Akhir April
lalu, saya berkesempatan mengajak anak-anak murid saya yang lolos ke tahap
semifinal sebuah lomba sains ke ibukota Kabupaten Paser, Tana Paser. Babak
semifinal ini adalah lanjutan dari babak penyisihan tingkat kecamatan yang
sudah diadakan sebulan sebelumnya. Secara mengejutkan, 14 dari 22 murid yang
ikut seleksi tingkat kecamatan lolos ke babak semifinal. Dan jadilah kami
beramai-ramai menginjak ibukota kabupaten nan ramai dan gemerlap.
Jarangnya
mereka menginjak daerah perkotaan betul-betul membangkitkan rasa penasaran
mereka yang terpendam. Jalan-jalan di malam hari menikmati kota menjadi satu
pilihan hiburan aman saya untuk melepas lelah mereka setelah perjalanan jauh
dengan mobil desa yang disertai muntah massal.
Di ibukota
kabupaten ini ada satu tempat menarik yang sering saya dengar disebut dengan
MTQ. Bangunannya bercat ungu dengan serambi di kedua pingginya dan lapangan
keramik terbuka di tengahnya, hampir seluas lapangan sepakbola. Ketika malam
tiba, tempat ini menjadi pusat kegiatan anak muda yang dinamis. Malam itu, saya
melihat anak-anak begitu tertarik memperhatikan sekumpulan anak muda yang
berjoged dengan radio tape yang memutar musik bergenre RnB. Tak jauh dari situ,
kumpulan muda-mudi lain sedang latihan tari juga. Tak tertinggal kapoera,
dimana saya dan anak-anak sempat minta diajari satu gerakan dasar oleh mereka. Fun!
Bertandang
ke kota kabupaten mengiring anak-anak yang super penasaran menjadi keasyikan
tersendiri bagi saya. Bagaimana tidak? Banyak hal yang tak tertangkap di sudut
mata mereka di desa, sehingga membuat kunjungan ini begitu punya makna. Anak-anak
ini bahkan sudah bangun sejak jam 3 pagi di hari H lombanya dan sudah rapi jali
di kala gurunya yang satu ini baru memicingkan mata untuk mengenali datangnya matahari.
Sebulan
kemudian, yaitu bulan Mei, pengumuman peserta yang lolos babak final pun
datang. Dengan hati berdebar saya cermati nama-nama peserta yang lolos. Namun
nasib baik belum juga datang, tak satu pun dari nama-nama itu terdengar
familiar bagi saya. Empat belas mutiara kecil saya belum berkesempatan pergi ke
tanah Jawa. Sedih, jelas iya. Tapi ketika mengabarkan hal ini pada mereka, saya
tiba-tiba terkesiap sendiri.
Bukan,
bukan titel kemenangan yang mengisi binar mata itu. Binar-binar mata itu berisi
hari-hari ketika kami belajar bersama di sawah, di kelas, berjalan-jalan di
sekitar sekolah, melakukan percobaan, perjalanan panjang ke Grogot untuk
mengikuti lomba semifinal, dan lain-lain. Kemenangan adalah hal yang sangat
baik. Dan tentu saja, menyenangkan. Tapi ketika berhasil mengalahkan ego
masing-masing dan mau berrela hati untuk tinggal di sekolah sementara
teman-temannya yang lain sudah pulang, selama berhari-hari, saya menyadari
bahwa titel juara sudah melekat saat itu juga pada mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar