Sudah jalan 3 malam sejak
penghuni di kos saya, termasuk keluarga Bapak-Ibu Kos juga, sahurnya sama-sama.
Berawal dari celetukan Ari (salah satu teman di kos) di warung soto untuk sahur
bersama, berlanjut membawa isu tersebut ke Ibu Kos hingga obrolan penentuan
udunan (istilah di Bahasa Sunda yang artinya urunan atau patungan kalo di
Bahasa Jawa) di teras yang berjalan cukup alot, akhirnya terjadilah rutinitas
makan bareng itu setiap jam 4 pagi. Bah, saya nggak pernah menyangka hidup bisa
selucu ini di tempat perantauan.
Walaupun
lulus dari prodi Teknologi Pangan dan Hasil Pertanian yang ada kata
“pangan”-nya, saya bukan seseorang yang jago masak maupun ahli kuliner. Ohya,
sekedar informasi, teknologi pangan dan teknik boga itu beda ya. Contoh
sederhananya sih, kalau keduanya sama-sama mengenal bawang merah, di teknologi
pangan belajarnya tentang mengekstraksi bawang merah atau menggunakannya
sebagai bahan percobaan anti mikrobia sementara di jasa boga Anda akan belajar
cara yang tepat mengolah bawang untuk tumis, goreng, atau bumbu uleg.
Dua-duanya sama-sama berguna untuk kehidupan sehari-hari, bedanya kalau yang
satu menghasilkan output yang tidak bisa secara langsung masuk perut, yang satunya bisa.
Ah,
ini bukan tulisan untuk membedakan kedua prodi dan prospek masa depannya kok
ya. Bukan juga rentetan pembelaan yang saya ajukan untuk mencari pemakluman
atas ketidakbisaan memasak. Huft. Baiklah, mari luruskan niat. Ini sejatinya adalah
tentang cerita sederhana si anak rantau yang mencecap sebulan Ramadhan jauh
dari keluarganya, namun didekatkan dengan keluarga orang lain *loh. Yang
namanya jauh dari keluarga, pastilah iri dengan mereka yang bisa buka puasa dan
sahur bersama keluarga. Sungguh, saya iri. Tapi lagi-lagi Tuhan saya yang satu
itu tidak pernah lupa untuk membagi saya dengan kebahagiaan-kebahagiaan kecil
di tempat paling terdesak sekalipun. Saya dipertemukan dengan teman-teman kos
yang super selo, keluarga kecil empunya kos yang juga tidak kalah selo, dan
kerja di pusat kota yang kalau butuh apa-apa (walaupun tidak lengkap dan
harganya selangittttt) tinggal ngglinding, nebeng, nitip, atau cegat angkutan
umum.
Dan begitulah. Berhubung saya satu-satunya pengusul kegiatan sahur bersama yang berwujud wanita, saya pun harus mengemban tanggung jawab untuk repot bersama Ibu Kos. Mungkin mulanya warga kos mengira saya pandai masak (karena saya perempuan) tapi pastilah mereka kaget begitu tahu bahwa kemampuan masak saya cuma level anak kemarin sore. Haha
Dalam
prakteknya, barulah ketahuan ternyata Bapak Kos saya punya ilmu masak yang
cukup mumpuni. Jadilah saya hanya sekedar kameo, atau kalau di film-film
Jepang/korea yang berkisah tentang makanan, saya ini asisten dapur alias yang
menyiapkan bahan-bahan untuk masak mulai dari kupas bawang sampai merajang
sayur. Pelajaran 3 hari pertama adalah tentang membuat sambal, tumis, dan
berbelanja di pasar ala Lampung. Berikut akan saya bahas singkat ya. Kalau
cocok sila dijadikan masukan, kalau engga ya lewati sajalah. Untuk sementara
fotonya masih minim, karena kalau saya foto-foto makanan di kala sahur pasti
nanti dikatain alay sama anak-anak kos yang lain. -_\
1. Sambal
matang
Sambal
dalam bayangan saya : cabe, tomat, bawang putih, bawang merah, sedikit garam,
dan terasi (optional) yang digoreng dulu utuh-utuh dengan sedikit minyak,
angkat dari minyak lalu digerus dengan ulekan. Kadang tomat berlaku optional
sih.
Sambal
di sini : irisan tipis bawang putih dan bawang merah, tomat diiris tipis
mengarah ke hancur, cabe rawit seabrek dan cabe hijau (optional) lalu digoreng
dengan banyak minyak sampai matang, ditaburi garam secukupnya.
Catatan
: mungkin saya harus menyarankan agar minyaknya dikurangi ya. Enak rasanya,
tapi kalau melihat lautan minyaknya itu lho. Kyaaaa!
2. Tumis
Ini
masakan paling dasar dan kurang lebih bumbunya ya gitu-gitu aja. Tiga hari ini tumis terus, jadi mabok tumis euy.
Sepertinya harus ubah menu. Ternyata masak tiap hari itu cukup menguras daya
kreasi otak kanan juga. Salut buat semua ibu di dunia yang istiqomah masak
sendiri terus di rumah sepanjang tahun!
3. Berbelanja
di pasar
Bukan
pertama kalinya saya belanja bahan dan sayur di pasar. Tapi setiap pasar punya
karakter sendiri-sendiri *ceileh* mulai dari jenis barang, semerbak aroma,
penjual, hingga harganya.
Fakta 1
: pasar yang terletak di dekat kompleks perumahan, harga bahan-bahan yang
dijual minimal terpaut Rp 1.000 dari harga jual normal dan BARU BUKA PENUH JAM
8 pagi. Pernah suatu kali saya mampir pasar jam 6.30 dan kiosnya masih 50%
kosong. Walahhh..
Fakta 2 : pasar di pusat kota, namanya
pasar Gintung. Buka dari jam 5 pagi sampai menjelang magrib. Harga pagi, siang,
dan sore tidak pernah sama dan semakin sore akan semakin mahal padahal tingkat
kesegarannya semakin menurun. Tapi bagi mereka yang kepepet, ya apa boleh buat
daripada harus beli tempe di supermarket kan agak repot juga.
Fakta 3
: di beberapa kios, ketika saya bertanya, “Ini berapa?” maka penjualnya akan
menjawab, “Mau beli berapa?” terlebih dahulu. Beberapa barang bisa ditawar,
bahkan tempe pun harus menawar. Percaya atau tidak, dengan ukuran tempe yang
sama, saya ditawari harga Rp 3.500, saya tawar jadi Rp 2.500 kalau beli 4, dan
jadi Rp 4.000 di sore hari menjelang buka. What the…….*ngelus dada*
Fakta 4 : kebanyakan tanya di
pasar bisa memancing emosi penjualnya. Hahaha. Santai Bu! Akibat pengalaman
beli tempe tadi, saya menjadi lebih hati-hati membeli beberapa bahan di sana
yang harganya agak kurang wajar. Sebenarnya tidak semua pedagang nembak harga
tinggi, tapi mungkin karena wajah saya tampak seperti wajah jarang pergi ke
pasar, jadilah semacam target “rapopolah
dilarangke sithik”. -_\
Tidak ada komentar:
Posting Komentar