Jumat, 03 April 2015

Sore di Empang


Ada suatu hari dimana aku sedang punya keperluan untuk bertemu dengan salah satu tetangga tapi berakhir di sebuah empang dengan mendengarkan Frendi, Ayu, dan adiknya Ayu bercerita tentang asiknya berburu tude (kerang, dalam bahasa Bugis).

Frendi dan Ayu adalah murid di sekolah dimana aku mengajar sebagai guru kala itu. Kami tinggal di sebuah desa perantauan Jawa dan Bugis bernama Desa Maruat yang dikelilingi oleh pohon kelapa hijau dan berpetak-petak sawah.
Kalau ada yang mencari kelapa sawit, minyak, atau batu bara sebagai komoditi unggulan yang jadi favorit ketika membicarakan tentang daerah yang terletak di Kalimantan Timur ini, sayang sekali di desa kami tidak ada yang demikian. Di desa ini, selain kelapa hijau yang dipanjat untuk diambil niranya dan dibuat menjadi gula kelapa serta hamparan sawah, hanya ada sungai-sungai kecil mengalirkan air (ada yang bening dan ada yang kecoklatan warna airnya) dimana anak-anak suka sekali bermandian di dalamnya kalau sore.

Sama seperti sore itu. Anak-anak dan para orangtua memilih menghabiskan sore di rumah masing-masing atau pergi ke kota kecamatan jika ada yang ingin dibeli sebelum gelap tiba. Aku sendiri, memilih membawa sepedaku dan mengayuhnya dari rumah keluarga angkatku ke arah empang dan mampir di rumah Ayu untuk bercakap sebentar dengan orangtuanya. Percakapan itu mengerucutkan hal yang sedang aku dan ayah Ayu bicarakan, yakni untuk meneruskan perbincangan dengan seorang kawan yang rumahnya berada di empang. Ohya, biar kujelaskan sedikit apa yang disebut empang di sini. Kalau dalam pikiranmu bisa kau bayangkan petak-petak tanah dengan kedalaman 2-3 meter yang tertutup air asin berwarna coklat, maka daya imajinasimu sudah berada sejalur dengan ceritaku. Empang ini dimanfaatkan oleh penduduk yang tinggal di situ (dan yang sekaligus punya hak milik atas empang) untuk mengembangbiakkan udang maupun kepiting. Sering kali juga ada orang yang datang ke empang membawa alat pancing, yang berarti ada ikan juga bisa hidup di situ walau tidak dibiakkan secara sengaja.

Singkat cerita, Ayu dan adiknya pun mengantarkanku ke rumah kawan di empang dan Frendi yang sedang lewat pun tertarik untuk ikut dalam aktivitas pergi-ke-empang tersebut. Sambil berjalan berpayung langit teduh dan matahari yang perlahan turun di arah barat, Frendi, Ayu, dan adiknya mengoceh tentang pengalaman mereka mencari ikan, tude, udang, dan entah apa istilah hewan lainnya yang mereka temukan di tempat itu. Saat itu beberapa petak empang tidak terisi air, jadi dengan enaknya anak-anak  itu berlarian naik turun empang. Hingga ketika kami jalan pulang, Frendi menemukan seekor hewan aneh yang tampak tak bergerak di atas tanah. Begitu diambil, rupa-rupanya kakinya yang tersembunyi di bawah badan bergerak-gerak sedemikian lincah. 

Aku tidak tahu apa nama binatang itu, tapi setelah diamati dengan seksama, binatang yang diambil Frendi tadi jumlahnya sepasang. Mereka sedang saling menempel satu sama lain dan akhirnya kami menyimpulkan secara sederhana bahwa mereka sedang menikmati sore, sama seperti kami, dengan pegangan erat enggan berpisah. Frendi mengatakan akan membawa pulang binatang itu. Aku sendiri tidak bertanya untuk apa, karena menemukan sesuatu yang aneh dan membawanya pulang, itu rasanya bangga. Walau pada akhirnya, aku katakan pada Frendi untuk membiarkannya hidup di empang karena di situ rumahnya, seperti rumah dimana Frendi harus pulang setiap harinya. Berpikir sebentar, lalu dia pun meletakkan binatang itu kembali ke tanah dan kami pulang walau wajah Frendi masih mengukir ekspresi penuh-harap-bisa-bawa-pulang-hewan-itu. Haha.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar