Kamis, 14 Februari 2013

Untuk Aksay


Jangan menangis, Sayang
Karena pilumu buatku tersentak
Jangan menangis, Sayang
Karena sedih dalam air matamu
Pasti tak mampu kuganti dengan bahagia yang lebih


Satu lagi bocah menangis saat belajar dengan saya. Prestasi gemilang,  karena sepertinya saya hobi sekali buat anak orang menangis. Apa mungkin itu passion saya? Ah pret.

Tidak ada siapapun yang suka diperintah atau diminta melakukan apa yang tidak ingin dilakukan. Otak akan sangat resisten terhadap hal tersebut. Khawatirnya, ketika tiba di puncak resistensi tersebut, maka rasa kesal juga ikut naik yang berakibat pada tangisan. Sedikit demi sedikit, saya coba ubah pola kebiasaan itu dengan cara lain, salah satunya dengan kata“ayo kita coba dulu”. Kata “kita” ternyata punya efek cukup hebat dalam hal ini. Dengan kata ganti tersebut, seolah-olah orang yang didaulat sebagai objek yang diminta tidak akan merasa harus berjalan sendiri, setidaknya untuk beberapa waktu pertama.

Aksay, kelas 3, membuat saya menyadarinya. Ingat saya tentang anak ini adalah ketika guru wali kelasnya mengakatan bahwa Aksay adalah salah satu anak yang dicap “malas berpikir”. Aksay ini tinggal tak jauh dari rumah host saya. Kerap kali saya bertemu orangtuanya, dan dia pun cukup rajin datang untuk main dan belajar di rumah. Dari yang saya perhatikan, anak ini tak terbiasa diberi tantangan lebih. Yang dia suka hanya tiga : berlari, menggambar, dan perkalian satu angka (perkalian dari  angka 1-9). Dan dia hanya melakukan apa yang dia suka, selesai. Sekali saya coba ajari perkalian yang setingkat lebih maju dan memberikan latihan, dia langsung diam dan menangis. Tuhan, apa salah sayaaa?? Barulah saya dekati dia yang mematung sambil menyembunyikan air matanya yang mengalir jatuh sambil berucap :”Tidak apa, Say. Ayo, kita lajar bersama-sama. “

Lama dia tak bergerak. Saya tinggalkan dia untuk beralih mengurusi yang lain. Ketika menoleh lagi beberapa saat kemudian, Aksay masih juga menangis. Saya diamkan. Namun seiring waktu berlalu, dengan sendirinya dia perlahan kembali ke tengah teman-temannya, mengerjakan kembali tugasnya. Saya perhatikan tiap tingkahnya saat mewarnai pekerjaannya. Rasanya seperti tidak pernah terjadi apa-apa sebelumnya, dia melakukan tugasnya dengan baik dan gembira, menanyakan beberapa hal yang perlu dilakukan. Heran saya dalam hati, cepat sekali dia pulih dari tangisnya. What a kid.


Melihatnya bekerja lebih mandiri dengan sesekali melongok ke teman di sampingnya buat saya tertawa-tawa kecil sepanjang sisa sore itu. Mungkin bukan karena Aksay “malas berpikir”, melainkan kebutuhan akan sebuah ruang dan kelegaan untuk “melakukan sesuatu”. Dan tentu saja : pembiasaan tanpa paksaan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar