Selasa, 10 September 2013

“BERJUDI” DENGAN CUACA (1)



“Bersyukurlah, karena dimanapun kamu berada, dengan segala kekurangan dan kelebihan yang ada, itu adalah tempat terbaikmu berada.”

Seperti menerima guyuran air hujan setelah kemarau berhari-hari, kalimat singkat Bang Ade (rekan dari kantor Indonesia Mengajar di Jakarta) yang sedang mengunjungi saya dan teman-teman di Paser ini terasa se-menyegarkan itu. Bukan kalimat luar biasa sih sebenarnya, tapi di dalam kondisi kami, para pengajar muda, yang cuma punya 9 orang terdekat dalam jangkauan geografis untuk saling menguatkan ini, tambahan amunisi satu “peluru” ini cukup membuat pundak ini terangkat lebih ringan. Dan lebih nglegawa*, kalau orang Jawa bilang.
Meski pundak terangkat lebih ringan, guyuran hujan yang sesungguhnya justru membuat langkah kaki kami, warga desa Maruat, semakin berat. Literally, karena jalanan desa yang becek, licin, dan lengket terutama sejak bulan ke-4 yang lalu. Mau jalan kaki, naik sepeda, atau naik motor, jatuh berlumpur-lumpur sudah pernah saya alami melalui ketiga “metode” di atas. Hahaha. Ternyata 7 tahun berkendara motor kesana-sini belum cukup hebat untuk bertahan hidup di jalanan di sini.
Lagi, setiap tempat memiliki tantangan yang pas bagi penghuninya masing-masing. Kalau ada rekan yang ditantang untuk hidup di pesisir dengan kemampuan berenang nol sama sekali, atau di desa yang alat transportasinya hanya dengan ketinting (kapal kayu kecil bermuatan maks 5-6 orang dewasa), atau di desa dekat pusat pemerintahan tapi tak berlistrik sama sekali, mungkin saya memang diberi bagian menikmati aliran listrik PLN 24 jam dengan desa besar tengah hutan ini. Kembali ke masalah hujan, sekali ini saya ingin cerita sedikit tentang cuaca.
Cuaca menjadi hal yang saya garisbawahi di tempat saya tinggal saat ini. Jika di daerah pesisir cuaca berpengaruh terhadap besarnya angin, ombak, dan kegiatan menjaring ikan, di tempat saya cuaca berpengaruh terhadap semangat untuk melakukan kegiatan apapun. Jadilah peraturan pertama dalam mengadakan kegiatan di desa adalah harus bersedia “berjudi” dengan cuaca. Disebut “berjudi” karena demi lancarnya mobilisasi untuk mengerjakan suatu aktivitas, kita harus bertaruh apakah di hari H akan turun hujan atau tidak. Saya senang jika hari hujan karena berarti asupan air bersih di rumah tangga tercukupi. Tapi sekaligus sedih karena hujan juga menjadi pematah semangat saat harus berkegiatan. Jalan yang becek biasanya akan disambut dengan alasan pembatalan acara.
Ada beberapa momen “perjudian” yang membuat saya tersenyum lebar, meringis, bahkan terharu. “Perjudian” kami (saya, anak-anak, dan warga desa) dengan cuaca yang meninggalkan senyum  terakhir kali terjadi saat malam takbiran Idul Fitri kemarin. Rencana untuk meramaikan hari raya dengan takbir keliling memang sudah sejak awal bulan Ramadhan. Tapi baru 3 hari menjelang hari raya saya mengumpulkan “bala tentara” dan menanyakan kembali keyakinan mereka untuk men-jadi-kan takbiran keliling atau tidak di ruangan 3x2 yang biasa kami sebut Perpus Matahari.
“Ayo, Ibu tanyakan sekali lagi nih ya. Kalau mau jadi takbiran, ayo kita sama-sama buat obornya, tentukan rutenya. Kalau tidak jadi, ya sudah tidak apa-apa, kita takbir di masjid kita masing-masing”, kata saya kala itu. FYI, masjid di desa tempat saya tinggal jumlahnya ada 3, masing-masing berlokasi di 3 gang panjang yang berbeda yang sering disebut Handil Beringin Mekar, Handil Beringin Mekar, dan Maruat.
Rahmat, Nanda, Tenri, Ayu, dan Wulan, anak-anak SMP yang waktu itu hadir dalam rapat pengambilan keputusan itu pun sejenak ragu. Ada kekhawatiran bahwa takbirannya tidak meriah karena pastilah banyak orang malas keluar rumah karena (takutnya) waktu hari H hujan dan becek. Setelah pertimbangan ini-itu, kami pun ambil keputusan untuk membuat obor bambu terlebih dahulu. Perkara malam takbiran hujan atau becek, itu urusan belakangan. Yes, take a bit risk and do what we can do for now.
Hari Senin panas seharian. Hari Selasa panas seharian. Hari Rabu hujan lebat di pagi hari. Saya cuma bisa menatap langit lalu menatap ke jalanan sambil meringis kecil. Jam berganti jam, sore menjelang, buka puasa terakhir lewat dan saya bersama adik angkat saya, Nanda, pergi ke tempat janji berkumpul untuk takbiran, sekolah. Pringisan saya yang sudah memprediksi hanya sedikit orang yang datang takbiran berganti dengan senyum lebar. Sebanyak 34 orang datang malam itu. J


*nglegawa = berbesar hati/berlapang dada

Tidak ada komentar:

Posting Komentar