Minggu, 03 Februari 2013

Janji Ibu Guru


Adalah Risma, gadis Bugis chubby yang tinggal di rumah sebelah, yang menanyai saya ketika saya sedang berkunjung melayat neneknya yang baru saja meninggal. “Kapan kita jalan-jalan lagi, Bu?” Lagi, dia maksudkan karena sudah pernah kami jalan-jalan dengan sepeda waktu kapan hari. Tujuan jalan-jalan kami waktu itu adalah empang (semacam petak kolam atau tambak) di dusun saya, Urip. Berawal dari rasa penasaran saya terhadap ujung dusun yang misterius, berakhir dengan tenggelamnya kaki saya hingga selutut ke dalam lumpur empang sisa hujan semalam sebelumnya.
Pertanyaan Risma membuat saya terdiam beberapa detik. Memang sudah agak lama saya tidak jalan dengan anak-anak, dikarenakan ada liburan antar semester dan kejadian ini itu yang mengharuskan saya tak bisa pulang ke desa cukup lama. Dan setelah memastikan bahwa hari Minggu terdekat masih bebas agenda, segera saya buat kesepakatan untuk jalan di hari tersebut. “Jam 8 saja ya, biar ndak terlalu panas, “ ujar saya kala itu.
Hari Minggu yang dimaksud pun tiba. Jam setengah 7 pagi, ketika saya sudah akan bersiap-siap jalan-jalan, Nanda, adik angkat saya mengajak saya untuk cuci baju di sumur bor. Hari itu sudah sekitar 10 hari hujan tak turun sehingga air hujan yang biasanya digunakan sebagai sumber air bersih untuk mandi, cuci baju, hingga masak, ludes. Akibatnya, sumber air untuk mandi dan cuci baju bergeser ke air sumur pada hari ke-7. Air sumur ini adalah air yang disimpan di galian tanah berbentuk persegi panjang menyerupai kolam, asalnya dari tanah. Rasa air sumur yang sedikit asin dan “berlogam” membuat air ini tidak bisa dibuat memasak. Namun lagi-lagi, karena sudah lamanya tak turun hujan, persediaan air di situ pun menipis sehingga sumur bor lah alternatif ke-3 nya.
Sumur bor ini letaknya sekitar 10 menit berjalan kaki dari rumah saya, melewati kebun belakang rumah yang penuh pohon kelapa dengan jalur berupa jalan setapak bernyamuk. Jadilah, setelah menimbang-nimbang dan melirik tumpukan cucian di sudut kamar, saya mengiyakan ajakan Nanda dengan perkiraan jam setengah 9 kelar dan bisa memenuhi janji jalan-jalan. Lekas saya ambil baju-baju kotor dan saya rendam selama 30-45 menit. Kemudian, baju hasil rendaman yang sudah diperas dimasukkan ke dalam kantong besar dan diikat di boncengan sepeda. Jam sudah menunjukkan pukul 8 kurang seperempat ketika saya dan Nanda berangkat.
Ternyata mencuci butuh lebih dari sekedar membilas dan menggosok. Ya mengantri, ya naik turun badan, ya menunggu. Dan karena cucian Nanda sangat banyak, akhirnya kami baru bisa pulang sekitar sejam kemudian. Di tengah jalan pulang, kami disusul oleh dua makhluk kecil berbaju rapi yang mengayuh sepeda. Ternyata mereka sudah menunggu di rumah sejak jam 8, dan karena saya tidak kunjung pulang maka mereka susul saya. Risma dan Doni.
Jalan-jalan yang saya janjikan waktu itu adalah menggunakan sepeda dengan asumsi bahwa Lola sudah diperbaiki. Namun karena si Lola rantainya putus di tengah perjalanan pulang dari mencuci baju di sumur bor tadi, saya pun membatalkan agenda jalan-jalan (ohya, Lola ini adalah nama sepeda saya). Tentu saja usulan ini langsung ditolak mentah-mentah oleh Risma. Segera saja dia menawarkan untuk jalan kaki saja dan mengabarkan bahwa rute jalan yang akan ditempuh tidak terlalu jauh. Doni kecil pun hanya menurut . Saya tersenyum saja dengarnya. Saya tinggalkan mereka untuk menjemur baju, mandi dan sebagainya sampai sejam kemudian baru selesai dengan dugaan mereka akan capek menunggu dan mengurungkan niat jalan-jalan.
Namun apa yang terjadi? Mereka berdua masih nongkrong dengan bahagia di depan TV, menunggu saya selesai mandi dan ganti baju. Akhirnya, atas nama kemanusiaan, saya pun “menjadikan” agenda jalan-jalan hari itu. Walau jam sudah menunjukkan waktu tak layak jalan karena sudah terlampau siang, kami tetap jalan. Sinar matahari terik, ketika dengan lugu Doni berkata sebelum berangkat, “Ibu lama sekali kami tunggu”. Oh God.
Kami memilih untuk jalan ke dusun sebelah lewat jalan tembus hutan. Di tengah jalan, seorang anak ikut bergabung, Mawar namanya. Saya di belakang menyaksikan mereka bercakap banyak sekali. Sesekali mereka tanyai saya, “Ibu suka buah jambu kah? Suka buah belimbing? Suka buah ceri (ceri yang dimaksud ini dikenal luas dengan sebutan kersen atau talok dalam Bahasa Jawa)? Tapi cerinya habis. Ibu suka sirsak? Bu nanti kita beli es ya. Bu istirahat di bawah pohon situ saja naah”, dan seterusnya. Kami berjalan di tengah teriknya matahari yang mulai naik tepat di atas kepala, latihan memotret, beli es, dan melakuan razia ceri di rumah tukang jualan es. Sederhana, tapi saya senang bisa terlaksana. Dalam hati saya berjanji, walau apapun yang terjadi, sebuah janji haram hukumnya untuk diingkari. Menunda janji mungkin bisa saja, tapi tak terpenuhinya janji akan lain lagi persoalannya.
Janji itu seperti matahari ya ternyata. Mengikuti di atas kepala kita dari pagi hingga senja, tak hilang dengan alasan apapun kecuali karena kodratnya berakhir saat waktunya tiba. Kalau janji, berakhir kalau memang kedua pihak (si pemberi janji dan yang diberi janji) lupa.
“Bu, kapan kita ke Muara (desa sebelah yang letaknya sekitar 20 menit naik motor, -Pen)? Katanya kemarin setelah terima rapot, “ celetuk Mawar di tengah jalan pulang.
Saya menatap Mawar sambil tersenyum. “Hmm..iya, terima rapor kenaikan kelas, kan?”


                                                                 Memetik ceri



 Membugkus hasil petikan sendiri


                                                  Tiga tokoh utama

Tidak ada komentar:

Posting Komentar