Menepi jam 6 pagi |
E lha tenanan bar idul adha. Memang geng piknik yang ini betul-betul minim wacana.
Sebagai
sesama alumni sebuah gerakan dimana kami pernah berkegiatan bersama, ada sebuah
milis barengan yang jadi semacam wadah untuk menjaring sebanyak mungkin massa
dan mengirimkan info-info apapun. Iya, serius apapun! Nah, lalu diunggahlah
rencana kasar calon perjalanan ke Lampung (waktu itu baru saya, Mesa, dan Ilham
yang jadi calon anggota piknik) oleh Mesa. Gayung bersambut, Rara, Hana (adik
Rara), dan Dimas yang akhirnya betulan datang menanggapi pos Mesa di milis
tersebut. Emang Mesa nih initiating
actionnya 9,5 dari skala 10. :3
Mereka
datang hari Jumat, rute pertama ke Way Kambas. Karena masih hari kerja, jadi
saya nggak ikut dan baru gabung di hari ke-2 untuk ke Krakatau. Sempat
sebelumnya saya ragu apakah tujuan pertama mereka, Taman Nasional Way Kambas,
bisa memberikan pengalaman piknik yang cukup menarik buat mereka. Maklum, bocah-bocah
ini rada “beda” daripada bocah piknik pada umumnya. They travel a lot, they explore a lot more! Tapi….Way Kambas? *pasang
dahi berkerut*
Halo, Ibu! |
Saya bagi sedikit catatan perjalanan kami, dan apa
yang saya pelajari dari teman-teman ini.
1. Zero expectation
Manusia kerap kali berekspektasi terhadap apa yang akan dan sudah mereka
investasikan. Tidak hanya perkara materi, hati pun bisa berharap berlebih jika
tidak dikontrol dengan baik. Asek. Tapi yang teman-teman saya lakukan ketika
menuju Way Kambas sudah sangat tepat dengan memasang niat awal : “Guys, zero expectation ya”.
Selain membaca doa mau bepergian, menekan ekspektasi adalah cara terbaik
menikmati perjalanan. Dengan demikian, rasa-rasanya eksplorasi jadi mengalir
lebih alami, bukankah demikian? Saya bahkan bertanya : “Gimana? Krik-krik nggak
disana? (krik-krik : semacam istilah penulis untuk membahasakan suasana hening
dan wagu ketika bertemu dengan
situasi dan kondisi yang jauh di bawah ekspektasi, -pen).”
Mungkin tidak spektakuler, tapi teman-teman ini ternyata ya cukup menikmati.
Jalan-jalan terabas hutan naik gajah, ditemani pawang yang cerita banyak hal,
dan gajah lucu bernama Kartija (tolong dikoreksi kalo salah) yang diselamatkan
di hutan oleh para pawang saat terluka hingga sekarang jadi salah satu penghuni
Way Kambas favorit. Haha, bagus bagus. Cerita lengkap tentang Way Kambas? Biar
mereka saja yang cerita. Nanti kalau ada tautannya, saya sertakan di sini.
2. Traveling isn’t just taking hi-world-I’ve-been-here
picture. Traveling, you know, is a story behind.
Kelima teman saya di atas terdiri dari : 1 mahasiswa pecinta alam, 2
freelancer berprestasi, 1 pemilik usaha, dan 1 pekerja kantoran fleksibel (kayak
saya) :p. Siapa yang mana, nggak penting ya. Dari ragam latar belakang ini, ada
satu kesamaan kami. We DO like stories, for sure. Destinasi wisata itu nomor 2,
nomor 1 adalah cerita.
Dimas, di hari ke-2 memisahkan diri dengan mencari rute perjalanan
sendiri. Solo trip gitulah. Sisanya, termasuk saya, memutuskan ikut open trip
ke Krakatau. Alasan gabung open trip adalah karena malas ribet, dulu waktu muda
udah pernah. Hahhaha.
Secara keseluruhan, perjalanan lancar kecuali cuaca mendung yang
menyambut kami di hari pertama hingga menunda jadwal snorkeling. Oh, ya,
Krakatau itu gunung yang dikelilingi laut, jadi memang ada beberapa titik untuk
snorkeling. Lumayanlah buat yang
biasanya selalu nyebur di air kolam isi kaporit atau cuma berkesempatan lihat
sungai perkotaan yang tanpa arus :p.
Baru
dari perjalanan ini saya tahu bahwa dulunya, duluuuuuu sekali, Krakatau sebagai
gunung api tunggal pernah meletus sangat dahsyat dan ”melahirkan” 3 gugusan
gunung yang dinamakan Rakata, Sertung, dan Panjang dengan 2 pulau kecil hasil
aktivitas pertumbuhan lava, Pulau Danan dan Pulau Perbuatan. Barulah pada 1883,
letusan dahsyat sesi 2 yang terdengar sampai Australia sana, menghancurkan hampir 2/3 bagian gunung, namun
ketiga gunung yang saya sebut di atas masih kokoh berdiri. Aktivitas vulkanik
pasca letusan tersebut terus berlangsung hingga saat ini “lahir” Gunung Anak
Krakatau yang bisa disinggahi para turis penasaran, kayak kami. Kalo masalah
kenapa bisa “lahir”, menyesal sekali kami tidak jalan bareng anak Geologi yang
pastinya bisa membagi informasi lebih detil. :3
Dari Gunung Anak Krakatau ini kami bisa melihat berkeliling dan melihat
si Rakata (yang juga sering disebut Ibu Krakatau), Panjang, dan Sertung berdiri.
Pasir vulkanik hitam keabuan mengisi sepanjang rute treking pendek kami yang
berketinggian sekitar 600 mdpl. Ketinggian segitu pun, alhamdulillah, cukup
membuat saya bercucuran keringat dan muka memerah. (Haha lemaaah). Pengunjung
tidak diijinkan naik hingga puncak yang menyimpan kawah dan mengepulkan asap
putih dari dalam perutnya. Itu bahkan baru aktivitas si Anak. Gimana si Ibu ya?
Pak Raboi (lihat baju oranye) |
Lalu terakhir, adalah Pak Raboi (aduh rada lupa namanya) penduduk asli Pulau
Sebesi (pulau berpenghuni terdekat dengan Krakatau, yang katanya waktu Krakatau
meletus di dini hari tahun 2012 lalu, di Sebesi baik-baik saja meski di kota
Lampungnya malah agak amburadul. Hmm, ini cerita menarik, bahwa lokasi terdekat
dengan gunung malah aman, hanya kebagian asap, sementara yang jauh kena imbas
lebih parah) sekaligus penjaga gunung yang menemani kami bercerita
ngalor-ngidul sepanjang turun gunung.
3. Take a minute walk and see how people…live a life
Cuma bareng mereka ini, di tengah piknik bisa muncul pertanyaan : “Di
pulau ini ada sekolah nggak ya?” Mungkin Anda mikir, lah apa urusannya? Emang situ
mau jadi guru? Ya enggak juga sih. Bangunan bernama “sekolah” itu, mungkin bagi
kami lebih seperti…emm…representasi cerita kehidupan masyarakat lokal yang
paling sederhana. Melampaui itu, sekolah adalah penyambung interaksi. Dari sekolah,
kami bisa ngobrol sejarah, kearifan lokal, kebiasaan masyarakat, perkembangan
pariwisata di Krakatau, dan banyak lainnya dengan siapapun yang kami temui. Dan
itu menyenangkan, sungguh.
Ohya, di Sebesi (pulau tempat homestay
kami berada) ada sekolah. Namun karena kami jalan-jalannya malam, ngga
sempat ambil gambar sekolah setempat, yang sudah eksis sampai tingkat menengah
atas. Ketika kami tanya sejak kapan tinggal di Sebesi, rata-rata semua menjawab
sudah sejak dari kecil. Kebanyakan yang kami temui justru adalah orang Serang,
bukan Lampung, entah kenapa.
4. Akses
Kalau dari Bakauheni,
tinggal naik angkot sebentar arah Dermaga Canti. Kalau dari kota Bandar Lampung, bisa sewa travel (80ribu PP pada
umumnya) atau mobil pribadi ke arah Kalianda, Lampung Selatan, lanjut ke
Dermaga Canti. Dermaganya kecil, gampang ditemukan. Atau kalau mau ala-ala bule, selo finansial, dan menghemat waktu
bisa juga dari Pantai Carita, Banten, bisa sewa kapal cepat/speedboat sekitar 2
jutaan muat 4-5 orang (kabar baiknya, menurut sedangkal pemantauan saya, dengan
moda kapal cepat ini bisa mengurangi pengeluaran transpor Merak-Bakauheni kalau
Anda dari Jakarta, hemat waktu menyebrang pakai feri yang bisa makan waktu 2-3
jam sekali jalan, sekalian piknik ke Pantai Carita).
Jika Anda datang sendiri, disarankan ikut rombongan trip yang mau
menyeberang. Karena waktu tempuh Canti-Sebesi-Krakatau yang cukup panjang,
biaya kapal jadi yang cukup berat untuk dibayar sendiri. Tapi sekali lagi,
kalau Anda selo finansial, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Jangan
lupa, bawa tempat sampah. Lho buat apa? Ada dua manfaatnya lho, Sodara-sodara.
Satu, bisa buat buang sampah yang Anda bawa sendiri, dan dua, bisa buat
mengumpulkan sampah yang Anda temui selama 2 hari. Hihi.
Sudah
ya, segitu dulu. Kalau suatu hari Anda main ke Lampung, singgahlah ke Krakatau,
lebih baik lagi jika sudah browsing
sedikit sebelumnya tentang gunung api aktif satu ini, jadi dateng bisa berbagi
sama pemandu wisatanya (yang belum tentu tahu tentang gunung lucu ini walau
sudah berpuluh kali bolak balik antar pengunjung. Haha).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar