Selasa, 30 Juli 2013

Sepuluh Hari Merenteng Rindu

Balikpapan-Jogja-Jakarta-Bogor-Jakarta-Jogja-Balikpapan.

Kala liburan sekolah, gurunya pun tertarik ikut libur juga. Mau menenangkan diri? Jelas tidak karena liburan si guru justru menuju ke arah keramaian. Mencari inspirasi? Di tempat ini justru berhambur lebih banyak. Menyegarkan kepala? Tentu tidak karena bertemunya dengan kemacetan kota. Menjumput serenteng rindu? Nah mungkin ini sedikit lebih tepat.

Jogja, 20-21 Juli 2013.
Hujan sangat deras. Bau aspal hujan dan bau tanah hujan memang agak berbeda. Hujan di Jogja rasanya hangat, berbeda dengan hujan di desa yang dingin. Dari balik kaca jendela pesawat yang mendarat di Adisucipto, saya membatin : Saya belum pulang. Saya singgah.

Jakarta-Bogor, 22-24 Juli 2013.
Masih macet, padat, dan modern. Singgah saya 3 hari di sana. Cukuplah penuh tubuh saya dengan asap angkot dan kopaja. Mungkin banyak sudah perubahan dimana-mana, mulai dari kawasan belanja elite hingga tarif angkutan kota. Sayangnya, tingkah para penghuninya belum juga berubah-berubah. Haha. Berjalan sendirian melintas kota, bingung cari angkot sambil bawa-bawa ransel gunung saya jalani saja dengan ringan. Bau selokan, genangan air, dan besi kopaja yang karatan tercium jelas setiap kali saya melintas. Sempat dalam sebuah angkutan umum menuju Senen, seorang bocah sekolah memilih berdiri di dekat pintu bis daripada duduk. Keberadaannya agak merepotkan bagi para penumpang yang mau naik bis, saya baca dari kalimat-kalimat yang terlontar dari si supir beberapa kali saat menaik-turunkan penumpang. Hingga akhirnya, jelas betul emosinya sudah memuncak, disuruhlah si anak turun dari bis. Si anak bingung, kelihatan pasrah dengan usiran si supir, akhirnya turunlah ia.
Manusia macam apa yang terlahir setega itu?

Jogja, 25-30 Juli 2013.
Ke Jogja saya (berpikir) selalu ingin pulang. Tapi di dalam pesawat yang membawa saya dari Balikpapan kala itu, saya senang bahwa kali ini saya hanya akan singgah. Beberapa bulan terakhir ini saya jadi menyukai kata “singgah” ini. Singgah berarti hanya sementara, tidak tahu kapan akan pulang, tapi selama masih berkesempatan menetap, kita belajar banyak hal di tempat singgah. Lalu kapan akan pulang? Nanti. Mungkin ke Jogja, atau ke tempat lain dimana saya mungkin akan jatuh cinta.
Saya benci mengatakannya, tapi kota sejuta kenangan dan budaya itu kini menderita macet. Entah karena liburan anak-anak, atau karena memang sudah terlalu banyak “pengembara” yang menggeser pergerakan kota kecil ini. Mengutuk macet juga tiada guna, saya alihkan liburan saya untuk berkunjung ke desa. Jogja ini kaya sekali dengan UKM dan UMKM. Kesempatan sehari libur saya gunakan untuk datang ke Desa Wukirsari, salah satu desa pusat perajin batik tulis dan wayang kulit. Desa di bagian selatan Jogja ini tidak beda dengan desa-desa pada umumnya. Sepi, dengan jalan penghubung selebar satu buah mobil sedan, pohon-pohon bambu dimana-mana, segerombolan sapi ternak dan berpetak-petak sawah di sekelilingnya, dan sesekali terlihat kumpulan warga bercengkrama di sebuah rumah berhalaman rumah luas.
Jogja adalah kotak nostalgia terbaik. Sudutnya tak mengenal “mati”, rusuknya tak habis merangkai cerita, dan sisi permukaannya selalu berganti dengan irisan gambar-gambar manis. Persinggahan singkat kali ini hanya memberi waktu saya untuk hadir di sebuah festival seni budaya dan reuni para musisi lama Indonesia di lapangan sepakbola dekat rumah. Tidak terlalu banyak sudut yang terkunjungi, tapi saya cukupkan untuk menuntaskan rindu dan mengisi tabung-tabung semangat yang sempat kosong untuk jadi penuh lagi.
Ah, kota ini sudah banyak sekali memberi untuk saya.

Mari, kembali. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar