Terakhir kali saya diuji, saya berada di sebuah ruangan kecil dan
dihujani pertanyaan serta sanggahan mengenai isi skripsi oleh dosen penguji.
Lalu di sini, hampir setiap malam saya “diuji” oleh siswa sendiri. Namanya
Nasrini.
Siswi kelas 6 yang
kesehariannya lebih akrab dipanggil Neneng ini hampir tak pernah absen
berkunjung ke rumah saya. Bicaranya banyak sekali, hingga semua yang saya
lakukan dikomentarinya habis tanpa malu-malu.
“Bu, kok kamarnya berantakan
sekali?”
Atau, “Ibu jangan pakai baju
yang itu. Jelek betul dilihatnya. Ini pakai yang ini saja, lebih cantik pakai
baju yang ini. “
Atau, “Bu, kok rambutnya
dipotong? Pendek betul. Jelek. “
Atau begini. “Ibu sekarang
sudah hitam kulitnya, tinggal di desa, panas-panas, ndak makan enak seperti di
kota. Seperti yang di TV itu ya Bu, yang Jika aku Menjadi itu.”
Kadang buat saya agak risih, tapi akhirnya
saya cuma senyum saja sambil menghela nafas dan bersiul-siul sampai akhirnya
keluar komentar satu lagi (“Bu jangan bersiul malam-malam begini. Manggil setan
itu namanya”). Sebenarnya tidak aneh mendengar celetukan jujur anak-anak
seusianya. Tapi yang buat saya janggal adalah karena Neneng ketika di rumah
berbeda dengan Neneng di sekolah.
Neneng duduk di kelas 6 sekarang. Dengan anak-anak kelas
6, interaksi saya terbatas hanya mengajar Bahasa Inggris dan les matematika
seminggu sekali. Di sekolah, Neneng bukan tipe anak yang banya bicara dan teman
bermainnya pun terbatas. Ketika anak-anak lain bermain dan berteriak-teriak sesuka
hati, Neneng cenderung menjadi kikuk dan diam. Hingga pernah suatu hari ketika
sedang menunggu les,di kala anak-anak lain asyik main sepeda dan
berteriak-teriak di luar, dia mendatangi saya di kantor.
“Lho Neneng nda ikut main sama
teman-teman? Masih istirahat kok ini, ” tanya saya.
Neneng menggeleng. “Mau sama
Ibu saja, “ jawabnya.
“Hahaha. Kenapa malah main
sama Ibu? Kenapa ndak sama teman-teman saja?” tanya saya lagi.
“Saya malas bermain dengan
anak-anak itu, habis mereka selalu olok-olok saya. Kalau ibu kan enggak, “
jawabnya.
Lonceng sekolah seperti berbunyi
nyaring sekali di kepala saya. Seketika “ujian” mengenal Neneng mendadak
dihentikan sejenak.
Mohon sudah semua prasangka kamu buang
Satu kata darimu itu adalah ruang
Dimana kamu bisa makin muram ataupun girang
Tinggal kamu pilih yang mana, Sayang
Buat apa lelah kau
pikirkan
Ayo jalan dan kita
buat ruang nyaman
Agar aku dan kamu
tak lagi segan
Memugar mimpi, menyusun
balok-balok masa depan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar