Senin, 27 April 2015

Salam Kenal, Lampung!

Relatif sama seperti kota-kota kabupaten di Pulau jawa (terutama bagian tengah dan timur), Bandar Lampung memiliki komposisi penduduk mayoritas berparas Jawa (baca : berkulit gelap manis kayak saya). Meski begitu, logatnya sudah bercampur, tidak terlalu “medhok”. Di daerah perkotaannya, lalu lintas tidak terlalu padat, lahan kosong yang dipagari lempengan seng tanpa status jelas bertebaran dimana-mana , tidak ada bangunan tinggi kecuali beberapa hotel yang tingginya hanya bisa diimbangi oleh 1-2 pusat perbelanjaan , dan pasar tradisional cukup mudah dijumpai. Penunjuk waktu saya sepertinya habis diputar mundur, membawa saya ke 5-7 tahun silam. 

Sudah dua minggu lewat sejak saya pertama kali mendarat di Bandara Raden Intan, dua malam sebelum awal bulan April datang. Bandaranya kecil saja, dengan 3 konveyor berjalan di bagian pengambilan bagasi, sebuah pintu keluar yang menyerupai pintu keluar di Stasiun Jatinegara (karena begitu keluar langsung dihadang para penjaja jasa antar taksi), dan baliho raksasa bertuliskan nama merk produk salah satu penghasil gula terkemuka di Indonesia di depan gerbangnya.  
Saya adalah perantau yang cukup beruntung karena memiliki kenalan sebaik Mbak Fara dan suaminya yang dengan ikhlas “ngrumat” bocah besar ini dari pendaratan pertama di Lampung sampai dapat kos. Saya hanya pernah berjumpa dengan Mbak Fara sekali saja di Jogja, itu pun sekitar 12 bulan yang lalu. Sisanya, sesekali kami hanya bertemu di beberapa grup media sosial yang menjadi benang merah di antara kami. Saya nggak tahu harus bagaimana menggambarkan tulusnya bantuan dari Mbak Fara dan Mas Dharma suaminya, tapi yang pasti, di dunia ini mungkin tidak banyak yang mampu demikian. Kalo kata Mas Dharma sih, “Semakin sering kita buka pintu rumah kita buat orang lain artinya pintu rejeki juga makin terbuka, Sin”. Ah, what a life.
Singkat cerita, 1 April pun terlewati dan saya mulai orientasi dengan pekerjaan baru dan lingkungan sekitar. Akhir pekan pertama, saya melakukan pawai (baca : jalan kaki jauh banget) dari kos ke tempat-tempat ngehits seputar kos, di antaranya ke pusat perbelanjaan modern terdekat, Central Plaza, lalu tepat di ground-nya ada pusat gerai hape yang membuat saya terharu bahwa di Jogja masih ada Jogjatronik, pasar BK (yang belakangan saya tahu BK merupakan kependekan dari Bambu Kuning), menemukan Gramedia (yang konon kata Rissa, salah satu teman yang pernah jadi warga Lampung selama setahunan, adalah satu-satunya Gramedia di seantero Lampung),  tempat kakaroke Inul V*sta (ini lokasi penting!), dan akhirnya menyadari bahwa saya hanya jalan memutar membentuk persegi sedari tadi berangkat hingga tiba di daerah kosan.
Angkutan umum di sini tidak banyak, tapi saya rasa lebih banyak daripada di Jogja. Berbeda dengan angkutan umum di Jawa, orang-orang di sini menghafal rute angkot berdasarkan warnanya. Misalkan, angkot ungu rute daerah A dan B, angkot kuning rute daerah C dan D, dan seterusnya sampai saat ini yang saya tahu ada angkot merah, biru, dan abu-abu. Ngomong-ngomong tentang angkutan umum, saya jadi ingat bus trans Lampung yang bikin saya ngakak karena 3 hal. Yang pertama adalah tempat menaik-turunkan penumpang, dimana bus trans Lampung tidak melulu hanya berhenti di halte, melainkan bisa sesuai keinginan penumpang. Seperti angkot kecil, bedanya kalau bus lebih nyaman karena ada AC nya. Hihi. Hal yang ke-2 adalah tentang sistem pembayaran. Kalau di Jakarta sudah berlaku sistem deposit kartu dan Jogja masih dengan pembelian karcis di loket, di sini ada asisten supir bus (baca : kernet) yang mengurusi pembayaran penumpang di dalam bus seperti bus-bus pada umumnya (non-trans).
Lalu yang ke-3, yang buat saya lebih terheran lagi adalah bahwa sistem tarif yang dikenakan kepada penumpang tidak flat seperti bus trans yang saya pernah tahu. Pernah saya naik bus dari Terminal Rajabasa mau menuju daerah Pengajaran yang mengharuskan saya transit sekali untuk kemudian pindah bus lain. Si kernet sudah memberi saya karcis saat saya membayar sambil menyebutkan tujuan akhir saya sembari mengingatkan bahwa nanti saya akan transit di Ramay*na. Saya pikir karcis itu sebagai penanda yang harus ditunjukkan ke kernet bus transitan bahwa saya sudah lunas bayar di bus sebelumnya. Ternyata, hey, hey, saya masih harus nambah lagi sekian ribu rupiah! Hahaha. Unik, unik.
Selain orientasi medan, saya sempat diantar salah satu temannya teman untuk mengenali akses jalan menuju stasiun (yang ternyata dekat dengan kos saya, tinggal naik angkot sekali), terminal, universitas paling terkenal di Lampung dan universitas-universitas lain yang cukup dikenal oleh orang Lampung, kompleks gerai f fast food ranchise dan mal modern bernama Bumi Kedaton (hanya lewat, masuknya kapan-kapan), dan pantai paling dekat kota, yaitu Pantai Mutun.
Hari Minggu, saya jalan-jalan dengan keluarga Mbak Fara sambil menghafal jalan dan tempat-tempat ngehits macam pusat produksi empek-empek (saya lupa namanya), Pringsewu, Lembah Hijau, Kemiling, Kedaton, Pahoman, Kangkung, Rajabasa (lewat depan dan belakang), Natar, Branti, yang mana kalau disuruh mengulangi rutenya secara detail saya juga sudah agak lupa. Haha.

Ini dulu perkenalan awal saya dengan provinsi ujung bawah Sumatera. Intinya, akhir pekan saya di awal bulan ini dipenuhi banyak orang baik. Jadi, nikmat Tuhan mana lagi yang kamu dustakan? ;p 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar