Jumat, 06 Juni 2014

Napak Tilas Pentas

Selalu. Menonton penampilan langsung, adalah obat rindu, bisa jadi juga sendu.
Dunia panggung yang selalu menggebu-gebu. Alur cerita yang kadang mundur kadang maju.
Juga tentang mengaduk-aduk rasa ingin tahuku : bagaimana bisa tertulis naskah itu?

Teater menjadi salah satu tempat terbaik dimana saya selalu merasa diterima oleh orang-orang di sekitar saya meskipun saya datang tanpa bawa kemampuan apa-apa. Kenangan berada di atas panggung, diterangi cahaya lampu sorot, latihan tak kenal waktu, mengobrak-abrik pasar mencari kostum, mencari ekspresi dan logat bicara paling mengesankan di depan cermin…….ah! Saya bisa dibuat gila saking rindunya.
Jadi, Senin malam kemarin (2/6), kenangan itu dihidupkan kembali lewat mini teater di Kedai Kebun Forum dalam rangka menemani rasa penasaran seorang teman. Judulnya “Planet ke-11”, diproduksi oleh Teater Amarta besutan Nunung Deni Puspitasari yang sebelumnya sempat mengenyam pengalaman magang di Teater Koma, sebelum akhirnya kembali ke Jogja dan mandiri dengan karya-karyanya. Naskah yang dipentaskan mereka adalah adopsi terjemahan dari naskah seorang penulis naskah drama asal Slovenia, Evald Flisar. Kisahnya bercerita tentang persahabatan 3 sekawan gelandangan dengan latar tempat masa kini, dimana banyak orang berkeliaran untuk mencari kebahagiaan pribadi (saja) yang membuat ketiganya frustasi.
Tiga sekawan yang tadinya kabur dari rumah sakit jiwa itu bernama Paul yang harus menderita setiap kali mendengar dengungan suara sirene ambulans di kepalanya, Magdalena yang tergila-gila pada sepotong paha ayam yang nikmatnya bagai makanan surga, serta Peter yang sempat menjadi “musuh bersama” dengan gaya perlentenya hasil mencuri barang-barang mahal di toko. Konflik memuncak ketika ketiganya saling mencurigai satu sama lain karena menduga adanya pengkhianatan dalam persahabatan di antara mereka, diisyaratkan dengan berbunyinya telepon genggam curian mereka dengan nomor asing yang “aneh”.
Hingga pada akhirnya, setelah melalui serentetan adu kalimat yang cukup panjang, mereka mendapati adanya kedamaian untuk kembali. Kembali, ya, kembali ke dunia asal mereka. Dunia dengan imajinasi suka-suka mereka tanpa mesti terraih bentuk fisiknya, tanpa khawatir apa-apa, tanpa nafsu yang merajalela.  

Ada beberapa scene yang demikian cepat berlalu tanpa bisa saya tangkap maksudnya kemudian sudah ganti dengan scene yang lain. Itu masalah saya pribadi, sih, sebenarnya.. hahaha.  Buat saya yang hanya pernah bermain-main teater di ekstrakurikuler sekolah, tentu saja akan sulit mengerti dialog-dialog satir yang dilontarkan dalam pentas sekitar-120-menit itu. Sambil tergopoh-gopoh mencerna isi pentas, saya mengamati situasi di belakang dialog yang berbalas tanpa henti. Sebuah level hitam kurang lebih sebesar kasur single standar, layar kaku seukuran sekitar 3x8 meter untuk jarak pandang 100 meter-an diletakkan horizontal dengan lekukan tengah seperti lipatan buku. Ringkas, kelam. Saya ingat dulu pelatih teater saya yang super keren, Pak Sugeng, hanya memerlukan selembar kain hitam besar seukuran 4x6 meter dan topeng-topeng buatan tangan dan mengantar anak-anak didiknya juara 1 lomba teater se-Kota Yogyakarta. Sederhana itu menakjubkan, Boi!

Baiklah, karena saya jadi mendadak melankolis akibat mengingat-ingat beberapa kenangan jaman dulu, lebih baik segera saya akhiri tulisan ini. Terima kasih Ajeng yang sudah ajak saya merapat ke pentas ini dan menyelami beberapa kenangan lama saya.
God, I miss that stage.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar