Pada suatu
sore di Stasiun Bogor yang ruwet, becek, dan bising, saya turun dari sebuah
angkot bersama seorang laki-laki. Walaupun tadinya di dalam angkot saya pesan
untuk diturunkan di stasiun ke supir angkot, malah laki-laki ini yang akhirnya
memberitahu saya untuk turun dari angkot karena sudah sampai di depan stasiun.
Laki-laki ini berbadan tegap dengan garis-garis wajah yang tegas dan kulit
terbakar sinar matahari, agak sangar kalau buat saya.
Meski begitu, melihat pembawaannya yang melangkah tanpa ragu menuju ke stasiun, saya pun mengikuti laki-laki ini tepat 10 meter di belakangnya ke gerbang stasiun yang tidak bisa saya temukan dengan mudah dalam kesemrawutan lokasi singgah kereta itu. Penasaran, saya perhatikan laki-laki tegap ini dari belakang hingga pandangan saya terhenti pada bordiran tas punggungnya yang berwarna hitam bertuliskan “TNI-AD”.
Meski begitu, melihat pembawaannya yang melangkah tanpa ragu menuju ke stasiun, saya pun mengikuti laki-laki ini tepat 10 meter di belakangnya ke gerbang stasiun yang tidak bisa saya temukan dengan mudah dalam kesemrawutan lokasi singgah kereta itu. Penasaran, saya perhatikan laki-laki tegap ini dari belakang hingga pandangan saya terhenti pada bordiran tas punggungnya yang berwarna hitam bertuliskan “TNI-AD”.
Oh, ternyata
orang ini tentara, batin saya langsung menyimpulkan.
Lalu dalam
waktu sekian detik, ketika melewati satu bagian jalan sempit dengan kanan-kiri
pedagang asongan, tukang becak, ojek, dsb, laki-laki ini merogoh selembar uang
lima ribuan (saya agak lupa nominalnya, tapi kalau tidak salah segitu) dan
dengan ceat menyelipkannya di sela-sela kaki seorang tukang becak yang sedang
tertidur di becaknya. Tukang becak itu bahkan tidak terbangun sama sekali –
sangar juga, dalam situasi seruwet ini bisa sepulas itu! – dan saya pun hanya
melewatinya sambil agak syok.
Sampai hari
ini, momen sore menjelang buka puasa itu selalu teringat di kepala saya. Dari
laki-laki asing – yang akhirnya saya kehilangan jejaknya karena saya
harus berhenti beli minuman untuk bekal berbuka di dalam kereta – itu saya
diingatkan kembali bahwa berbuat baik sering kali tidak perlu alasan panjang.
Semakin panjang alasan, semakin tidak jadi niat baik itu terlaksana. Ini
refleksi awal tahun saya, bahwa ada banyak hal – yang saya pikir itu baik untuk
dilakukan – di kepala saya yang ingin saya lakukan, belum dilakukan. Alasannya?
….
Sudah ah.
Selamat tahun baru 2015. Semoga tahun ini banyak kejutan menyenangkan. J
Tidak ada komentar:
Posting Komentar