Minggu, 06 Januari 2013

Empat Januari

Setiap tanggal ini tiba saya selalu diingatkan untuk mengingat-ingat sesuatu. Saya memang tidak pernah berusaha melupakannya karena percuma. Dua hal yang bisa membantu saya lupa adalah hanya kalau saya tiba-tiba amnesia atau terlahir kembali. 

Kala itu waktu SMP kelas satu, kamu ditunjuk menjadi ketua kelas dalam kelasku. Menurutku kamu cengengesan, tapi entah kenapa semuanya teryakinkan bahwa kelas kita akan aman jika ketua kelasnya itu kamu. Aku yang selama di SD langganan jadi ketua kelas sempat kesal juga karena harus kalah penunjukan. Sama kamu, lagi, kalahnya. Haha. Meski begitu, tahukah kamu bahwa semester itu adalah yang terbaik karena kamu ajarkan aku bahwa jadi ketua kelas tidak harus galak?

Kala itu, ulang tahun sekolah kita dan tiap kelas akan melakukan pawai di sore hari. Kita sekelas semua sepakat untuk berpakaian ala gembel dan bernyanyilah kita ramai-ramai dengan lagunya Oppie Andaresta “andai a...a...a...a...aku jadi orang kaya”. Dan tahukah kamu bahwa tidak ada yang lebih mengherankan selain kamu yang tak lepas dari tawa sepanjang jalan?

Kala itu, ketika kita berangkat untuk lomba musik ansambel beramai-ramai. Seragam putih-putih dengan rompi bunga-bunga (eh atau batik ya?) dan dasi kita pakainya. Demam panggung sudah aku saat itu, terlebih karena takut salah not saat menyanyi. Bersamaan dengan itu, saat sedang bengong melihat giliran sekolah lain tampil tiba-tiba kamu datang dan minta tolong padaku untuk merapikan dasimu. Tahukah kamu bahwa setengah mati aku betulkan dasimu dengan tanganku yang tiba-tiba kena tremor?

Kala itu, ketika kita tidak sekelas lagi, aku sudah hampir sukses lupa punya teman kamu. Tapi terkadang aku ingin jajan juga di kantin yang berarti mengharuskanku lewati kelasmu. Tak terpikir olehku apapun hingga aku tahu bahwa seringnya kamu duduk di bangku paling belakang di dekat jendela yang dekat dengan koridor tempat lalu-lalang orang. Dan mulai saat itu, tahukah kamu bahwa aku selalu ingin menyapa kamu setiap lewat situ saat kamu masih ada kelas tapi aku tak pernah berani?

Kala itu, kita sudah kelas tiga SMP. Kamu seringnya duduk di tempat itu, tepat di belakang kursiku. Hingga suatu hari, karena teman-teman mengolok-olok kita, kamu marah dan menghindar selama beberapa hari dengan tidak duduk di kursi itu dan memalingkan wajah jauh-jauh dariku. Tahukah kamu, itu adalah pertama kalinya aku mengerti kalau patah hati itu sakit? Hahaha.

Kala itu, aku tahu pasti tanganmu menunjuk ke atas dengan mantap saat seorang guru bertanya ke seluruh siswa dalam kelas itu mengenai SMA yang ingin dituju setelah lulus : sebuah SMA berpredikat teladan di kota kita. Sedih juga aku melihatnya karena aku tidak pernah berkeinginan untuk masuk sekolah itu. Satu, jauh dari rumahku. Dua, terlalu teladan buatku. Tapi rasanya aman saat itu, karena tahu bahwa aku tidak akan susah-susah kesal menahan diri untuk tidak nangis dan marah kalau kamu sudah mulai menghindari komunikasi denganku. Tapi tahukah kamu betapa kagetnya aku ketika kita bertemu di sebuah SMA yang sama dan kamu juga mendaftar di sana, sekolah yang tidak pernah kamu janjikan dengan acungan jarimu?

Kamu mungkin tidak akan pernah membaca tulisan ini. Ya, karena saya juga terlalu malu untuk katakan sama kamu apa adanya, walau jika kamu ingat saya pernah katakan langsung sama kamu dan langsung menghilang ditelan asap bus kota. But as we grow old, cerita ini rasanya jadi semacam joke saja ya, bukan lagi rentetan curhat masam di atas kertas diary yang wangi. Terima kasih ya, karena kamu sudah menjadi satu-satunya alasan kenapa saya sempat tertarik baca ramalan zodiak di majalah-majalah atau siaran TV remaja.

Selamat ulang tahun.

1 komentar:

  1. Menyentuhhh. Sepertinya semua cewek punya pengalaman jadi 'secret admirer' di masa ingusannya. Hehe...

    BalasHapus