Perempuan
itu menyapu pandangannya ke setiap sudut kedai terang berarsitektur kuno itu.
Kedai yang tidak terlalu besar, tidak pula terlalu ramai, dengan lagu-lagu jazz
pelan yang mengalun sepanjang 50 menit terakhir kedatangannya di situ. Putri
kecilnya yang baru menginjak usia 4 tahun sudah tertidur di pangkuannya. Sofa
merah yang empuk sepertinya sukses memanggil-manggil Si Kecil ke alam mimpi
untuk memberikan me-time ibunya.
Ingat
betul ia, perempuan awal 30 tahun itu, 6 tahun lalu tempat ini tidak seperti
ini. Bahkan, belum bisa dibilang kedai. Tempat ini dulu hanya memiliki sebuah
meja bar dengan deretan toples berisi biji-biji kopi sangraian sendiri dan 3
meja duduk dengan masing-masing 4 kursi mengitarinya. Sisanya? Tumpukan barang
antik. Mulai dari kaset pita, pemutar piringan hitam, majalah 90-an, buku-buku
berejaan lama, lampu kapal kecil nan kusam, dan sejumlah barang antik lainnya.
Label harga ditulis tangan, kadang digantung rapi dengan pita kecil yang
diselipkan di sela lubang klip bulat di atas kertas bertekstur ukuran 3x1
sentimeter, kadang ditempel saja dengan kertas rekat dan ditulis tangan. Aldi
pernah memberinya sebuah cangkir seng bercorak hijau tentara dengan lapis putih
di dalamnya secara tiba-tiba dan hanya bilang, “Ini simpan. Nanti kalau kita
ngopi tubruk bareng, pake ini”. Disodorkannya dengan santai satu cangkir ke
perempuan yang duduk di sampingnya (mereka duduk di meja bar). “Saya ada satu
di rumah. Pemberian seorang kakek baik di Sindoro”.
***
Pada
saat itu, Marlina sedang bekerja di salah satu kantor penerbitan nasional
sebagai seorang reporter yang sedang naik daun (baca : kesayangan Pemred)
karena Marlina sangat perfeksionis dalam menuliskan setiap liputannya. Paling
sering meliput mengenai berita politik dan ekonomi, padahal kesenangannya
sebenarnya justru menulis feature
yang mendalam. Sesekali menulis tentang sosial budaya membuatnya bahagia, tapi
dalam sebulan, kolom sosbud yang dijatahkan kepadanya bisa dihitung dengan
jari, pun dengan jatah menulis feature. Selama 3 tahun ia digembleng pemimpin
redaksinya yang galak dan ampun-ampunan perfeksionisnya, sampai muak ia
bolak-balik gedung parlemen, istana presiden, mengejar anggota DPR, membuat
janji wawancara eksklusif dengan pejabat politik strategis yang kadang lancar
seringnya mengesalkan, menghadiri konferensi pers (yang tentu saja bukan
konferensi pers artis K-Pop yang mau manggung di Indonesia), tugas luar kota
hanya berteman seorang fotografer atau kadang malah sendirian (sampai suka
tersesat arah juga dengan kemampuan navigasi yang nyaris nol), mengulik
kejanggalan aliran data keuangan salah satu kementrian, mengikuti proses
persidangan sehari-semalam suntuk tanpa mandi, hanya makan nasi padang dan
ngemil biji kopi (karena tidak sempat menyeduh secangkir kopi, Marlina
berpendapat setidaknya dia bisa telan biji kopi yang selalu dibawanya ke
mana-mana dalam toples kaca kecil. Dan menelan biji kopi lebih sehat daripada
makan permen, menurutnya).
Tahun
pertama pekerjaannya dihabiskan dengan penyesuaian tingkat stres yang luar
biasa. Kadang-kadang Marlina berangan-angan untuk masuk majalah fesyen saja.
Dia suka fesyen, meski tidak fashionable.
Atau masuk ke dunia jurnalisme TV. Dia tidak cukup layar-genik, Marlina sadar
itu, tapi dia juga sepenuhnya sadar bahwa dia adalah penulis naskah yang jago
dan komunikatif, minimal liputan mudik lebaran bisa lah dapat slot buat sekedar
tampil dan membiarkan ibunya di rumah melihatnya sekaligus mengobati rasa
kangennya. Stres pekerjaan ternyata masih berhasil dia lalui dengan baik,
dengan mencetak rekam sakit hanya 2 kali demam tinggi pakai opname 1-2 hari dan
1 kali gejala tipus yang membuatnya tergeletak 8 hari di rumah sakit. Selebihnya,
sehat walafiat….
….raganya.
Lah,
jiwanya?
Jiwanya
juga baik-baik saja. Insya Allah, kata Marlina, jika ditanya. Setahun
penggemblengan membuatnya kemampuannya meningkat pesat. Tahun ke-2, ia mulai
berani mengajukan diri menulis beberapa feature
atau kadang merengek diberi jatah topik sosial budaya. Alasannya, penyeimbangan
diri. Hanya Marlina yang bisa mendebat Pemred “bengis” kepercayaan perusahaan
macam Leo, dan beberapa kali menang argumen saat menyampaikan pandangannya atau
jika sedang melakukan pendekatan persuasif. Marlina tidak lantas jumawa, karena
bukan “kemenangan” yang diincarnya, melainkan “luapan” isi hatinya yang harus
dan wajib keluar dari kecamuk pikirannya, sebelum terlalu banyak mengendap dan
membuatnya makin stres. Untunglah, meskipun galak, Pemrednya adalah orang yang
terbuka dan paling fair yang pernah dia temui di lini kerjanya ini. Berkat hal
ini, jiwanya masih, yah, bisa dibilang stabil.
Pemrednya,
laki-laki, berusia 39 tahun dengan 2 anak kecil lucu dan seorang istri berbadan
mungil yang gambarnya bisa dilirik di meja kerjanya setiap kali Marlina harus
menghampirinya untuk mendiskusikan sesuatu. Namanya Leo, hobi datang ke kantor
dengan setelan jeans dan kaos polo Giordano yang dipercaya setidaknya dia punya
5 warna – hitam, putih, coklat, biru muda, dan merah marun – untuk 5 hari kerja.
Tidak pernah dekat secara personal dengan siapapun di kantor kecuali dengan
editornya, Hasyim (30 tahun, sedikit sinting, katanya sedang berencana menikah,
kalem tak pernah terlihat marah-marah karena kata dia “terlihat emosi adalah
hal yang tidak elegan, lebih baik nggambar”, kata dia, yang memang benar-benar
dia lakukan karena semua orang di kantor tahu bahwa Hasyim lebih sering
terlihat menggambar dan dikelilingi sketsa-sketsa aneh daripada melihatnya
menulis atau mengedit seperti deskripsi pekerjaannya – editor) dan reporter
tengil tahan banting bernama Marlina. Tiga sekawan beda generasi dan beda
tabiat ini, disatukan dengan dua kesamaan : perfeksionis dan kopi.
Marlina,
meski pergaulannya semenjak kuliah sudah sarat dengan dunia jurnalistik,
teman-teman yang idealis, pemikir, diskusi-diskusi panjang, dan dekat dengan
kepulan asap rokok, tidak pernah merokok. Leo dan Hasyim, keduanya perokok
berat, tapi tidak pernah merokok kalau sedang ngobrol bertiga. Ya, si hijau yang
baru kerja setahun ini jadi kesayangan mereka berdua, yang secara rutin minimal
seminggu sekali, janjian di rumah kecil di bilangan Tebet dan mengisi salah
satu slot meja bar sambil menghadapi cangkir kopi masing-masing dan cemilan.
Rumah kecil itu milik orangtua Hasyim yang sudah tak terpakai dan diwariskan ke
Hasyim sebagai anak sulung laki-laki. Hasyim yang tergila-gila pada benda kuno
dan bekas kemudian dipertemukan dengan Aldi, pekerja LSM lingkungan yang
tergila-gila pada aroma kopi habis sangrai (another weirdo, kata Marlina di
balik telinga Leo, waktu dikenalkan pertama kali oleh Hasyim) dan bersepakat
buka warung kopi sambil jualan barang kuno seni milik Hasyim.
Marlina
– awalnya – tidak pernah terlalu tertarik ngobrol dengan Aldi, sekalipun hampir
semua pengunjung bilang lelaki di balik bar ini menyukai caranya bercerita yang
atraktif. Sampai suatu kali, Hasyim dan Leo mendadak membatalkan janji
nongkrong mingguan mereka saat Marlina tiba di depan pintu kedai.
“Tubruk.
Robusta apa aja terserah, “ pesan Marlina dengan nada agak kesal sembari
meletakkan tas di meja bar. Aldi yang sedang menuang air di atas kertas saring
yang melekat di alat keramik berbentuk kerucut sejenak melirik. Lagu
Daughters-nya John Mayer mengalun pelan dari sumber suara di pojok kedai. Tiga
meja hanya terisi 2, penuh semua. Satu meja berisi 2 pemuda yang sedang ngobrol
santai sambil merokok, satu meja berisi 2 wanita-1 pria kelihatannya sedang
reunian. Jarang melihat orang datang ke kedai itu dengan menenteng komputer
jinjing. Biasanya mereka yang datang, paling lama di sana sekitar 1,5 jam,
bercakap-cakap, lalu berganti dengan pengunjung lain.
“Tumben,”
Aldi hanya berkomentar pendek sambil tersenyum. Ia mengomentari pesanan tubruk
Marlina, yang biasanya jarang-jarang dipesannya. Pesanan Marlina selalu antara
Americano atau seduh manual dengan pouring.
Marlina
sebenarnya malas menjawab karena masih kesal kedua lelaki berinisial H dan L
membatalkan janji begitu mendadak. Tapi lalu dia memaksakan tersenyum, membetulkan
posisi duduknya, dan mengikat rambutnya.
“Lagi
banyak biji kopi baru, baru selesai sangrai. Nih namanya Wening Galih dari Jawa
Barat, mau coba di-pouring?” Aldi
masih tampak mencoba memunculkan mood baik Marlina dengan menyodorkan setoples
biji berwarna cerah berlabel “Wening Galih.”
“Nggak.
Tubruk aja. Robusta,” jawab Marlina pendek. Kali ini sudah dengan membuka
sebuah buku, cara terhalus untuk memberitahukan “Jangan ganggu gue.”
Aldi
nyengir, membaca gelagat macan tidur tadi. Jelas ini bukan masalah pekerjaan
yang membuat perempuan muda ini melipat muka.
“Saya
baca tulisan kamu. Tentang petani kopi di Sindoro Sumbing”, kata Aldi sembari
menyodorkan sloki berisi espresso. “Ohya, saya ketemu Mbah Paino juga sekitar 3
bulan yang lalu waktu jalan-jalan ke sana. Masih tanam kopi. Kopinya bagus,
ngomong-ngomong.”
Kali
ini suara ringan Monita Tahalea mendapat gilirannya, lagu ceria bertitel Hai. Kali
ini Marlina mendongak. “Oh, kok bisa ketemu?” reflek pertanyaan tersebut
meluncur bersamaan dengan memorinya yang langsung berganti dengan wajah lelaki
tua pemetik kopi merah yang dia temui dan diajaknya bercerita sekitar setahun
yang lalu. Tulisan terakhir yang dibuatnya sebelum bertolak ke Jakarta.
“Ya
karena tulisan kamu tadi itu, apa lagi?” kata Aldi.
Aldi
adalah anomali. Anomali yang begitu mencintai Marlina, pun sebaliknya. Waktu
bertemu Mbah Paino, Aldi ingin sekali menelepon Marlina, meminta Mbah Paino
berbicara dengan Marlina. Tapi Aldi tak pernah tahu nomor telepon Marlina.
Seharusnya dengan mudah dia bisa meminta nomor Marlina dari Hasyim, tapi tak
dia lakukan. “Kan saya nggak pernah benar-benar kenal sama kamu, walaupun Mbah
Paino kenal dan masih ingat waktu saya sebut nama kamu di depannya, ” jelas
Aldi waktu itu.
Balita
di pangkuannya membuka mata sambil menggeliat manja.
“Bu,”
panggilnya.
Marlina
yang sedang membalas pesan di ponselnyanya tak menyadari anaknya terbangun,
sedikit kaget mendengarnya dipanggil. “Oh, udah bangun. Mau minum air putih?”
tanyanya.
Si
Balita mengangguk sambil memandang mata ibunya, lalu perlahan bangun untuk
duduk.
“Mana
Om Aldi?”
Tepat
saat Si Balita bertanya, seorang lelaki dan perempuan dengan bayi mungil di
gendongan si perempuan masuk. Pemilik kedai dan istri-anaknya.
Pandangan mata Pak Paino terhadap tanaman kopi, sama
seperti saat kamu memandang gelas kopimu sebelum meminumnya. Sama seperti saya
memandang kamu dari balik mesin espresso. Kata orang, namanya cinta. Tapi toh
ternyata kita mungkin tidak selalu bisa memiliki apa yang kita rasa kita cinta.
Barang, hobi, manusia. Kopi. Kita bisa meletakkan rasa cinta pada mereka, mendalam,
tapi tak pernah benar-benar tahu apakah Tuhan menggariskan kita bersama mereka.
Tapi mari kita percaya, bahwa apa yang digariskan pada kita, pasti berdasar
cinta, Tuhan ngasihnya. Seperti kopi tubruk yang sering kita minum setelah
kelar masa resting. Rasanya sederhana, tegas, tanpa harus terlalu ribet
memikirkan detail seduhan. Ya, karena kita sudah memilih tubruk, bukan pouring,
press, atau drip. Jadi, mari bahagia dengan mencintai pilihan kita.
(Tulis
Aldi, sebulan sebelum Marlina menikah dengan Hasyim)
*Blog post ini dibuat dalam rangka mengikuti Kompetisi Menulis Cerpen #MyCupStory diselenggarakan oleh Giordano dan nulisbuku.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar