Selalu.
Menonton penampilan langsung, adalah obat rindu, bisa jadi juga sendu.
Dunia
panggung yang selalu menggebu-gebu. Alur cerita yang kadang mundur kadang maju.
Juga
tentang mengaduk-aduk rasa ingin tahuku : bagaimana bisa tertulis naskah itu?
Teater
menjadi salah satu tempat terbaik dimana saya selalu merasa diterima oleh
orang-orang di sekitar saya meskipun saya datang tanpa bawa kemampuan apa-apa.
Kenangan berada di atas panggung, diterangi cahaya lampu sorot, latihan tak
kenal waktu, mengobrak-abrik pasar mencari kostum, mencari ekspresi dan logat
bicara paling mengesankan di depan cermin…….ah! Saya bisa dibuat gila saking
rindunya.
Jadi,
Senin malam kemarin (2/6), kenangan itu dihidupkan kembali lewat mini teater di
Kedai Kebun Forum dalam rangka menemani rasa penasaran seorang teman. Judulnya
“Planet ke-11”, diproduksi oleh Teater Amarta besutan Nunung Deni Puspitasari
yang sebelumnya sempat mengenyam pengalaman magang di Teater Koma, sebelum
akhirnya kembali ke Jogja dan mandiri dengan karya-karyanya. Naskah yang
dipentaskan mereka adalah adopsi terjemahan dari naskah seorang penulis naskah
drama asal Slovenia, Evald Flisar. Kisahnya bercerita tentang persahabatan 3 sekawan
gelandangan dengan latar tempat masa kini, dimana banyak orang berkeliaran
untuk mencari kebahagiaan pribadi (saja) yang membuat ketiganya frustasi.
Tiga
sekawan yang tadinya kabur dari rumah sakit jiwa itu bernama Paul yang harus
menderita setiap kali mendengar dengungan suara sirene ambulans di kepalanya,
Magdalena yang tergila-gila pada sepotong paha ayam yang nikmatnya bagai
makanan surga, serta Peter yang sempat menjadi “musuh bersama” dengan gaya
perlentenya hasil mencuri barang-barang mahal di toko. Konflik memuncak ketika
ketiganya saling mencurigai satu sama lain karena menduga adanya pengkhianatan
dalam persahabatan di antara mereka, diisyaratkan dengan berbunyinya telepon
genggam curian mereka dengan nomor asing yang “aneh”.
Hingga
pada akhirnya, setelah melalui serentetan adu kalimat yang cukup panjang,
mereka mendapati adanya kedamaian untuk kembali. Kembali, ya, kembali ke dunia
asal mereka. Dunia dengan imajinasi suka-suka mereka tanpa mesti terraih bentuk
fisiknya, tanpa khawatir apa-apa, tanpa nafsu yang merajalela.
Ada
beberapa scene yang demikian cepat
berlalu tanpa bisa saya tangkap maksudnya kemudian sudah ganti dengan scene
yang lain. Itu masalah saya pribadi, sih, sebenarnya.. hahaha. Buat saya yang hanya pernah bermain-main
teater di ekstrakurikuler sekolah, tentu saja akan sulit mengerti dialog-dialog
satir yang dilontarkan dalam pentas sekitar-120-menit itu. Sambil tergopoh-gopoh
mencerna isi pentas, saya mengamati situasi di belakang dialog yang berbalas
tanpa henti. Sebuah level hitam kurang lebih sebesar kasur single standar,
layar kaku seukuran sekitar 3x8 meter untuk jarak pandang 100 meter-an diletakkan
horizontal dengan lekukan tengah seperti lipatan buku. Ringkas, kelam. Saya
ingat dulu pelatih teater saya yang super keren, Pak Sugeng, hanya memerlukan selembar kain
hitam besar seukuran 4x6 meter dan topeng-topeng buatan tangan dan mengantar
anak-anak didiknya juara 1 lomba teater se-Kota Yogyakarta. Sederhana itu
menakjubkan, Boi!
Baiklah,
karena saya jadi mendadak melankolis akibat mengingat-ingat beberapa kenangan
jaman dulu, lebih baik segera saya akhiri tulisan ini. Terima kasih Ajeng yang
sudah ajak saya merapat ke pentas ini dan menyelami beberapa kenangan lama
saya.
God, I miss
that stage.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar