Relatif sama
seperti kota-kota kabupaten di Pulau jawa (terutama bagian tengah dan timur), Bandar
Lampung memiliki komposisi penduduk mayoritas berparas Jawa (baca : berkulit
gelap manis kayak saya). Meski begitu, logatnya sudah bercampur, tidak terlalu
“medhok”. Di daerah perkotaannya, lalu lintas tidak terlalu padat, lahan kosong
yang dipagari lempengan seng tanpa status jelas bertebaran dimana-mana , tidak
ada bangunan tinggi kecuali beberapa hotel yang tingginya hanya bisa diimbangi oleh
1-2 pusat perbelanjaan , dan pasar tradisional cukup mudah dijumpai. Penunjuk
waktu saya sepertinya habis diputar mundur, membawa saya ke 5-7 tahun silam.
Sudah
dua minggu lewat sejak saya pertama kali mendarat di Bandara Raden Intan, dua
malam sebelum awal bulan April datang. Bandaranya kecil saja, dengan 3 konveyor
berjalan di bagian pengambilan bagasi, sebuah pintu keluar yang menyerupai
pintu keluar di Stasiun Jatinegara (karena begitu keluar langsung dihadang para
penjaja jasa antar taksi), dan baliho raksasa bertuliskan nama merk produk
salah satu penghasil gula terkemuka di Indonesia di depan gerbangnya.
Saya
adalah perantau yang cukup beruntung karena memiliki kenalan sebaik Mbak Fara
dan suaminya yang dengan ikhlas “ngrumat” bocah besar ini dari pendaratan
pertama di Lampung sampai dapat kos. Saya hanya pernah berjumpa dengan Mbak
Fara sekali saja di Jogja, itu pun sekitar 12 bulan yang lalu. Sisanya,
sesekali kami hanya bertemu di beberapa grup media sosial yang menjadi benang
merah di antara kami. Saya nggak tahu harus bagaimana menggambarkan tulusnya
bantuan dari Mbak Fara dan Mas Dharma suaminya, tapi yang pasti, di dunia ini
mungkin tidak banyak yang mampu demikian. Kalo kata Mas Dharma sih, “Semakin
sering kita buka pintu rumah kita buat orang lain artinya pintu rejeki juga
makin terbuka, Sin”. Ah, what a life.
Singkat
cerita, 1 April pun terlewati dan saya mulai orientasi dengan pekerjaan baru dan
lingkungan sekitar. Akhir pekan pertama, saya melakukan pawai (baca : jalan
kaki jauh banget) dari kos ke
tempat-tempat ngehits seputar kos, di antaranya ke pusat perbelanjaan modern
terdekat, Central Plaza, lalu tepat di ground-nya
ada pusat gerai hape yang membuat saya terharu bahwa di Jogja masih ada
Jogjatronik, pasar BK (yang belakangan saya tahu BK merupakan kependekan dari
Bambu Kuning), menemukan Gramedia (yang konon kata Rissa, salah satu teman yang
pernah jadi warga Lampung selama setahunan, adalah satu-satunya Gramedia di
seantero Lampung), tempat kakaroke Inul
V*sta (ini lokasi penting!), dan akhirnya menyadari bahwa saya hanya jalan
memutar membentuk persegi sedari tadi berangkat hingga tiba di daerah kosan.
Angkutan
umum di sini tidak banyak, tapi saya rasa lebih banyak daripada di Jogja.
Berbeda dengan angkutan umum di Jawa, orang-orang di sini menghafal rute angkot
berdasarkan warnanya. Misalkan, angkot ungu rute daerah A dan B, angkot kuning
rute daerah C dan D, dan seterusnya sampai saat ini yang saya tahu ada angkot
merah, biru, dan abu-abu. Ngomong-ngomong tentang angkutan umum, saya jadi
ingat bus trans Lampung yang bikin saya ngakak karena 3 hal. Yang pertama
adalah tempat menaik-turunkan penumpang, dimana bus trans Lampung tidak melulu
hanya berhenti di halte, melainkan bisa sesuai keinginan penumpang. Seperti
angkot kecil, bedanya kalau bus lebih nyaman karena ada AC nya. Hihi. Hal yang
ke-2 adalah tentang sistem pembayaran. Kalau di Jakarta sudah berlaku sistem
deposit kartu dan Jogja masih dengan pembelian karcis di loket, di sini ada
asisten supir bus (baca : kernet) yang mengurusi pembayaran penumpang di dalam
bus seperti bus-bus pada umumnya (non-trans).
Lalu
yang ke-3, yang buat saya lebih terheran lagi adalah bahwa sistem tarif yang
dikenakan kepada penumpang tidak flat seperti
bus trans yang saya pernah tahu. Pernah saya naik bus dari Terminal Rajabasa
mau menuju daerah Pengajaran yang mengharuskan saya transit sekali untuk
kemudian pindah bus lain. Si kernet sudah memberi saya karcis saat saya
membayar sambil menyebutkan tujuan akhir saya sembari mengingatkan bahwa nanti
saya akan transit di Ramay*na. Saya pikir karcis itu sebagai penanda yang harus
ditunjukkan ke kernet bus transitan bahwa saya sudah lunas bayar di bus
sebelumnya. Ternyata, hey, hey, saya
masih harus nambah lagi sekian ribu rupiah! Hahaha. Unik, unik.
Selain
orientasi medan, saya sempat diantar salah satu temannya teman untuk mengenali
akses jalan menuju stasiun (yang ternyata dekat dengan kos saya, tinggal naik angkot
sekali), terminal, universitas paling terkenal di Lampung dan
universitas-universitas lain yang cukup dikenal oleh orang Lampung, kompleks gerai
f fast food ranchise dan mal modern bernama Bumi Kedaton (hanya lewat, masuknya
kapan-kapan), dan pantai paling dekat kota, yaitu Pantai Mutun.
Hari
Minggu, saya jalan-jalan dengan keluarga Mbak Fara sambil menghafal jalan dan
tempat-tempat ngehits macam pusat
produksi empek-empek (saya lupa namanya), Pringsewu, Lembah Hijau, Kemiling,
Kedaton, Pahoman, Kangkung, Rajabasa (lewat depan dan belakang), Natar, Branti,
yang mana kalau disuruh mengulangi rutenya secara detail saya juga sudah agak
lupa. Haha.
Ini
dulu perkenalan awal saya dengan provinsi ujung bawah Sumatera. Intinya, akhir pekan
saya di awal bulan ini dipenuhi banyak orang baik. Jadi, nikmat Tuhan mana lagi
yang kamu dustakan? ;p
Tidak ada komentar:
Posting Komentar