Rabu, 28 Mei 2014

Surabaya dan Senky


Surabaya kota besar, WAJAR kalau mal-nya banyak.
Walikotanya sangat perhatian terhadap lingkungan, WAJAR kalau ruang hijau di tengah kota-nya rapi dan menarik hati.
Harga karcis tol Suramadu mahal sekali, WAJAR karena sebagai ganti waktu penyebrangan yang terpangkas dari dahulunya yang masih pakai feri.
Segala kewajaran itu kami pelajari dari seorang kawan baru, Senky namanya.

Karena suatu proyek lepas, 5 orang pemuda-pemudi tanggung itu diharuskan bertemu di ibukota Jawa Timur pada pertengahan Mei lalu. Saya dan Umur yang berangkat dari Jogja, serta Neke, Nina, dan Wanya yang memulai perjalanan dari Jakarta. Itu pertama kalinya bagi saya menginjakkan kaki di Bandara Juanda, karena jarang terpikirkan oleh saya ke Surabaya pakai pesawat, mengingat jaraknya dengan Jogja hanya dekat saja jika ditempuh dengan kereta (dibandingkan ke Jakarta sih maksudnya).

Di terminal pertama kami pagi itu, sebuah kantor yang mengurusi masalah pendidikan di bilangan Jagir Wonokromo, kami bertemu dengan anggota tim ke-6  kami. Namanya sudah saya sebutkan di atas tadi, Senky. Iya, itu namanya, bukan typo atau nama samaran. Saya nggak tahu usianya, tapi waktu dia memperkenalkan diri sebagai mahasiswa semester 10, saya bisa menebak sekiranya dia lebih muda 2 tahun dari rata-rata kami. Oh kecuali Wanya, tentu saja, yang belakangan terungkap bahwa angkatan tahun kuliahnya adalah 200* (digit angka terakhir dirahasiakan demi hajat hidup orang banyak).

Masing-masing dari kami punya teman asli Jawa Timur juga, tapi kami berlima sepakat berpendapat bahwa Senky termasuk salah satu spesies Jawa Timur yang langka. Bagaimana tidak? Dia selalu bisa menjawab dan menjelaskan segala hal yang kami tanyakan tentang dirinya maupun tentang pengetahuan ke-Surabaya-annya kecuali 1, letak rumah makan Bu Rudi yang sambal rumahannya terkenal hingga kemana-mana. Momen yang paling unik tentu saja adalah kami mampir ke tempat karaoke dan playlist nya si Senky ini luar biasa bervariasi mulai dari lagu super jadul, top forty, lagu rohani jaman SD hingga lagu rohani kekinian macam band Wali. Dan kata Senky, ini pertama kalinya dia bernyanyi setelah sekitar 2-3 tahun yang lalu terakhir kali melakukannya. Hmm…saya sepintas jadi bertanya-tanya apakah yang kami lakukan dengan mengajaknya menyanyi malam itu adalah dosa atau luar biasa.  

Mulai dari Tugu Pahlawan, hotel Majapahit tempat perusakan bendera Belanda pada September 1945 dulu, taman Bungkul yang sedang hits karena problematika eskrim gratis tempo hari, hingga museum rokok HM Sampoerna sempat terjamah di perjalanan singkat lalu. Selain itu, satu lagi hal yang menarik buat saya adalah tentang bagaimana hampir setiap narasumber yang kami jumpai tidak pernah tidak menyebut nama Bu Risma dalam cerita panjangnya. Mengutip kata favorit Senky, “WAJAR, “ karena proyek yang kami bawa kebetulan nyerempet banyak dengan topik lingkungan dimana beliau sangat concern dalam menanganinya. Terlepas dari wawancara menggetarkan di Mata Najwa serta artikel dan buku yang ditulis tentang sepak terjang Bu Risma, saya kali ini benar-benar takjub karena ada juga masanya saat berita di TV serta kesaksian rakyat sendiri bisa sejalan.

Yah, intinya saya sih tulisan ini mau bilang terimakasih sama Senky dan untuk bantuannya selama kami berada di kota kesayangannya itu. Cepetan lulus ya, Senk, terus jadi PM! (hahahahah) dan berpetualang lebih jauh sampai rindu kampung halaman. Seperti Neke dan Wanya yang selalu kangen Bogor, Umur yang selalu bangga akan ke-Cirebon-an nya, saya yang selalu cinta sama Yogyakarta, atau Nina yang tak pernah jenuh kembali ke Jakarta.
Salam metal!


Tidak ada komentar:

Posting Komentar