Selasa, 04 November 2014

Kelas Sabtu bersama Padi dan Cacing

Ada kalanya ketika kita menginjak usia tertentu, usia itu menjadikan kita serba salah. Namanya usia tanggung. Jelas, bukan botol air mineral saja yang punya kemasan ukuran tanggung, nyatanya usia juga.

Mau ikut acaranya PEMUDA : udah ketuaan.
Mau ikut acara orang DEWASA : terlihat paling muda sendiri.
Huft.

Setelah menunda penasaran sebanyak 2 pekan, akhirnya hari ini bisa menyempatkan diri untuk ikut kegiatan di Sekolah Tani Muda. “Muda” di sini, setelah saya pahami lebih jauh, sepertinya lebih ditujukan kepada para PEMUDA dalam rentang 18-25 tahun. Sementara, karena posisi umur saya berada di angka yang paling ujung, yaitu 18, maka saya sempat mengalami krisis identitas sesaat. Bagaimana tidak? Semua orang yang datang rata-rata mahasiswa. Saya juga dulu mahasiswa. DULU.
Tapi terlepas dari masalah umur, saya senang hari ini datang ke forum kecil itu dan belajar tentang hal baru yang saya belum pernah tahu. Mungkin sebagian dari Anda akan kaget kalau saya bilang hal baru tersebut adalah tentang membuat pupuk dengan bantuan cacing dan cara menanam padi. Haha. Tapi betulan, saya belum pernah mengetahuinya, apalagi melakukan prakteknya. Walaupun hari ini baru sesi kelas, saya harap ada kelanjutan ilmunya tidak putus sampai semua peserta bisa praktek sendiri di rumah masing-masing. Amin. Ini sedikit rangkuman yang saya catat dari sesi singkat yang saya ikuti pada Sabtu, 1 November 2014 lalu.

1.       Membuat Pupuk kascing (beKAS caCING)
Seumur-umur saya yang kurang pergaulan ini, istilah kascing ya baru saya dengar sekali ini. Dengan memanfaatkan hasil sekresi cacing sebagai zat-zat penyubur tanah, pupuk jenis ini relatif mudah dibuat dari bahan-bahan organik di sekitar kita. Tanah, cacing, dan sisa bahan makanan menjadi bahan penyusun utama pupuk ini dengan formula 1:1 (tanah:cacing). Artinya, jika ingin membuat 1 kg pupuk, maka harus ada 1 kg cacing sehat di dalamnya. Menurut narasumber pupuk kascing, mas Sohib, cacing yang paling bagus untuk melakukan pekerjaan urai-mengurai ini adalah jenis cacing Lumbricus yang menurut sebagian orang, jenis cacing ini adalah jenis cacing “doyan makan”, sehingga dapat mempercepat proses penguraian bahan organik dan menghasilkan pupuk dengan mutu yang bagus.
Meskipun begitu, semua jenis cacing selain Lumbricus tetap masih dapat digunakan untuk pembuatan pupuk ini. Lama pembuatan pupuk kascing hingga siap pakai rata-rata adalah satu hari, Sebelum dapat digunakan, campuran bahan pembuat pupuk tadi dipisahkan dari cacing dan bahan organiknya, hingga menyisakan tanah saja (sebagai pupuk yang siap pakai). Kemudian untuk pemberiannya pada tanaman, perbandingan yang diterapkan antara media tanam, tanah sekitar bamboo, dan pupuk adalah 60:20:20.
Tertarik mencoba sendiri?

2.       Selepas istirahat siang, kelas dimulai kembali dengan sesi pengetahuan tentang padi.
Pembicara di sesi ini mengingatkan saya tentang tipikal forum diskusi di kota kelahiran saya ini : santai, idealis, tapi realistis. Lupakan tentang bahasa pengantar yang resmi dan gaya penceritaan yang persuasif, kelas kecil tentang padi ini menarik apa adanya. Mas Agus, nama si pembicara itu, bercerita tentang aktivitasnya di dunia perpadian hingga mempunya spesifikasi bibit padi sendiri dan bahkan teknologi penanamannya sendiri yang ia sebut “Tapak Macan”. Disebut demikian karena tunas padi yang ditanam di sawah dibuat ber-grup seperti 3 buah batu bersusun membentuk serupa segitiga yang menghadap ke arah utara.
Dalam beberapa buku, visualisasi seperti ini seringkali digunakan untuk menggambarkan telapak kaki hewan. Metode tanam seperti itu diyakini lebih kokoh karena di dalam tanah, akar-akar padi bertautan dengan erat. Jarak tanam per grup tunas padi yang digunakan dalam teknik menanam-nya mas Agus ini juga berbeda, yaitu 30 cm, sementara biasanya hanya 20-25 cm. untuk menanamnya pun menggunakan bamboo sehingga jarak tanam bisa seragam dan rapih, dengan legowo sepanjang 45 cm (legowo = jarak tanam setelah melakukan 3 kali penanaman tunas berjarak 30 cm).
Bibit padi yang digunakan mas Agus juga berbeda dengan bibit padi kebanyakan yang sudah merupakan bibit padi hibrida. Alih-alih menggunakan jenis bibit hibrida, mas Agus mengembangkan bibit galur murni yang nyata memberikan beberapa kelebihan yaitu lebih tahan terhadap hama yang menyerang serta hasil bijinya yang berjumlah 3-4 kali lipat lebih banyak daripada hasil biji padi-padi hibrida pada umumnya saat panen.



Saya senang bisa ikut kelas singkat ini walaupun baru datang sekali. Sekolah Tani Muda ini konsepnya bagus, semoga bisa lebih banyak lagi orang yang ikut bergabung dan menyebarkan pengaruh positif yang lebih meluas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar