Balikpapan-Jogja-Jakarta-Bogor-Jakarta-Jogja-Balikpapan.
Kala liburan sekolah, gurunya pun tertarik ikut
libur juga. Mau menenangkan diri? Jelas tidak karena liburan si guru justru
menuju ke arah keramaian. Mencari inspirasi? Di tempat ini justru berhambur
lebih banyak. Menyegarkan kepala? Tentu tidak karena bertemunya dengan
kemacetan kota. Menjumput serenteng rindu? Nah mungkin ini sedikit lebih tepat.
Jogja, 20-21 Juli 2013.
Hujan
sangat deras. Bau aspal hujan dan bau tanah hujan memang agak berbeda. Hujan di
Jogja rasanya hangat, berbeda dengan hujan di desa yang dingin. Dari balik kaca
jendela pesawat yang mendarat di Adisucipto, saya membatin : Saya belum pulang.
Saya singgah.
Jakarta-Bogor, 22-24 Juli 2013.
Masih
macet, padat, dan modern. Singgah saya 3 hari di sana. Cukuplah penuh tubuh
saya dengan asap angkot dan kopaja. Mungkin banyak sudah perubahan dimana-mana,
mulai dari kawasan belanja elite hingga tarif angkutan kota. Sayangnya, tingkah
para penghuninya belum juga berubah-berubah. Haha. Berjalan sendirian melintas
kota, bingung cari angkot sambil bawa-bawa ransel gunung saya jalani saja
dengan ringan. Bau selokan, genangan air, dan besi kopaja yang karatan tercium
jelas setiap kali saya melintas. Sempat dalam sebuah angkutan umum menuju
Senen, seorang bocah sekolah memilih berdiri di dekat pintu bis daripada duduk.
Keberadaannya agak merepotkan bagi para penumpang yang mau naik bis, saya baca
dari kalimat-kalimat yang terlontar dari si supir beberapa kali saat
menaik-turunkan penumpang. Hingga akhirnya, jelas betul emosinya sudah
memuncak, disuruhlah si anak turun dari bis. Si anak bingung, kelihatan pasrah
dengan usiran si supir, akhirnya turunlah ia.
Manusia
macam apa yang terlahir setega itu?
Jogja, 25-30 Juli 2013.
Ke Jogja
saya (berpikir) selalu ingin pulang. Tapi di dalam pesawat yang membawa saya
dari Balikpapan kala itu, saya senang bahwa kali ini saya hanya akan singgah.
Beberapa bulan terakhir ini saya jadi menyukai kata “singgah” ini. Singgah
berarti hanya sementara, tidak tahu kapan akan pulang, tapi selama masih
berkesempatan menetap, kita belajar banyak hal di tempat singgah. Lalu kapan
akan pulang? Nanti. Mungkin ke Jogja, atau ke tempat lain dimana saya mungkin
akan jatuh cinta.
Saya benci
mengatakannya, tapi kota sejuta kenangan dan budaya itu kini menderita macet.
Entah karena liburan anak-anak, atau karena memang sudah terlalu banyak
“pengembara” yang menggeser pergerakan kota kecil ini. Mengutuk macet juga
tiada guna, saya alihkan liburan saya untuk berkunjung ke desa. Jogja ini kaya
sekali dengan UKM dan UMKM. Kesempatan sehari libur saya gunakan untuk datang
ke Desa Wukirsari, salah satu desa pusat perajin batik tulis dan wayang kulit.
Desa di bagian selatan Jogja ini tidak beda dengan desa-desa pada umumnya.
Sepi, dengan jalan penghubung selebar satu buah mobil sedan, pohon-pohon bambu
dimana-mana, segerombolan sapi ternak dan berpetak-petak sawah di
sekelilingnya, dan sesekali terlihat kumpulan warga bercengkrama di sebuah
rumah berhalaman rumah luas.
Jogja
adalah kotak nostalgia terbaik. Sudutnya tak mengenal “mati”, rusuknya tak
habis merangkai cerita, dan sisi permukaannya selalu berganti dengan irisan
gambar-gambar manis. Persinggahan singkat kali ini hanya memberi waktu saya
untuk hadir di sebuah festival seni budaya dan reuni para musisi lama Indonesia
di lapangan sepakbola dekat rumah. Tidak terlalu banyak sudut yang terkunjungi,
tapi saya cukupkan untuk menuntaskan rindu dan mengisi tabung-tabung semangat
yang sempat kosong untuk jadi penuh lagi.
Ah, kota
ini sudah banyak sekali memberi untuk saya.
Mari,
kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar