara tentang nostalgia. Mungkin karena masa lalu terlalu rumit
untuk dikenang kembali. Halah. Kami lebih banyak bicara tentang keadaan kami
masing-masing saat ini, apa rencana masa depan kami, sedang bersama siapa saat
ini, dan hal-hal semacam itu. Hingga kemudian sampai pada topik menjalani hidup
berrumahtangga *lapkringet*. Saya pikir, teman saya ini tipe yang memang akan menjadi
full time mommy, seperti dulu, agak
dulu sekali, dia pernah menyiratkan yang demikian tentang pandangannya terhadap
seorang wanita yang sudah berkeluarga.
Saya pikir
dia tipikal seorang ibu yang dengan mantap memilih berkarir di rumah bersama anaknya
dan memiliki usaha rumahan, online,
atau semacamnya, sementara suaminya bekerja di luar. Selesai. Well, itu bagus, karena setiap orang normal pasti juga mendambakan hidup yang sejahtera dan bahagia. Tapi
ternyata pikiran saya agak meleset. Lagi, bukti nyata bahwa manusia kerap kali
berasumsi dan terjebak asumsi serta kenangan masa lalu, adalah bahwa saya tak
menyadari kemungkinan adanya gesekan kecil bernama “perubahan”. Sebenarnya saya
tidak tahu apakah memang ada perubahan dalam pandangan hidup teman saya itu,
atau memang dari dulu demikian, tapi ada satu hal yang jelas membuat saya
tersenyum dari obrolan kami tempo hari itu.
“Jadi kamu
bakal kerja lagi?”
“Iya dong.
Kan kita harus bertanggungjawab sama ilmu kita.”
***
Kalau kata
Agustinus Wibowo di bukunya Titik Nol, dia tulis “Rumahku sekarang adalah
jalanan yang membentang. Aku adalah nomad, rumahku adalah perpindahan”. Saya
sendiri mungkin tak akan mampu mendefinisikan cara mengisi hidup sekuat Agustinus
meletakkan definisinya pada perjalanan hidupnya. Tapi yang saya yakini,
perjalanan (dan BUKAN waktu), bisa membuat seseorang mengalami gesekan-gesekan yang
bisa jadi membuat seseorang itu berubah jadi bukan dirinya yang dulu. Dan Agustinus, pernah memilih cara yang
demikian untuk mengisi hidupnya, hingga sampai juga dia berjumpa dengan
“gesekan” lain lagi yang melahirkan sebuah masa baru untuk mengisi hidupnya.
Mungkin, teman saya juga.
Bukan
berubah, tapi meluaskan pandangan. Bukan lupa daratan, tapi mencoba menyelam
lebih dalam (pinjam istilah Banda Neira dari salah satu lagunya “Berjalan Lebih
Jauh”). Menikah, memiliki keturunan, menyaksikan pernikahan keturunan, karir
yang sukses, dan seterusnya adalah gelembung-gelembung besar yang menjadi
kabar-kabar baik yang ingin didengar orang dalam rangka mengisi hidup.
Meskipun,
nyatanya hidup tidak hanya diisi dengan kabar-kabar baik. Ada hambatan yang tak
kelihatan, ada kegagalan yang tak menyenangkan, ada kebingungan yang tak
terjelaskan, ada pula kesedihan yang disembunyikan. Dan tentu saja, pasti akan selalu
ada ilmu bermanfaat yang harus diutarakan.
p.s : terimakasih untuk Silvy Arundita, untuk
pesan menariknya di hari pertama puasa saya. J
Pilihan katanya mengalir segar seperti biasa ya. Akhirnya yg kutunggu-tunggu hadir juga. Bangganya ditulis olehmu, sin. Salah satu hal yg akan kusimpan. Bakal kupajang nih tulisan ini :))
BalasHapus