Di
depan loket Stasiun Kiara Condong, Bandung, sekitar 15 tahun yang lalu.
“Sinta
bisa sendiri kan? Nanti langsung cari kursi. Sampai Jogja nanti dijemput sama
Ibu,” kata Bapak.
Ya,
waktu berangkat dari Jogja ke Bandung, Sinta sudah dipesan sama Ibu kalau Sinta
harus pulang sendiri ke Jogja setelah masa liburan di Bandung habis (cie
liburan) karena Bapak capek kalau bolak-balik Jogja dan sudah harus masuk
perkuliahan.
“Iya,
iya bisa kok,” jawab gadis yang berdiri di depannya. Tegar.
“Bajunya
sudah dibawa semua kan? Nanti Bapak antar sampai dalam,” kata Bapak lagi.
Si
Gadis mengangguk. “Udah, Pak”, sambil mimbik-mimbik
(ekspresi semacam mau nangis tapi ditegar-tegar-in sambil senyum. Bayangin
sendirilah)
Lalu
Bapak mengantri beli tiket.
Saat
itu, pengantar masih bebas masuk-keluar peron tanpa pemeriksaan. Tempat duduk
pun belum ada nomornya, bahan kursinya masih terbuat dari plastik keras, bau
besi menyengat di mana-mana, serta kaca jendela pun masih lebih banyak yang
berstatus pecah daripada utuh. Bapak tengah mengantar anak bungsunya pasca
kegiatan menghabiskan liburan sekolah di Bandung. Itu adalah kali pertama Si
Bungsu bepergian jauh dengan tentengan pribadi, jika sebelum-sebelumnya selalu
campur dengan bawaan ibunya. Kala itu, Ibu tidak ikut ke Bandung karena kedua
kakak Si Bungsu tidak ikut liburan ke Bandung sehingga harus jaga rumah.
Peron
semarak dengan kumpulan pedagang koran dan surat kabar bekas yang menjajakan
dagangannya, tak lain untuk keperluan basa-basi-baca yang berakhir jadi alas
tidur para penumpang di dalam kereta. Kereta ekonomi berwarna oranye itu sudah siap, Bapak dan Si Bungsu masuk dan
langsung cari kursi kosong. Beres mendudukkan Si Bungsu di dalam kereta, Bapak
pun ikut duduk di samping Si Bungsu.
“Loh,
Bapak kok nggak turun?” tanya Si Bungsu.
“Kan
mau ke Jogja”, jawab Bapak.
“Loh
emang ada tiketnya?” tanya si Bungsu lagi.
Si
Bungsu mungkin masih terlalu kecil untuk menyadari bahwa kebanyakan Ayah tipe
ini seringnya sulit mengungkapkan secara jujur kekhawatiran yang dirasakannya.
Alih-alih mengungkapkan rencana, mereka akan merasa lebih nyaman berbuat tanpa
butuh persetujuan.
***
Bapak
tidak pernah terlalu banyak berkata-kata. Kalaupun harus berkata-kata, maka
pilihan kata-katanya selalu santun dan tidak membakar emosi. Entah karena
bidang Bahasa Indonesia yang ditekuninya atau memang hidupnya yang cukup keras
yang membentuk karakternya yang demikian. Kemarin, 21 Agustus, Bapak berulang
tahun. Bapak tidak pernah terlalu peduli dengan hal-hal semacam ulang tahun,
kue tart, kejutan, dan hal-hal manis sejenisnya. Memilih kado untuk Bapak
adalah sebuah PR maha berat yang jarang sukses Sinta lakukan.
Fix,
gen romantis memang tidak mengalir dalam darah Sinta karena bibitnya tidak pernah
ada. -__-
Pak,
Sinta suka sekali dengan sebuah lagu berjudul Di Beranda. Penyanyinya menyebut
dirinya Banda Neira, duet 2 orang bernama Ananda Badudu dan Rara Sekar. Tentu
Bapak tidak asing dengan nama “Badudu” di belakang nama Ananda, mengingat 5
tahun perjuangan Bapak di Bandung akhirnya selesai dengan dibubuhkannya tanda
tangan Jusuf Syarif (JS)Badudu di atas lembar pengesahan disertasi Bapak.
Ternyata bakat berbahasa JS Badudu ini turun kepada cucunya, Ananda, yang
kemudian jadi salah satu lagu yang paling sering Sinta putar kalau sedang
kangen rumah.
Kata
dia dalam lagunya :
Dan jika
suatu saat buah hatiku buah hatimu untuk sementara waktu pergi
Usahlah
engkau pertanyakan ke mana kakinya kan melangkah
Kita berdua
tahu dia pasti pulang ke rumah
Selamat
ulang tahun, Pak. You’re the best father
ever. May you stay healthy, healthier, healthier again, again, again, til we
meet again, and always be blessed. Terima kasih untuk segala perhatian tak
terlihat, keleluasaan untuk bertanggungjawab dalam setiap pilihan yang Sinta
ambil, perjalanan-perjalanan-tanpa-GPS yang tak pernah takut nyasar,
bantahan-bantahan halus untuk menyadarkan Sinta untuk tak pernah lupa
“menginjak bumi”, segalanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar