Tulisan super pendek (pas 200 kata) dalam rangka iseng menanggapi tantangan salah satu penerbit di Jogja untuk menulis dengan tema "petir" tanpa ada kata-kata petir di dalamnya. Aneh sih jadinya, tapi biarlah. Akhirnya menulis fiksi lagiiiiii kyaaaa.
Seorang
wanita datang ke kedai. Katanya dia mencari tempat duduk dimana ia bisa melihat
langit dengan leluasa. Kukatakan padanya, kedai kami tidak punya ruang terbuka.
Ia
menggeleng. Kata dia, tempat itu ada di kedai ini. Kulirik jendela, awan gelap
menggantung . Kilatan kecil cahaya di sela-selanya menyisik disusul geraman
kecil geluduk. Kutawarkan pada wanita itu untuk duduk di meja bar sementara
kucarikan tempat yang dia maksud.
“Bolehkah?”
tanya wanita itu. Aku tersenyum, dan mengangguk. Duduklah wanita itu di depan
meja bar, memandang ke luar lewat jendela. Tak lama kemudian, hujan benar-benar
turun.
“Mbak dengar
suara barusan? Suara seperti pecahan piring tapi di langit.” Aku tersenyum
kecil. “Pacar saya bilang benar ini tempatnya. Dimana saya bisa lihat langit
luas dan juga dia.”
Belakangan baru
kusadari, meja bar kami terletak 4 anak tangga lebih tinggi daripada lantai
meja para tamu dengan jendela besar tanpa terali dan mengarah ke sawah belakang.
Jendela ini hiburan kami para barista saat menarik nafas dalam sebelum mulai
mengucurkan susu di atas espresso dan me-latte. Wanita ini, tunangan Rama,
barista kami yang beberapa bulan lalu meninggal tertimpa pohon tumbang di
tengah badai hebat dalam perjalanan menuju bandara. Kata Rama sore itu,
“Pacarku dateng. Aku jemput dia dulu ya.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar