As long as we move forward, we will be able
to see many things* – Edison’ No Haha
sumber gambar : https://www.blogger.com/blogger.g?blogID=5162005867100982596#editor/target=post;postID=4930790459765937567 |
Lalu
seiring dengan bertambahnya usia, buku setebal buku Lupus masih saya gemari
tapi kali ini agak lebih nggaya, saya
pilih buku yang ceritanya lebih bernafas internasional (katakanlah : novel
terjemahan). Sebut saja, seri novel
Enid Blyton tentang sekolah bernama Malory Towers yang bercerita tentang Darrel
Rivers, seorang anak perempuan pemberani dan cerdas yang tumbuh besar di
sekolah asrama khusus wanita di Inggris. Dinamika sekolah yang diceritakan
lebih beragam, mulai dari menghadapi murid berwatak menyebalkan, persahabatan
yang diingkari, menjahili guru, hingga serunya menjadi murid junior dan senior.
Saya suka bagaimana Enid memunculkan watak-watak yang khas pada setiap tokohnya
sampai berhasil membuat saya berangan-angan sekolah di Inggris, di sekolah
berasrama bernama Malory Towers (yang konon sekolahnya dekat laut, punya kolam
renang, lapangan tenis, kebun yang luas, meja yang bisa dibuat menyimpan barang-barang
pribadi, dan ritual pesta tengah malam yang asyik).
Dari
angan-angan tentang sekolah di Inggris, saya beranjak “kasmaran” pada film
berlatar sekolah menengah, yaitu Ada Apa Dengan Cinta (AADC)-nya Rudi Soedjarwo
serta Catatan Akhir Sekolah-nya Hanung Bramantyo. Menurut saya, dua film itu adalah
film-film yang paling mewakili hentakan jiwa-jiwa labil di rentang usia 16-18 tahun. Coba
perhatikan bagaimana Cinta (Dian Sastro) sangat marah pada Rangga (Nicholas
Saputra) di awal pertemuan mereka karena urusan majalah dinding dan ketika
pertemuan rahasianya dengan Rangga membuat Cinta menyesal setengah mati karena telah
mengabaikan sahabat yang sedang frustasi hingga memutuskan untuk bunuh diri, Alya
(Ladya Cheryl). Beuh… Belum ada lah
ekspresi marah dan atau menyesal-tapi-masih-sayang-Rangga se-ciamik Cinta sampai
detik ini. Ah, maksud saya, pada kenyataannya, kemarahan Cinta itu sangat
menggambarkan naik-turunnya emosi pada gadis-gadis di usia tersebut.
Atau
perhatikan bagaimana Hanung merangkum momen “kelulusan SMA” dalam sebuah cerita
yang terasa sangat dekat dengan kehidupan siswa-siswa SMA di penghujung tahun
ke-3 mereka. Melihat film Hanung itu seperti sedang melihat cerminan pergaulan
diri sendiri dan teman-teman di sekitar sekaligus menertawakannya. Film ini terasa
“pas”, kecuali keberadaan Vino G.Bastian yang terlalu ganteng untuk jadi anak
SMA *abaikan*. Yang pasti, kedua film tersebut menjadi pilihan teratas yang
akan selalu saya tonton kalau sedang rindu sekolah jaman SMA. Haha.
Selain
kedua film di atas, saya juga suka menonton beberapa film rekomendasi dari
teman yang bertema sejenis, yaitu seputar dinamika sekolah. Lalu beberapa
minggu belakangan, sampailah saya pada edisi nonton film drama Jepang berjudul
Edison No Haha, atau dalam Bahasa Indonesia berarti Ibunya Edison. Kento, si
tokoh utama, diceritakan sebagai seseorang seperti Thomas Alva Edison, yang tidak
akan berhenti mencoba dan membuktikan rasa penasarannya sampai ia benar-benar
yakin telah menemukan jawaban. Bahkan, kegagalan pun adalah sebuah jawaban. Setidaknya,
pada percobaan berikutnya, seseorang yang sudah pernah gagal di satu metode
tidak akan mengulangi metode itu lagi, bukan?
Pada
suatu ketika, Kento membaca di sebuah buku cerita komik bahwa ada mayat yang
ketika dialirkan listrik ke tubuhnya, mayat tersebut bisa hidup kembali seperti
manusia. Penasaran, ia mencoba mengajak 2 temannya untuk mencoba mengalirkan
listrik ke boneka manusia di ruang peraga sains. Namun ketika boneka manusia
tersebut di-berdiri-kan dan dialiri listrik melalui kabel yang tersambung stop
kontak, boneka manusia itu serta merta jatuh karena tentu saja, TIDAK HIDUP.
Dan
karena saking yakinnya bahwa 1+1 bukan 2, Kento nyaris membuat guru-gurunya stres
dengan logikanya. Lucu melihat Kento yang berusia 8 tahun bertanya “kenapa 1+1=2?
Kenapa bukan angka yang lain?” dengan polos pada gurunya. Hingga akhirnya,
dengan susah payah Kento berhasil diyakinkan bahwa 1+1 = 2 untuk saat ini, namun bisa menjadi bukan 2 dalam situasi tertentu, di kemudian hari.
Meskipun
pelaku utama dalam cerita ini adalah Kento, murid kelas 1 SD yang selalu
penasaran terhadap segala sesuatu yang dibaca dan ditemuinya, inti dari cerita
ini adalah tentang ibunya Kento. Kento kecil yang sering dilaporkan sebagai
anak bermasalah pembuat kegaduhan dan nilai rapornya hancur lebur, bisa
mencapai puncak kesuksesannya saat dewasa berkat ibunya yang tidak pernah lelah
untuk memberikan dukungan dan tak pernah segan meminta maaf pada orang-orang
yang merasa direpotkan oleh tingkah anaknya.
Dari
sekian banyak film drama berlatar belakang sekolahan, Edison No Haha termasuk
salah satu film yang menarik ditonton oleh siapa saja. Juga, selipan humor dan tingkah
polos anak-anak SD di film ini membuat penontonnya akan jauh lebih betah
menjelajahi dialog demi dialog di dalamnya. Oh ya, dialog juga menjadi salah
satu kekuatan di film Edison No Haha, kalau menurut saya. Buat saya, salah satu
indikator film drama yang menarik adalah ketika saya tidak pernah berniat
mempercepat adegan dan mencari klimaksnya seperti yang saya lakukan kalau
menonton, misalnya, film drama Korea. Durasi episode yang rata-rata lebih
panjang daripada film drama Jepang membuat saya kerap bosan menonton film drama
Korea yang dialognya begitu-begitu saja. jadi pilihannya : percepat atau
berhenti nonton.
Tapi kembali, seni itu kan masalah selera, tak
ada yang mutlak benar dan salah. Tulisan ini murni hanya tentang kesukaan saya
menyelami dunia bernama sekolah lewat beberapa media pengantar cerita. Bagaimanapun
bentuknya, dimanapun letaknya, apapun jenis ilmunya, sekolah akan mengantarkan
murid-muridnya ke “sekolah lanjutan” yang akan selalu menantang kita – manusia –
untuk berjalan ke depan agar bisa melihat lebih banyak hal.
*kuotasi
yang paling saya suka di film Edison No Haha yang disampaikan oleh ibu Kento
ketika Kento mempertanyakan kenapa mereka harus pindah ke Tokyo, kenapa ayahnya
pergi, dan kenapa ibunya harus sibuk bekerja keras – di tengah badai salju.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar