Entah
harus tertawa gembira atau tersenyum kalem dengan bertambahnya simbol satuan di
belakang angka 2. Tapi tentu saja saya sungguh bersyukur, sebab 4 tahun
terakhir pasca kelar kuliah, saya bisa merasakan momen pertambahan usia di 4
tempat yang berbeda : Jakarta-Kalimantan Timur-Jogja-Lampung. Yey!
Saya
tidak pernah melakukan selebrasi yang meriah di hari ulang tahun. Alasannya
macam-macam, mulai dari alasan kurang populer sampai kurang dana. Tahun lalu
saya melakukan survey kecil ke beberapa teman dengan menanyakan apa arti umur
25 buat mereka sebagai bentuk selebrasi sederhana di momen pertambahan angka itu.
Tahun ini, saya hanya ingin membuat daftar singkat 5 hal terbaik yang memaknai
transisi dari 25 ke 25+1.
1. Bertemu
Rangers
Setelah
22 jam diam membisu tanpa kata di salah satu grup media sosial dan malah
membicarakan hal-hal yang "mencurigakan", akhirnya conference call dalam rangka memberikan ucapan-selamat-ulang-tahun-buat-Sinta
pun terjadi diawali dengan suara cetar Halida. Seperti biasa panggilan “Miss
Ginger” favoritnya menjadi yang pertama mengalir, diikuti dengan
cekakak-cekikik peserta conference call
lain dan ucapan-ucapan penuh doa yang baik-baik. Terima kasih, Rangers, you made my day! Terima kasih Umur dan
Halida yang sudah nyumbang pulsa untuk conference
call, Ajeng yang baru masuk kamar kos dan langsung dipaksa untuk telponan,
Ilham behel di tengah kesibukannya mengatur gaji karyawan, Eko yang lagi pusing-pusing-galau
di kos VVIP-nya, Khai yang lagi melancong ke timur, dan Rara yang lagi super duper
sibuk wira-wiri bawa Go! Archipelago-nya ke penjuru nusantara!! Bertemu kalian
sejak 33 bulan silam dan intens bertengkar-tertawa-bertengkar lagi-ketawa lagi
14 bulan di antaranya adalah salah satu selebrasi terbaik yang diberikan Tuhan
buat saya. Kapan kita pesta semalam suntuk di kawinan Eko? :p
2. Kembali
ke nol
Saya
pernah bekerja mulai dari jadi tukang jualan susu, guru SD, guru mahasiswa,
hingga bisa kembali lagi ke makanan. Perjalanan agak panjang yang tidak
selempeng rekan-rekan yang saat ini sudah settled
dengan posisi pekerjaannya, karir akademisnya, jabatan PNS-nya, atau dengan
usaha barunya yang berkembang pesat membuat
saya agak keder juga ketika memasuki hitungan seperempat abad lebih. Di kala
yang lain sudah berkompetisi di nominal gaji, saya masih dengan lugunya mencari
apa yang sesuai hati. Keinginan saya sih sederhana, yaitu bekerja di tempat dimana
saya bisa terus berkembang, terus membawa manfaat, dan bisa hidup layak dan
bahagia. Tapi kemudian di balik segala macam keinginan yang idealis, ternyata
hidup pada akhirnya hanya harus dijalani, dan saya malah dipertemukan dengan
limpahan biji-biji kakao. Yassalaaamm… Syukron, syukron.
3. Akhirnya
ke Bandung juga
Saya
sendiri agak tak percaya selama hampir setahun pernah bekerja di Jakarta, tak
sekalipun pernah mampir ke Bandung. Terakhir kali saya ke kota ini adalah waktu
SMP, waktu nginthil Bapak saya yang
sedang menyelesaikan sekolah lanjutnya kala liburan sekolah. Tak cukup banyak
memori yang saya ingat kala itu selain kontrakan mungil Bapak, jalanan tikus
yang seperti labirin dari kontrakan ke jalan besar, angkot hijau berstiker
Dago-St.Hall, dan warung sate di salah satu perempatan jalan yang membuat mata
saya serasa bergaris-garis sekaligus pedih kena asap akibat memandangi
banyaknya deretan tusuk sate yang berjejer di atas bakaran.
Terima
kasih Shinta Maharani sudah ikhlas memfasilitasi kehadiran saya yang agak impulsif
dan merealisasikan rencana perjalanan saya yang acak. Maaf harus membuatmu merasakan
“cabe-cabean”, menempuh angkot dari terminal ke terminal, berjalan kaki
berkilo-kilo meter demi menemukan tempat-tempat yang ajaib, sampai mengunjungi calon
manten yang tak pernah kamu kenal sebelumnya sekaligus jadi penasihat kado
untuk seorang teman yang terlalu banyak menimbang saat mau membeli barang ini.
Jangan lupa, mari kita doakan semoga mamang ojek yang pernah jauh-jauh belajar perkusi
di Jogja bisa jadi pemain perkusi handal di kota kelahirannya, Bandung. Sampai
bertemu lagi di warung burjo yang gorengan dan rengginangnya (dan burjonya)
enak banget itu!
4. Dikelilingi
kerumunan positif
Katanya,
orang di sekitar kita adalah yang paling mempengaruhi sikap dan perilaku kita,
di samping keluarga. Betul juga rasa-rasanya. Terutama kerumunan dimana kita
bisa dengan santai dan terbuka menyampaikan isi pikiran kita, yang kalau
salah-salah kata sedikit bisa saling mengoreksi tanpa maksud menggurui, atau
yang kalau berbagi informasi tanpa ada tendensi “aku yang paling tahu”
melainkan memang benar-benar ingin berbagi. Dan satu lagi, adalah kerumunan yang
dimana ketika pertanyaan “kapan nikah?” mulai membuat keringat dingin
berjatuhan, bisa menyelamatkan kegalauan sembari mengingatkan bahwa di balik
terjangan badai pertanyaan “kapan nikah?” selalu ada rasa kepo doa dan
kepedulian. Yak. Stay positive.Lalalala.
5. Pesan
terbaik
Munculnya
dari seorang kawan lama yang mengirim pesan ucapan selamat ulang tahun dan
menyambung obrolan singkat dengan mengirimi saya sebuah poster kegiatan
berkarya untuk Jogja.
Kata
dia, “Nek kangen Jogja dan punya ide, iso
melu iki Sin”.
Kataku,
“Tapi aku ra jago nulis e”.
Lalu
dia tulis, “Nulis ki ora mesti jago, sek
penting jujur dan pengen nulis ya nulis wae”.
Ah,
orang ini memang tidak pernah berubah kecuali naluri berkarya-nya yang semakin
hebat, tetap sesederhana dia saat bertemu 7 tahun yang lalu. Terima kasih ya
Bang sudah mengingatkan.
ACIKIKIW
BalasHapusKomentar ini telah dihapus oleh administrator blog.
HapusAhahaha nekeeewwwww
Hapus