Rabu, 26 Desember 2012

Keliru


Sudah pernah membuat anak orang menangis tersedu-sedu? Berapa kali?

Saya sudah pernah, dan berkali-kali. Haha. Salah satu kelemahan saya di depan anak-anak adalah meihat mereka menangis, meskipun seringnya saya yang buat mereka begitu. Rasanya seperti disalahkan oleh dunia ketika melihat mereka murung dan mulai menangis. Apa yang telah salah saya lakukan dan ucapkan? Mulai dari membimbing untuk melakukan sesuatu, mengerjakan latihan, hingga maju tampil ke depan entah menjawab soal atau sekedar bernyanyi sudah pernah saya coba. Niat awalnya benar-benar suci lho ini, yaitu ingin agar anak-anak lebih berani. Ohya, tipikal anak-anak saya mayoritas adalah anak-anak yang “baik di sekolah”. Nakal dan hiperaktif sih iya pasti, tapi bukan itu masalah terbesarnya. Barulah ketika menangani sendiri anak-anak ini, pertanyaan macam “seperti apa mereka di rumah?” mulai muncul ke permukaan. Makin lama, pertanyaan ini makin tebal, mengeras, dan ukuran font-nya membesar, trus berubah warna makin lama makin pekat. Halah.

Berkaca dari diri sendiri terlebih dahulu, saya melihat bahwa cara didikan orangtua di rumah ternyata terbukti menyeleksi sikap-sikap tertentu yang kita gunakan di masa depan. Selebihnya, alam dan lingkungan yang membentuk pribadi kita. Orangtua saya tidak pernah memukul, saya tidak tinggal di lingkungan orang yang suka main tangan, maka saya pun tak terbiasa menggerakkan tangan untuk ‘menegur” orang lain. Orangtua saya tidak marah dengan kata-kata kotor, lingkungan saya kadang sangat “kotor” kadang “bersih”, maka saya memilah-milah. Tentu saja lebih banyak terseret lingkungan pada akhirnya. Hahaha!! :p. Orangtua saya selalu mengerjakan segala sesuatunya dengan tidak bergantung pada harapan untuk dibantu orang lain, lingkungan saya kadang sangat “memanjakan”, maka saya pun tumbuh menjadi orang yang suka kelayapan (pergi jalan-jalan)  sendiri.

Terlalu seringnya anak-anak minta tugasnya untuk dipentan (huruf “e” dibaca seperti pada kata “desa”, yang artinya diberi nilai) membuat mereka mengukur kemampuan melakukan sesuatu berdasarkan benar-salah. Ya, saya sendiri juga seringkali memberikan nilai angka pada mereka di beberapa kesempatan. Terkadang ada tugas-tugas kecil yang tidak untuk saya ambil nilainya, tidak saya beri nilai, melainkan hanya diberi semacam tanda penyemangat. Saya bilang bahwa penanda-penanda tersebut memiliki rentang nilai sendiri-sendiri. Kalau di Hogwarts punya sistem penilaian O untuk Outstanding hingga T untuk Troll, eh bukan, P untuk Poor, maka secara sederhana saya kenalkan anak-anak disini dengan Excellent hingga Keep Spirit (sering dibaca oleh anak-anak dengan “escelekete” dan “kip sprit”. Hadeh).

Inilah kemudian yang sempat jadi bumerang untuk saya sendiri. Suatu ketika saya sedang menemani anak-anak belajar malam di rumah saya. Tugas mereka malam itu adalah membuat soal dari kotak-kotak angka yang saya berikan, dengan cara membuat pohon soal. Pohon soal adalah pohon dimana daun-daunnya ditulisi soal-soal hitungan dari angka-angka yang diberikan dan “berbuah” jawaban. Instruksinya adalah masing-masing anak membuat soal dan jawaban sendiri untuk nantinya ditukar dan mengerjakan milik teman lain.  Tiap “daun pertanyaan” akan memiliki warna yang sama dengan “buah jawabannya” sendiri, dimana letak daun dan buah adalah acak.

Salah satu anak, Hasna, membuatnya dengan memberikan nomor baik pada soal maupun jawaban tanpa saya instruksikan. Hal ini tentu saja menjadi tinggal pelajaran mewarnai saja akhirnya. Pada saat membahas, jadilah teman-temannya mempermasalahkan pekerjaan Hasna yang kurang benar, tidak sesuai instruksi yang diberikan. Disinilah proses “penilaian” secara alamiah dilakukan oleh anak-anak : menilai benar-salah dari tingkat kebenaran mengikuti instruksi yang diberikan. Betul memang harapan saya agar semuanya mengikuti instruksi dengan baik dengan kebebasan mengembangkan apapun selama proses membuat tugasnya. Karena dalam pikiran saya, hal apapun itu, konsep dasar harus dibangun dengan benar dulu, barulah kran pengembangan kreativitas sepanjang proses belajar dibuka pol.
Tapi apa yang terjadi? Tak selamanya cinta itu indah, Jon (nostalgia lagunya Wayang – Tak Selamanya. Ingat? :D). Maksud saya, tak selamanya apa yang dibangun dalam kepala saya tersampaikan dengan cara yang tepat ke sasaran. Dalam diam Hasna kecil saya menangis, membelakangi saya. Punggung tangannya sesekali mengusap pipinya. Saya datangi ia, menanyakan alasan tangisannya malam itu. Lama ia menghabiskan air matanya. Adik Hasna yang masih 3 tahun, Hasni, juga ikut menenangkan kakaknya dengan duduk di samping Hasna. Lucu melihat Hasni mengelus-elus tangan kakaknya dan berucap “sudah kak, jangan menangis. Ayo kita pulang”.

Hingga akhirnya, setelah habis airmata di pipi dan matanya, Hasna menjawab pertanyaan saya (“Kenapa Hasna tiba-tiba menangis? Ibu jadi bingung ini kan?”) :

“Keliru, Bu. “ Lalu dia meneruskan. “ Saya salah mengerjakan. Harusnya ndak seperti ini. “ Sambil menunjuk buku tugasnya.

Dan seorang anak pun terkadang bisa sangat sedih ketika keliru dalam mengerjakan suatu hal, bahkan sebelum sempat dimarahi. Ada dua poin yang saya baca di sini. Yang pertama, pengaruh kebiasaan di rumah yang menjadikannya “perasa”, entah kebiasaan apa. Jelas tidak semua anak akan bersikap demikian pada kasus yang sama. Kembali ke apa yang dibicarakan di awal tadi, bahwa apa yang membentuk karakter anak sekolah usia di bawah 11 salah satunya adalah rumahnya. Saya pun jadi menghela nafas dalam-dalam, memperingatkan pada diri sendiri bahwa sebenarnya anak-anak pun menyadari kalau dia keliru. Poin yang kedua, jadi tanpa harus disalahkan atau dipojokkan karena kesalahannya, sebenarnya jauh di dalam hati mereka sudah sangat sedih. Lalu apa yang harus dilakukan?

Saya pikir tiap guru punya caranya masing-masing. Kalau saya pribadi, yang bisa saya lakukan adalah melapangkan hatinya dulu. Mengiyakan kekeliruannya, ya, tapi juga membesarkan hatinya bahwa dari yang keliru itulah kita beranjak untuk menjadi benar.

Karena saya percaya, apapun yang baik untuk mereka nanti, baiknya dimulai sejak saat ini. Ajari mereka hari ini, maka yakinlah mereka akan bisa melakukannya sendiri. Nanti.

-Dibuat sambil mendengarkan Bila Kau Tak di Sampingku dari album 7 Desember-nya Sheila On 7. Walaupun konteks lagunya bercerita tentang hubungan orang dewasa, tapi judul lagu ini menegunkan saya sebuah hal : bahwa akan kurang bisa dibayangkan kalau para pembelajar cilik ini nanti tidak lagi di samping saya-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar