Nilai itu bukan dari angka-angka di atas kertas. Nilai itu asalnya dari
hati.
Sebuah kuotasi
milik Bapak Kepala Sekolah SD Muhammadiyah Gantong di dalam film Laskar Pelangi
itu menghentak saya. Tengah asyik menelusuri penggalan-penggalan dialog film
yang sempat saya simpan di salah satu folder komputer jinjing saya, di kalimat
itu mata saya terhenti. Lama.
Saya
rasanya harus menginjak pedal rem dalam-dalam sekaligus menarik rem tangan
untuk segera berhenti saat itu juga. Sebelum berlalu terlalu jauh dan sebelum
terlalu asyik merencanakan ini-itu, kembali saya diingatkan untuk melakukan hal
satu ini : refleksi. Setelah cukup lama berjalan, agaknya sudah waktunya untuk
beristirahat sambil berkompromi dengan diri sendiri. Tidak, tidak sedalam
filsuf saya bisa berpikir mendalam. Cukup berpikir ringan, tapi membuka semua
celah utnuk dimasuki dan dikoreksi.
Setiap
habis ulangan atau tugas, sebuah nilai akan terpampang rapi di bawah jawaban
terakhir sebagai cerminan dari pekerjaan murid saya pada kala itu. Biasanya,
saya memberikan pengurangan poin 2,5 per kesalahan untuk nilai maksimum 100. Kemudian
di samping nilai akan ada gambar orang mungil dengan ekspresi muka berbeda-beda
tergantung berapa nilainya, berikut balon kata-kata dengan kata penyemangat.
Kemudian anak-anak itu akan mengambil bukunya masing-masing dan membandingkan
dengan teman-temannya. Sudahkah tugas belajar itu selesai di situ dan diukur
ketika ulangan?
Nilai nyatanya
memang menjadi salah satu data terukur untuk mempertanggungjawabkan kinerja
mengajar guru di kelas. Tapi saya masih mencari tahu apakah nilai-nilai “yang
lain” juga sudah tertanam pada mereka, dan kalau sudah bisa diukur dengan cara
apa. Saya masih sibuk mencari-cari cara yang ternyata dengan berhenti sejenak
di tengah perjalanan panjang ini, saya disadarkan bahwa nilai “yang itu” tidak
dicari tapi dimunculkan. Jelas, karena asalnya dari hati, maka sepanjang saya sedang
tidak memberikan nilai angka di atas kertas, maka selama itulah nilai-nilai
yang berasal dari hati mencetak rapornya.
Dan sudah
sampai sejauh mana hatimu bekerja, Sin?
Perlahan
saya angkat pedal rem dan melepas rem tangan untuk memulai melaju lagi. Saya
belum tahu akan harus berhenti dimana lagi, tapi saya pasti akan lebih sering
berhenti untuk melihat apa saja yang sudah terlalui. Tidak apa-apa agak lebih
lama sampai tujuan, tapi saya yakin bahwa setiap pondasi jalan yang saya lalui
aman sehingga suatu hari anak-anak saya bisa melewatinya dengan lancar, bahkan
mengembangkannya menjadi lebih baik lagi. Karena sekali lagi, pondasi itu
hendaknya dibangun dari hati, bukan melulu dari tambah-kurang-bagi-kali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar