“Emang sebenernya apa sih
yang lu cari?”
Pertanyaan pendek itu
terlontar tepat beberapa detik setelah giliran saya bercerita selesai dengan
penutup, “ Jadi gitu, Vi. Random idup gue mah.” Obrolan kami sebenarnya hanya berawal
dari seputar hal remeh temeh tentang musik kesukaan. Bukan, jelas bukan obrolan
serius tentang perkembangan musik dunia ala pengamat musik, melainkan lagu-lagu
yang sering lewat saja di telinga kami. Dari
kamarnya, saya sering mendengar ada suara petikan gitar mengalunkan nada-nada
lawas yang lebih familiar di telinga saya dibandingkan lagu-lagu kekinian. Sebulan
berjalan, saya baru tahu bahwa orang inilah yang sering mengalunkan nada-nada
petik itu dari kamar sebelah. Namanya Revi.
Waktu
ke Bandung sekitar sebulan lalu, saya pernah menggunakan jasa ojek dan secara
kebetulan bertemu dengan tukang ojek yang pernah sekolah musik di Yogyakarta.
Kata Si Mamang Ojek, dia pegang alat perkusi waktu itu. Iseng saya bilang,
“Wuah keren. Tapi kok jauh banget sampai ke Jogja segala?” Jawab si Mamang, “Ya pingin aja. Seneng aja gitu main musik.
Tapi sekarang udah nggak pernah lagi.”
Motor
masih berjalan, memberi saya satu lagi kesempatan untuk bertanya, “Kenapa gitu?”
Lalu sambil tertawa Si Mamang bilang, “Biasalah, Mba,” seakan-akan saya tahu
apa arti “biasa” yang dikatakannya. Saya pun hanya terdiam dan memilih untuk
menutup topik tersebut dan beralih ke topik lain, seperti membicarakan jalanan
sempit yang ramai pedagang keliling dan dimana rumah Si Mamang (ya walaupun saya juga nggak tahu letak
daerah yang disebutkan Si Mamang juga sih, tapi asal manggut sajalah. Hahahaha).
Apa
yang saya lakukan di Lampung dan apa yang Si Mamang lakukan di Jogja sebenarnya
sama saja, sama-sama mencari. Lalu, apa yang dicari? Bicara tentang ini, Desi Anwar dalam bukunya A Simple Life menulis begini :
“So
we become old, physically and mentally. Even our expressions become set in
certain way, leaving traces of anxiety and worry lines that emerge as wrinkles
and crow’s feet. But we don’t need to become like that. We may not be able to
reverse the time or the clock from moving forward, but we can actually choose
how we grow old.”
Memilih
dan menjalani pencarian adalah jelas sebuah kemewahan. Dan saat ini
beruntungnya saya adalah bisa mendapatkan kemewahan tersebut dengan kegiatan memilih-dan-menjalani
itu tadi. Si Mamang Ojek, sama juga dengan mencari ilmu hingga ke ladang tetangga,
namun dalam kelanjutannya, ia memilih untuk menjalani pilihan yang lain. Saya
tidak bilang si Mamang adalah salah satu yang tidak beruntung, justru
sebaliknya, mungkin justru dia beruntung dari sudut pandang yang tidak terlihat
oleh saya.
Bahagia
itu, tidak sederhana, karena alat ukurnya adalah hati manusia dimana tiap-tiap
individu parameternya beda-beda. Bohong kalau saya melewati tahun-tahun
terakhir ini tanpa harapan ingin mencapai kemapanan hidup seperti mencapai
kebebasan finansial, hidup menetap di tempat yang nyaman dan bahagia bersama
keluarga, jadi juragan batu akik bungur Tanjung Bintang, dll). Jelas dong
saya masih mencari itu semua. Haha.
Tapi
agak dalam dari situ, ada yang lain juga saya cari dalam setiap pilihan kepindahan
yang saya jalani. Mungkin klise kalau saya bilang saya cari apapun
yang buat saya terus belajar dan menikmati menjalaninya, tapi nyatanya ya cuma
itu jawabannya.
Jadi, Vi, itu jawaban gue.
Cukup menjawab nggak? :p
Amasa...
BalasHapusMasya Allah Ned...:p
Hapus