Huft.
Rasanya Januari terlalu banyak
perjalanan dadakan yang menguras energi. Oleh karena itu, di bulan Februari
saya memilih untuk lebih banyak berdiam diri. Lalu atas nama kesenggangan waktu
yang demikian banyak di akhir pekan panjang yang tanpa piknik ini, saya buka
tulisan Februari dengan bercerita tentang ketidaksengajaan saya bertemu
kumpulan orang hobi minum kopi di Lampung.
Menyesal sekali karena selama
setahun kemarin di Jogja, kiblat tempat ngopi saya ternyata sedikit, itu pun
diawali hanya dari rasa penasaran tentang sebuah tempat minum bernama Klinik
Kopi. Tempat ini membuat saya tertarik karena di kedatangan pertama saya, si
pembuat kopinya (yang belakangan saya ketahui namanya Mas Pepeng) sangat
bersahabat walau saya datang ke situ seperti orang linglung dan kuper. Setengah
jam berikutnya, saya berpindah dari meja kerja Mas Pepeng (tentu setelah
menyeruput kopi dan mendengarkan sedikit dongeng dari doski) ke lingkaran
orang-orang asing. Dengan modal perkenalan diri singkat, orang-orang asing ini
(dan saya) pun mengobrol seperti sudah saling mengenal lama (padahal baru
ketemu. Gyahaha).
Konsep unik ini yang buat saya
memutuskan untuk kembali minum kopi, lagi dan lagi, hingga akhirnya sekarang
Klinik Kopi pun semakin berinovasi di karakter kopi yang dijualnya. Belum
sempat berkenalan lebih jauh dengan kopi atau mingle dari kedai satu ke yang lain, saya harus migrasi ke Bandar
Lampung. Hingga akhirnya, menyadari betapa tempat ini sangat selo dan saya
tidak punya banyak kawan, saya pun mulai mencari-cari tempat dan
manusia-manusia yang kurang lebih memiliki spirit yang sama seperti di Jogja. Apalagi
yang dibutuhkan seorang ekstrovert untuk lebih bersemangat kecuali bertemu
orang-orang yang menyenangkan dan menyerap energi positif dari mereka?
Keiko Bahabia
Kenapa “Bahabia”? Katanya sih itu
sekedar plesetan saja dari kata “bahagia” supaya lebih catchy dan bikin penasaran. Hmm..ya sih, saya saja sampe penasaran
juga. Selamat ya, mas-mas, kalian sukses memilih nama dan filosofinya. Hahaha.
Tahun 2011, tempat ini mulai dirintis
berdiri di kala belum ada kedai kopi “beneran” yang menampakkan diri. Saya
tidak tahu persis kondisi Lampung saat itu, namun melihat Lampung di tahun 2015
lalu hingga hari ini, saya jadi urung membayangkan. Hahah. Mulai dari berdiri
dengan pengetahuan, alat, dan modal seadanya hingga saat ini sudah buka cabang
ke-2, kedai ini cukup idealis. Ya, saya katakan idealis karena jarang (jarang
lho ya, bukan tidak ada) ada orang idealis di Lampung, yang berani gebrak bikin
sesuatu yang “aneh” dan anti mainstream.
Kota ini sepertinya berjalan dengan prinsip aliran air yang bergejolak di
permukaan tapi tenang di dalam, alias keras tapi sunyi. Pergerakan slengekan mungkin hanya menjadi riak
kecil tak kasat mata, yang dalam perkembangannya saat ini, mulai terasa
gelombangnya, meski masih meraba-raba juga ke mana arah gelombangnya akan
bergulung dan mendebur di saat yang tepat. Keiko mungkin salah satu riak
tersebut.
Lima tahun berjalan, sudah banyak
liputan. Temui beberapa tulisan asik mereka di keikobahabia.wordpress.com,
akun-akun sosial media bernama Keiko Bahabia, dan cek di mbah Google tentang
beberapa publikasi online mereka. Ini bukan tulisan berbayar, hanya bentuk
syukur saya menemukan tempat asik dengan orang-orang .... emm..baiklah, asik
juga *salim sama trio asik Bang Adi, Wisnu, dan Alim*
Coffee Paste
Letaknya di daerah Kemiling,
daerah pemukiman yang cukup padat di Bandar Lampung dan menanjak kalau dari
pusat kota. Kalau tidak salah tangkap, kedai ini awal mulanya digawangi hanya
oleh 2 orang nekat yang “gatel” pingin bikin usaha. Jadilah sambil berenang
minum air, sambil jalan usaha sambil cari-cari ilmu yang mumpuni agar jalannya
usaha juga makin berkembang.
Saya pertama kali datang ke sini
karena ajakan 2 orang teman, Hasti dan Ami. Hasti ini adalah calon roaster
(cieh), seorang wanita tangguh asal Tanjung Bintang (saya pernah sekali ke
daerah Tanjung Bintang ini, dan sebagian jalanannya luar biasa nekuk dengan
pinggiran jurang langsung, dimana tiap kali ada belokan dan papasan dengan
kendaraan besar lain, saya sebagai penumpang di samping supir cuma mampu tutup
mata) yang sekarang menekuni bisnis kopi dari hulu sampai hilir PLUS bikin coffee-trip. Menarik banget, kan? Di
lembar lain nanti akan saya ceritakan tentang Hasti J.
Lalu Ami, sama kayak saya yang suka minum kopi tapi dia tingkatannya lebih
tinggi karena lebih intens dan istiqomah dibandingkan saya yang minum kopi
kalau sempat (dan disempatkan). Halah.
Jadilah kami bertiga malam-malam
hujan-hujan ke kedai kopi milik Ferdy ini dan saya belajar cup test! Yeayyyy! Baru
tau saya kalau untuk menguji sensorisnya, ada tahap bernama cup test yang menggunakan basis kopi
tubruk untuk membuat sampel ujinya. Standarnya, 8-10 gram bubuk kopi ditubruk
dengan 150 gram air di suhu 93-96⁰C, didiamkan
selama 1-2 menit, dibuang ampasnya, lalu dilakukan uji (rasa-rasanya harus cek
lagi di kitab standarnya, karena informasi ini hanya saya dapatkan dari hasil
mendengarkan orang). Teknik menyeruputnya pun khusus, kalau belum ahli bisa
tersedak karena ada sebagian yang dilewatkan saluran tenggorokan. Beruntungnya
saya bisa icip-icip 3 jenis arabika yaitu Java Mocha, Ijen Raung, dan
Mandheling. Uwuwuwuwu. Saya sukaaa banget arabika karena wangi dan flavornya
yang lucu nggak seperti kopi instan yang selalu diminum sama bapak saya dulu.
Haha biarin udik, penting senengg. :p.
Java Mocha, kenapa diberi nama
demikian, adalah karena dikatakan ada flavor coklat yang dibawanya. Si petani
sekaligus roaster pemilik biji jenis ini mengaku memiliki 60-an jenis metode
pasca panen untuk membentuk Java Mocha ini. Masya Allah. Entahlah, sebagai
penikmat cerita, saya baru hanya menyerap saja, belum paham betul kebenaran
atau ketertelusuran ke-60an metode tadi.
Ijen Raung, saya hanya bisa
tangkap body-nya yang tebal, asamnya tipis.
Mandheling, saya suka karena asamnya
medium.
Yah, emang dasar saraf sensorinya kurang peka
sih ya. Haha. Saya masih harus terus belajar, betul. Kata mas Pepeng waktu itu,
kalo mau membiasakan sensori ya harus konsisten minum kopinya minimal ya 3 kali
seminggu lah kalo belum mau tiap hari. Ya betul juga sih, dimana-mana memang
bisa itu karena terbiasa, kan?
Makasih, Ferdy buat nge-treat
cuptest nya dan Mba Hasti buat traktiran bijinya. Ohya, tentang kedai, kedai
ini konsepnya juga masih manual brew
seperti Keiko dan Klinik Kopi. Sebagian besar pelanggannya mahasiswa. Tempatnya
mungil, tapi hangat. Seriusan lho ini. Terutama kalau dateng ke sana
hujan-hujan dan pesan secangkir kopi dan terlibat pembicaraan seru nan hangat. Asek.
Nb : Jangan lupa setelah minum
kopi, bantu ginjalmu bekerja dengan meminum air mineral 3-4 gelas, kata Hasti.
Baiklaaahh!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar