Selasa, 09 April 2013

Diuji Nasrini


Terakhir kali saya diuji, saya berada di sebuah ruangan kecil dan dihujani pertanyaan serta sanggahan mengenai isi skripsi oleh dosen penguji. Lalu di sini, hampir setiap malam saya “diuji” oleh siswa sendiri. Namanya Nasrini.

Siswi kelas 6 yang kesehariannya lebih akrab dipanggil Neneng ini hampir tak pernah absen berkunjung ke rumah saya. Bicaranya banyak sekali, hingga semua yang saya lakukan dikomentarinya habis tanpa malu-malu.
“Bu, kok kamarnya berantakan sekali?”
Atau, “Ibu jangan pakai baju yang itu. Jelek betul dilihatnya. Ini pakai yang ini saja, lebih cantik pakai baju yang ini. “
Atau, “Bu, kok rambutnya dipotong? Pendek betul. Jelek. “
Atau begini. “Ibu sekarang sudah hitam kulitnya, tinggal di desa, panas-panas, ndak makan enak seperti di kota. Seperti yang di TV itu ya Bu, yang Jika aku Menjadi itu.”
 Kadang buat saya agak risih, tapi akhirnya saya cuma senyum saja sambil menghela nafas dan bersiul-siul sampai akhirnya keluar komentar satu lagi (“Bu jangan bersiul malam-malam begini. Manggil setan itu namanya”). Sebenarnya tidak aneh mendengar celetukan jujur anak-anak seusianya. Tapi yang buat saya janggal adalah karena Neneng ketika di rumah berbeda dengan Neneng di sekolah.
Neneng  duduk di kelas 6 sekarang. Dengan anak-anak kelas 6, interaksi saya terbatas hanya mengajar Bahasa Inggris dan les matematika seminggu sekali. Di sekolah, Neneng bukan tipe anak yang banya bicara dan teman bermainnya pun terbatas. Ketika anak-anak lain bermain dan berteriak-teriak sesuka hati, Neneng cenderung menjadi kikuk dan diam. Hingga pernah suatu hari ketika sedang menunggu les,di kala anak-anak lain asyik main sepeda dan berteriak-teriak di luar, dia mendatangi saya di kantor.
“Lho Neneng nda ikut main sama teman-teman? Masih istirahat kok ini, ” tanya saya.
Neneng menggeleng. “Mau sama Ibu saja, “ jawabnya.
“Hahaha. Kenapa malah main sama Ibu? Kenapa ndak sama teman-teman saja?” tanya saya lagi.
“Saya malas bermain dengan anak-anak itu, habis mereka selalu olok-olok saya. Kalau ibu kan enggak, “ jawabnya.
Lonceng sekolah seperti berbunyi nyaring sekali di kepala saya. Seketika “ujian” mengenal Neneng mendadak dihentikan sejenak.

Mohon sudah semua prasangka kamu buang
Satu kata darimu itu adalah ruang
Dimana kamu bisa makin muram ataupun girang
Tinggal kamu pilih yang mana, Sayang
                Buat apa lelah kau pikirkan
                Ayo jalan dan kita buat ruang nyaman
                Agar aku dan kamu tak lagi segan
                Memugar mimpi, menyusun balok-balok masa depan




Tidak ada komentar:

Posting Komentar