Jangan menangis,
Sayang
Karena pilumu
buatku tersentak
Jangan menangis,
Sayang
Karena sedih dalam
air matamu
Pasti tak mampu kuganti
dengan bahagia yang lebih
Satu lagi bocah menangis saat belajar dengan saya. Prestasi
gemilang, karena sepertinya saya hobi
sekali buat anak orang menangis. Apa mungkin itu passion saya? Ah pret.
Tidak ada siapapun yang suka diperintah atau diminta
melakukan apa yang tidak ingin dilakukan. Otak akan sangat resisten terhadap
hal tersebut. Khawatirnya, ketika tiba di puncak resistensi tersebut, maka rasa
kesal juga ikut naik yang berakibat pada tangisan. Sedikit demi sedikit, saya
coba ubah pola kebiasaan itu dengan cara lain, salah satunya dengan kata“ayo
kita coba dulu”. Kata “kita” ternyata punya efek cukup hebat dalam hal ini.
Dengan kata ganti tersebut, seolah-olah orang yang didaulat sebagai objek yang
diminta tidak akan merasa harus berjalan sendiri, setidaknya untuk beberapa waktu
pertama.
Aksay, kelas 3, membuat saya menyadarinya. Ingat saya
tentang anak ini adalah ketika guru wali kelasnya mengakatan bahwa Aksay adalah
salah satu anak yang dicap “malas berpikir”. Aksay ini tinggal tak jauh dari
rumah host saya. Kerap kali saya
bertemu orangtuanya, dan dia pun cukup rajin datang untuk main dan belajar di
rumah. Dari yang saya perhatikan, anak ini tak terbiasa diberi tantangan lebih.
Yang dia suka hanya tiga : berlari, menggambar, dan perkalian satu angka
(perkalian dari angka 1-9). Dan dia
hanya melakukan apa yang dia suka, selesai. Sekali saya coba ajari perkalian
yang setingkat lebih maju dan memberikan latihan, dia langsung diam dan
menangis. Tuhan, apa salah sayaaa?? Barulah saya dekati dia yang mematung
sambil menyembunyikan air matanya yang mengalir jatuh sambil berucap :”Tidak
apa, Say. Ayo, kita lajar bersama-sama. “
Lama dia tak bergerak. Saya tinggalkan dia untuk beralih
mengurusi yang lain. Ketika menoleh lagi beberapa saat kemudian, Aksay masih
juga menangis. Saya diamkan. Namun seiring waktu berlalu, dengan sendirinya dia
perlahan kembali ke tengah teman-temannya, mengerjakan kembali tugasnya. Saya
perhatikan tiap tingkahnya saat mewarnai pekerjaannya. Rasanya seperti tidak
pernah terjadi apa-apa sebelumnya, dia melakukan tugasnya dengan baik dan
gembira, menanyakan beberapa hal yang perlu dilakukan. Heran saya dalam hati,
cepat sekali dia pulih dari tangisnya. What
a kid.
Melihatnya bekerja lebih mandiri dengan sesekali melongok ke
teman di sampingnya buat saya tertawa-tawa kecil sepanjang sisa sore itu.
Mungkin bukan karena Aksay “malas berpikir”, melainkan kebutuhan akan sebuah
ruang dan kelegaan untuk “melakukan sesuatu”. Dan tentu saja : pembiasaan tanpa
paksaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar