“Bersyukurlah, karena dimanapun kamu berada, dengan segala kekurangan
dan kelebihan yang ada, itu adalah tempat terbaikmu berada.”
Seperti menerima guyuran air hujan setelah kemarau berhari-hari, kalimat
singkat Bang Ade (rekan dari kantor Indonesia Mengajar di Jakarta) yang sedang
mengunjungi saya dan teman-teman di Paser ini terasa se-menyegarkan itu. Bukan
kalimat luar biasa sih sebenarnya, tapi
di dalam kondisi kami, para pengajar muda, yang cuma punya 9 orang terdekat
dalam jangkauan geografis untuk saling menguatkan ini, tambahan amunisi satu
“peluru” ini cukup membuat pundak ini terangkat lebih ringan. Dan lebih nglegawa*, kalau orang Jawa bilang.
Meski pundak terangkat lebih ringan, guyuran hujan yang sesungguhnya
justru membuat langkah kaki kami, warga desa Maruat, semakin berat. Literally, karena jalanan desa yang
becek, licin, dan lengket terutama sejak bulan ke-4 yang lalu. Mau jalan kaki,
naik sepeda, atau naik motor, jatuh berlumpur-lumpur sudah pernah saya alami
melalui ketiga “metode” di atas. Hahaha. Ternyata 7 tahun berkendara motor
kesana-sini belum cukup hebat untuk bertahan hidup di jalanan di sini.
Lagi, setiap tempat memiliki tantangan yang pas bagi penghuninya masing-masing. Kalau ada rekan yang ditantang
untuk hidup di pesisir dengan kemampuan berenang nol sama sekali, atau di desa
yang alat transportasinya hanya dengan ketinting (kapal kayu kecil bermuatan
maks 5-6 orang dewasa), atau di desa dekat pusat pemerintahan tapi tak berlistrik
sama sekali, mungkin saya memang diberi bagian menikmati aliran listrik PLN 24
jam dengan desa besar tengah hutan ini. Kembali ke masalah hujan, sekali ini
saya ingin cerita sedikit tentang cuaca.
Cuaca menjadi hal yang saya garisbawahi di tempat saya tinggal saat ini.
Jika di daerah pesisir cuaca berpengaruh terhadap besarnya angin, ombak, dan
kegiatan menjaring ikan, di tempat saya cuaca berpengaruh terhadap semangat
untuk melakukan kegiatan apapun. Jadilah peraturan pertama dalam mengadakan
kegiatan di desa adalah harus bersedia “berjudi” dengan cuaca. Disebut “berjudi”
karena demi lancarnya mobilisasi untuk mengerjakan suatu aktivitas, kita harus
bertaruh apakah di hari H akan turun hujan atau tidak. Saya senang jika hari
hujan karena berarti asupan air bersih di rumah tangga tercukupi. Tapi sekaligus
sedih karena hujan juga menjadi pematah semangat saat harus berkegiatan. Jalan
yang becek biasanya akan disambut dengan alasan pembatalan acara.
Ada beberapa momen “perjudian” yang membuat saya tersenyum lebar,
meringis, bahkan terharu. “Perjudian” kami (saya, anak-anak, dan warga desa) dengan
cuaca yang meninggalkan senyum terakhir kali terjadi saat malam takbiran Idul
Fitri kemarin. Rencana untuk meramaikan hari raya dengan takbir keliling memang
sudah sejak awal bulan Ramadhan. Tapi baru 3 hari menjelang hari raya saya
mengumpulkan “bala tentara” dan menanyakan kembali keyakinan mereka untuk
men-jadi-kan takbiran keliling atau tidak di ruangan 3x2 yang biasa kami sebut
Perpus Matahari.
“Ayo, Ibu tanyakan sekali lagi nih ya. Kalau mau jadi takbiran, ayo kita
sama-sama buat obornya, tentukan rutenya. Kalau tidak jadi, ya sudah tidak
apa-apa, kita takbir di masjid kita masing-masing”, kata saya kala itu. FYI,
masjid di desa tempat saya tinggal jumlahnya ada 3, masing-masing berlokasi di
3 gang panjang yang berbeda yang sering disebut Handil Beringin Mekar, Handil
Beringin Mekar, dan Maruat.
Rahmat, Nanda, Tenri, Ayu, dan Wulan, anak-anak SMP yang waktu itu hadir
dalam rapat pengambilan keputusan itu pun sejenak ragu. Ada kekhawatiran bahwa takbirannya
tidak meriah karena pastilah banyak orang malas keluar rumah karena (takutnya)
waktu hari H hujan dan becek. Setelah pertimbangan ini-itu, kami pun ambil
keputusan untuk membuat obor bambu terlebih dahulu. Perkara malam takbiran
hujan atau becek, itu urusan belakangan. Yes,
take a bit risk and do what we can do for now.
Hari Senin panas seharian. Hari Selasa panas seharian. Hari Rabu hujan
lebat di pagi hari. Saya cuma bisa menatap langit lalu menatap ke jalanan sambil
meringis kecil. Jam berganti jam, sore menjelang, buka puasa terakhir lewat dan
saya bersama adik angkat saya, Nanda, pergi ke tempat janji berkumpul untuk
takbiran, sekolah. Pringisan saya
yang sudah memprediksi hanya sedikit orang yang datang takbiran berganti dengan
senyum lebar. Sebanyak 34 orang datang malam itu. J
*nglegawa = berbesar hati/berlapang
dada
Tidak ada komentar:
Posting Komentar