Sudah pernah membuat anak orang menangis tersedu-sedu?
Berapa kali?
Saya sudah pernah, dan berkali-kali. Haha. Salah satu
kelemahan saya di depan anak-anak adalah meihat mereka menangis, meskipun
seringnya saya yang buat mereka begitu. Rasanya seperti disalahkan oleh dunia
ketika melihat mereka murung dan mulai menangis. Apa yang telah salah saya
lakukan dan ucapkan? Mulai dari membimbing untuk melakukan sesuatu, mengerjakan
latihan, hingga maju tampil ke depan entah menjawab soal atau sekedar bernyanyi
sudah pernah saya coba. Niat awalnya benar-benar suci lho ini, yaitu ingin agar anak-anak lebih berani. Ohya, tipikal
anak-anak saya mayoritas adalah anak-anak yang “baik di sekolah”. Nakal dan
hiperaktif sih iya pasti, tapi bukan itu masalah terbesarnya. Barulah ketika
menangani sendiri anak-anak ini, pertanyaan macam “seperti apa mereka di
rumah?” mulai muncul ke permukaan. Makin lama, pertanyaan ini makin tebal,
mengeras, dan ukuran font-nya
membesar, trus berubah warna makin lama makin pekat. Halah.
Berkaca dari diri sendiri terlebih dahulu, saya melihat
bahwa cara didikan orangtua di rumah ternyata terbukti menyeleksi sikap-sikap
tertentu yang kita gunakan di masa depan. Selebihnya, alam dan lingkungan yang
membentuk pribadi kita. Orangtua saya tidak pernah memukul, saya tidak tinggal
di lingkungan orang yang suka main tangan, maka saya pun tak terbiasa
menggerakkan tangan untuk ‘menegur” orang lain. Orangtua saya tidak marah
dengan kata-kata kotor, lingkungan saya kadang sangat “kotor” kadang “bersih”,
maka saya memilah-milah. Tentu saja lebih banyak terseret lingkungan pada
akhirnya. Hahaha!! :p. Orangtua saya selalu mengerjakan segala sesuatunya
dengan tidak bergantung pada harapan untuk dibantu orang lain, lingkungan saya
kadang sangat “memanjakan”, maka saya pun tumbuh menjadi orang yang suka kelayapan (pergi jalan-jalan) sendiri.
Terlalu seringnya anak-anak minta tugasnya untuk dipentan (huruf “e” dibaca seperti pada
kata “desa”, yang artinya diberi nilai) membuat mereka mengukur kemampuan
melakukan sesuatu berdasarkan benar-salah. Ya, saya sendiri juga seringkali
memberikan nilai angka pada mereka di beberapa kesempatan. Terkadang ada
tugas-tugas kecil yang tidak untuk saya ambil nilainya, tidak saya beri nilai,
melainkan hanya diberi semacam tanda penyemangat. Saya bilang bahwa
penanda-penanda tersebut memiliki rentang nilai sendiri-sendiri. Kalau di
Hogwarts punya sistem penilaian O untuk Outstanding hingga T untuk Troll, eh
bukan, P untuk Poor, maka secara sederhana saya kenalkan anak-anak disini
dengan Excellent hingga Keep Spirit (sering dibaca oleh anak-anak dengan
“escelekete” dan “kip sprit”. Hadeh).
Inilah kemudian yang sempat jadi bumerang untuk saya
sendiri. Suatu ketika saya sedang menemani anak-anak belajar malam di rumah
saya. Tugas mereka malam itu adalah membuat soal dari kotak-kotak angka yang
saya berikan, dengan cara membuat pohon soal. Pohon soal adalah pohon dimana
daun-daunnya ditulisi soal-soal hitungan dari angka-angka yang diberikan dan
“berbuah” jawaban. Instruksinya adalah masing-masing anak membuat soal dan
jawaban sendiri untuk nantinya ditukar dan mengerjakan milik teman lain. Tiap “daun pertanyaan” akan memiliki warna
yang sama dengan “buah jawabannya” sendiri, dimana letak daun dan buah adalah
acak.
Salah satu anak, Hasna, membuatnya dengan memberikan nomor
baik pada soal maupun jawaban tanpa saya instruksikan. Hal ini tentu saja
menjadi tinggal pelajaran mewarnai saja akhirnya. Pada saat membahas, jadilah teman-temannya
mempermasalahkan pekerjaan Hasna yang kurang benar, tidak sesuai instruksi yang
diberikan. Disinilah proses “penilaian” secara alamiah dilakukan oleh anak-anak
: menilai benar-salah dari tingkat kebenaran mengikuti instruksi yang
diberikan. Betul memang harapan saya agar semuanya mengikuti instruksi dengan
baik dengan kebebasan mengembangkan apapun selama proses membuat tugasnya.
Karena dalam pikiran saya, hal apapun itu, konsep dasar harus dibangun dengan
benar dulu, barulah kran pengembangan kreativitas sepanjang proses belajar
dibuka pol.
Tapi apa yang terjadi? Tak selamanya cinta itu indah, Jon
(nostalgia lagunya Wayang – Tak Selamanya. Ingat? :D). Maksud saya, tak
selamanya apa yang dibangun dalam kepala saya tersampaikan dengan cara yang
tepat ke sasaran. Dalam diam Hasna kecil saya menangis, membelakangi saya. Punggung
tangannya sesekali mengusap pipinya. Saya datangi ia, menanyakan alasan
tangisannya malam itu. Lama ia menghabiskan air matanya. Adik Hasna yang masih
3 tahun, Hasni, juga ikut menenangkan kakaknya dengan duduk di samping Hasna.
Lucu melihat Hasni mengelus-elus tangan kakaknya dan berucap “sudah kak, jangan
menangis. Ayo kita pulang”.
Hingga akhirnya, setelah habis airmata di pipi dan matanya,
Hasna menjawab pertanyaan saya (“Kenapa Hasna tiba-tiba menangis? Ibu jadi
bingung ini kan?”) :
“Keliru, Bu. “ Lalu dia meneruskan. “ Saya salah
mengerjakan. Harusnya ndak seperti ini. “ Sambil menunjuk buku tugasnya.
Dan seorang anak pun terkadang bisa sangat sedih ketika
keliru dalam mengerjakan suatu hal, bahkan sebelum sempat dimarahi. Ada dua
poin yang saya baca di sini. Yang pertama, pengaruh kebiasaan di rumah yang
menjadikannya “perasa”, entah kebiasaan apa. Jelas tidak semua anak akan
bersikap demikian pada kasus yang sama. Kembali ke apa yang dibicarakan di awal
tadi, bahwa apa yang membentuk karakter anak sekolah usia di bawah 11 salah
satunya adalah rumahnya. Saya pun jadi menghela nafas dalam-dalam, memperingatkan
pada diri sendiri bahwa sebenarnya anak-anak pun menyadari kalau dia keliru.
Poin yang kedua, jadi tanpa harus disalahkan atau dipojokkan karena
kesalahannya, sebenarnya jauh di dalam hati mereka sudah sangat sedih. Lalu apa
yang harus dilakukan?
Saya pikir tiap guru punya caranya masing-masing. Kalau saya
pribadi, yang bisa saya lakukan adalah melapangkan hatinya dulu. Mengiyakan kekeliruannya,
ya, tapi juga membesarkan hatinya bahwa dari yang keliru itulah kita beranjak
untuk menjadi benar.
Karena saya percaya, apapun yang baik untuk mereka nanti,
baiknya dimulai sejak saat ini. Ajari mereka hari ini, maka yakinlah mereka
akan bisa melakukannya sendiri. Nanti.
-Dibuat sambil
mendengarkan Bila Kau Tak di Sampingku dari album 7 Desember-nya Sheila On 7. Walaupun
konteks lagunya bercerita tentang hubungan orang dewasa, tapi judul lagu ini menegunkan
saya sebuah hal : bahwa akan kurang bisa dibayangkan kalau para pembelajar
cilik ini nanti tidak lagi di samping saya-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar