Rabu, 05 November 2014

Sekolah : Dari Buku Hingga ke Film Drama

As long as we move forward, we will be able to see many things* – Edison’ No Haha

sumber gambar :
https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5162005867100982596#editor/target=post;postID=4930790459765937567
Saya selalu suka membaca buku berlatar belakang sekolah lengkap dengan dinamikanya. Waktu saya kecil dulu, ada sebuah buku setebal buku Lupus berjudul “Cerita Hantu di Sekolah” yang mengambil latar tempat di Jepang. Dengan mengangkat isu hantu bernama Hanako yang kerap “mengajak main” kalau seorang murid sedang sendirian di dalam toilet nomor 4, atau hantu murid lama yang masih penasaran karena ada masalah yang belum terselesaikan di sekolah, atau sekolah yang dekat kuburan sehingga sedang di koridor lantai ke-sekian kerap terdengar suara-suara aneh, buku itu sukses membuat saya menaruh perhatian dengan bangunan bernama sekolah. Yah, walaupun fokusnya malah jadi ke cerita horor-nya, bukan kehidupan sekolah-nya. Tapi sekarang, daripada disuruh baca cerita horor, saya memilih disuruh lari pagi.
Lalu seiring dengan bertambahnya usia, buku setebal buku Lupus masih saya gemari tapi kali ini agak lebih nggaya, saya pilih buku yang ceritanya lebih bernafas internasional (katakanlah : novel terjemahan). Sebut saja, seri novel Enid Blyton tentang sekolah bernama Malory Towers yang bercerita tentang Darrel Rivers, seorang anak perempuan pemberani dan cerdas yang tumbuh besar di sekolah asrama khusus wanita di Inggris. Dinamika sekolah yang diceritakan lebih beragam, mulai dari menghadapi murid berwatak menyebalkan, persahabatan yang diingkari, menjahili guru, hingga serunya menjadi murid junior dan senior. Saya suka bagaimana Enid memunculkan watak-watak yang khas pada setiap tokohnya sampai berhasil membuat saya berangan-angan sekolah di Inggris, di sekolah berasrama bernama Malory Towers (yang konon sekolahnya dekat laut, punya kolam renang, lapangan tenis, kebun yang luas, meja yang bisa dibuat menyimpan barang-barang pribadi, dan ritual pesta tengah malam yang asyik).
Dari angan-angan tentang sekolah di Inggris, saya beranjak “kasmaran” pada film berlatar sekolah menengah, yaitu Ada Apa Dengan Cinta (AADC)-nya Rudi Soedjarwo serta Catatan Akhir Sekolah-nya Hanung Bramantyo. Menurut saya, dua film itu adalah film-film yang paling mewakili hentakan jiwa-jiwa labil di rentang usia 16-18 tahun. Coba perhatikan bagaimana Cinta (Dian Sastro) sangat marah pada Rangga (Nicholas Saputra) di awal pertemuan mereka karena urusan majalah dinding dan ketika pertemuan rahasianya dengan Rangga membuat Cinta menyesal setengah mati karena telah mengabaikan sahabat yang sedang frustasi hingga memutuskan untuk bunuh diri, Alya (Ladya Cheryl). Beuh… Belum ada lah ekspresi marah dan atau menyesal-tapi-masih-sayang-Rangga se-ciamik Cinta sampai detik ini. Ah, maksud saya, pada kenyataannya, kemarahan Cinta itu sangat menggambarkan naik-turunnya emosi pada gadis-gadis di usia tersebut.
Atau perhatikan bagaimana Hanung merangkum momen “kelulusan SMA” dalam sebuah cerita yang terasa sangat dekat dengan kehidupan siswa-siswa SMA di penghujung tahun ke-3 mereka. Melihat film Hanung itu seperti sedang melihat cerminan pergaulan diri sendiri dan teman-teman di sekitar sekaligus menertawakannya. Film ini terasa “pas”, kecuali keberadaan Vino G.Bastian yang terlalu ganteng untuk jadi anak SMA *abaikan*. Yang pasti, kedua film tersebut menjadi pilihan teratas yang akan selalu saya tonton kalau sedang rindu sekolah jaman SMA. Haha.
Selain kedua film di atas, saya juga suka menonton beberapa film rekomendasi dari teman yang bertema sejenis, yaitu seputar dinamika sekolah. Lalu beberapa minggu belakangan, sampailah saya pada edisi nonton film drama Jepang berjudul Edison No Haha, atau dalam Bahasa Indonesia berarti Ibunya Edison. Kento, si tokoh utama, diceritakan sebagai seseorang seperti Thomas Alva Edison, yang tidak akan berhenti mencoba dan membuktikan rasa penasarannya sampai ia benar-benar yakin telah menemukan jawaban. Bahkan, kegagalan pun adalah sebuah jawaban. Setidaknya, pada percobaan berikutnya, seseorang yang sudah pernah gagal di satu metode tidak akan mengulangi metode itu lagi, bukan?
Pada suatu ketika, Kento membaca di sebuah buku cerita komik bahwa ada mayat yang ketika dialirkan listrik ke tubuhnya, mayat tersebut bisa hidup kembali seperti manusia. Penasaran, ia mencoba mengajak 2 temannya untuk mencoba mengalirkan listrik ke boneka manusia di ruang peraga sains. Namun ketika boneka manusia tersebut di-berdiri-kan dan dialiri listrik melalui kabel yang tersambung stop kontak, boneka manusia itu serta merta jatuh karena tentu saja, TIDAK HIDUP.
Dan karena saking yakinnya bahwa 1+1 bukan 2, Kento nyaris membuat guru-gurunya stres dengan logikanya. Lucu melihat Kento yang berusia 8 tahun bertanya “kenapa 1+1=2? Kenapa bukan angka yang lain?” dengan polos pada gurunya. Hingga akhirnya, dengan susah payah Kento berhasil diyakinkan bahwa 1+1 = 2 untuk saat ini, namun bisa menjadi bukan 2 dalam situasi tertentu, di kemudian hari.
Meskipun pelaku utama dalam cerita ini adalah Kento, murid kelas 1 SD yang selalu penasaran terhadap segala sesuatu yang dibaca dan ditemuinya, inti dari cerita ini adalah tentang ibunya Kento. Kento kecil yang sering dilaporkan sebagai anak bermasalah pembuat kegaduhan dan nilai rapornya hancur lebur, bisa mencapai puncak kesuksesannya saat dewasa berkat ibunya yang tidak pernah lelah untuk memberikan dukungan dan tak pernah segan meminta maaf pada orang-orang yang merasa direpotkan oleh tingkah anaknya.
Dari sekian banyak film drama berlatar belakang sekolahan, Edison No Haha termasuk salah satu film yang menarik ditonton oleh siapa saja. Juga, selipan humor dan tingkah polos anak-anak SD di film ini membuat penontonnya akan jauh lebih betah menjelajahi dialog demi dialog di dalamnya. Oh ya, dialog juga menjadi salah satu kekuatan di film Edison No Haha, kalau menurut saya. Buat saya, salah satu indikator film drama yang menarik adalah ketika saya tidak pernah berniat mempercepat adegan dan mencari klimaksnya seperti yang saya lakukan kalau menonton, misalnya, film drama Korea. Durasi episode yang rata-rata lebih panjang daripada film drama Jepang membuat saya kerap bosan menonton film drama Korea yang dialognya begitu-begitu saja. jadi pilihannya : percepat atau berhenti nonton.
 Tapi kembali, seni itu kan masalah selera, tak ada yang mutlak benar dan salah. Tulisan ini murni hanya tentang kesukaan saya menyelami dunia bernama sekolah lewat beberapa media pengantar cerita. Bagaimanapun bentuknya, dimanapun letaknya, apapun jenis ilmunya, sekolah akan mengantarkan murid-muridnya ke “sekolah lanjutan” yang akan selalu menantang kita – manusia – untuk berjalan ke depan agar bisa melihat lebih banyak hal.



*kuotasi yang paling saya suka di film Edison No Haha yang disampaikan oleh ibu Kento ketika Kento mempertanyakan kenapa mereka harus pindah ke Tokyo, kenapa ayahnya pergi, dan kenapa ibunya harus sibuk bekerja keras – di tengah badai salju.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar