Selasa, 09 April 2013

Mengukur Perjalanan


Nilai itu bukan dari angka-angka di atas kertas. Nilai itu asalnya dari hati.
Sebuah kuotasi milik Bapak Kepala Sekolah SD Muhammadiyah Gantong di dalam film Laskar Pelangi itu menghentak saya. Tengah asyik menelusuri penggalan-penggalan dialog film yang sempat saya simpan di salah satu folder komputer jinjing saya, di kalimat itu mata saya terhenti. Lama.
Saya rasanya harus menginjak pedal rem dalam-dalam sekaligus menarik rem tangan untuk segera berhenti saat itu juga. Sebelum berlalu terlalu jauh dan sebelum terlalu asyik merencanakan ini-itu, kembali saya diingatkan untuk melakukan hal satu ini : refleksi. Setelah cukup lama berjalan, agaknya sudah waktunya untuk beristirahat sambil berkompromi dengan diri sendiri. Tidak, tidak sedalam filsuf saya bisa berpikir mendalam. Cukup berpikir ringan, tapi membuka semua celah utnuk dimasuki dan dikoreksi.
Setiap habis ulangan atau tugas, sebuah nilai akan terpampang rapi di bawah jawaban terakhir sebagai cerminan dari pekerjaan murid saya pada kala itu. Biasanya, saya memberikan pengurangan poin 2,5 per kesalahan untuk nilai maksimum 100. Kemudian di samping nilai akan ada gambar orang mungil dengan ekspresi muka berbeda-beda tergantung berapa nilainya, berikut balon kata-kata dengan kata penyemangat. Kemudian anak-anak itu akan mengambil bukunya masing-masing dan membandingkan dengan teman-temannya. Sudahkah tugas belajar itu selesai di situ dan diukur ketika ulangan?
Nilai nyatanya memang menjadi salah satu data terukur untuk mempertanggungjawabkan kinerja mengajar guru di kelas. Tapi saya masih mencari tahu apakah nilai-nilai “yang lain” juga sudah tertanam pada mereka, dan kalau sudah bisa diukur dengan cara apa. Saya masih sibuk mencari-cari cara yang ternyata dengan berhenti sejenak di tengah perjalanan panjang ini, saya disadarkan bahwa nilai “yang itu” tidak dicari tapi dimunculkan. Jelas, karena asalnya dari hati, maka sepanjang saya sedang tidak memberikan nilai angka di atas kertas, maka selama itulah nilai-nilai yang berasal dari hati mencetak rapornya.
Dan sudah sampai sejauh mana hatimu bekerja, Sin?

Perlahan saya angkat pedal rem dan melepas rem tangan untuk memulai melaju lagi. Saya belum tahu akan harus berhenti dimana lagi, tapi saya pasti akan lebih sering berhenti untuk melihat apa saja yang sudah terlalui. Tidak apa-apa agak lebih lama sampai tujuan, tapi saya yakin bahwa setiap pondasi jalan yang saya lalui aman sehingga suatu hari anak-anak saya bisa melewatinya dengan lancar, bahkan mengembangkannya menjadi lebih baik lagi. Karena sekali lagi, pondasi itu hendaknya dibangun dari hati, bukan melulu dari tambah-kurang-bagi-kali.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar