Minggu, 21 Juni 2015

Training "Jadi Wanita"

Sudah jalan 3 malam sejak penghuni di kos saya, termasuk keluarga Bapak-Ibu Kos juga, sahurnya sama-sama. Berawal dari celetukan Ari (salah satu teman di kos) di warung soto untuk sahur bersama, berlanjut membawa isu tersebut ke Ibu Kos hingga obrolan penentuan udunan (istilah di Bahasa Sunda yang artinya urunan atau patungan kalo di Bahasa Jawa) di teras yang berjalan cukup alot, akhirnya terjadilah rutinitas makan bareng itu setiap jam 4 pagi. Bah, saya nggak pernah menyangka hidup bisa selucu ini di tempat perantauan.

Walaupun lulus dari prodi Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian yang ada kata “pangan”-nya, saya bukan seseorang yang jago masak maupun ahli kuliner. Ohya, sekedar informasi, teknologi pangan dan teknik boga itu beda ya. Contoh sederhananya sih, kalau keduanya sama-sama mengenal bawang merah, di teknologi pangan belajarnya tentang mengekstraksi bawang merah atau menggunakannya sebagai bahan percobaan anti mikrobia sementara di jasa boga Anda akan belajar cara yang tepat mengolah bawang untuk tumis, goreng, atau bumbu uleg. Dua-duanya sama-sama berguna untuk kehidupan sehari-hari, bedanya kalau yang satu menghasilkan output yang tidak bisa secara langsung masuk perut, yang satunya bisa.

Ah, ini bukan tulisan untuk membedakan kedua prodi dan prospek masa depannya kok ya. Bukan juga rentetan pembelaan yang saya ajukan untuk mencari pemakluman atas ketidakbisaan memasak. Huft. Baiklah, mari luruskan niat. Ini sejatinya adalah tentang cerita sederhana si anak rantau yang mencecap sebulan Ramadhan jauh dari keluarganya, namun didekatkan dengan keluarga orang lain *loh. Yang namanya jauh dari keluarga, pastilah iri dengan mereka yang bisa buka puasa dan sahur bersama keluarga. Sungguh, saya iri. Tapi lagi-lagi Tuhan saya yang satu itu tidak pernah lupa untuk membagi saya dengan kebahagiaan-kebahagiaan kecil di tempat paling terdesak sekalipun. Saya dipertemukan dengan teman-teman kos yang super selo, keluarga kecil empunya kos yang juga tidak kalah selo, dan kerja di pusat kota yang kalau butuh apa-apa (walaupun tidak lengkap dan harganya selangittttt) tinggal ngglinding, nebeng, nitip, atau cegat angkutan umum.

Dan begitulah. Berhubung saya satu-satunya pengusul kegiatan sahur bersama yang berwujud wanita, saya pun harus mengemban tanggung jawab untuk repot bersama Ibu Kos. Mungkin mulanya warga kos mengira saya pandai masak (karena saya perempuan) tapi pastilah mereka kaget begitu tahu bahwa kemampuan masak saya cuma level anak kemarin sore. Haha

Dalam prakteknya, barulah ketahuan ternyata Bapak Kos saya punya ilmu masak yang cukup mumpuni. Jadilah saya hanya sekedar kameo, atau kalau di film-film Jepang/korea yang berkisah tentang makanan, saya ini asisten dapur alias yang menyiapkan bahan-bahan untuk masak mulai dari kupas bawang sampai merajang sayur. Pelajaran 3 hari pertama adalah tentang membuat sambal, tumis, dan berbelanja di pasar ala Lampung. Berikut akan saya bahas singkat ya. Kalau cocok sila dijadikan masukan, kalau engga ya lewati sajalah. Untuk sementara fotonya masih minim, karena kalau saya foto-foto makanan di kala sahur pasti nanti dikatain alay sama anak-anak kos yang lain. -_\

1.  Sambal matang
Sambal dalam bayangan saya : cabe, tomat, bawang putih, bawang merah, sedikit garam, dan terasi (optional) yang digoreng dulu utuh-utuh dengan sedikit minyak, angkat dari minyak lalu digerus dengan ulekan. Kadang tomat berlaku optional sih.
Sambal di sini : irisan tipis bawang putih dan bawang merah, tomat diiris tipis mengarah ke hancur, cabe rawit seabrek dan cabe hijau (optional) lalu digoreng dengan banyak minyak sampai matang, ditaburi garam secukupnya.
Catatan : mungkin saya harus menyarankan agar minyaknya dikurangi ya. Enak rasanya, tapi kalau melihat lautan minyaknya itu lho. Kyaaaa!

2.  Tumis
Ini masakan paling dasar dan kurang lebih bumbunya ya gitu-gitu aja. Tiga hari ini tumis terus, jadi mabok tumis euy. Sepertinya harus ubah menu. Ternyata masak tiap hari itu cukup menguras daya kreasi otak kanan juga. Salut buat semua ibu di dunia yang istiqomah masak sendiri terus di rumah sepanjang tahun!

3. Berbelanja di pasar
Bukan pertama kalinya saya belanja bahan dan sayur di pasar. Tapi setiap pasar punya karakter sendiri-sendiri *ceileh* mulai dari jenis barang, semerbak aroma, penjual, hingga harganya.
Fakta 1 : pasar yang terletak di dekat kompleks perumahan, harga bahan-bahan yang dijual minimal terpaut Rp 1.000 dari harga jual normal dan BARU BUKA PENUH JAM 8 pagi. Pernah suatu kali saya mampir pasar jam 6.30 dan kiosnya masih 50% kosong. Walahhh..

Fakta 2 : pasar di pusat kota, namanya pasar Gintung. Buka dari jam 5 pagi sampai menjelang magrib. Harga pagi, siang, dan sore tidak pernah sama dan semakin sore akan semakin mahal padahal tingkat kesegarannya semakin menurun. Tapi bagi mereka yang kepepet, ya apa boleh buat daripada harus beli tempe di supermarket kan agak repot juga.

Fakta 3 : di beberapa kios, ketika saya bertanya, “Ini berapa?” maka penjualnya akan menjawab, “Mau beli berapa?” terlebih dahulu. Beberapa barang bisa ditawar, bahkan tempe pun harus menawar. Percaya atau tidak, dengan ukuran tempe yang sama, saya ditawari harga Rp 3.500, saya tawar jadi Rp 2.500 kalau beli 4, dan jadi Rp 4.000 di sore hari menjelang buka. What the…….*ngelus dada*


Fakta 4 : kebanyakan tanya di pasar bisa memancing emosi penjualnya. Hahaha. Santai Bu! Akibat pengalaman beli tempe tadi, saya menjadi lebih hati-hati membeli beberapa bahan di sana yang harganya agak kurang wajar. Sebenarnya tidak semua pedagang nembak harga tinggi, tapi mungkin karena wajah saya tampak seperti wajah jarang pergi ke pasar, jadilah semacam target “rapopolah dilarangke sithik”. -_\ 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar