Sabtu, 22 Agustus 2015

Ultah Bapak yang Ke-Sekian

Di depan loket Stasiun Kiara Condong, Bandung, sekitar 15 tahun yang lalu.

“Sinta bisa sendiri kan? Nanti langsung cari kursi. Sampai Jogja nanti dijemput sama Ibu,” kata Bapak.

Ya, waktu berangkat dari Jogja ke Bandung, Sinta sudah dipesan sama Ibu kalau Sinta harus pulang sendiri ke Jogja setelah masa liburan di Bandung habis (cie liburan) karena Bapak capek kalau bolak-balik Jogja dan sudah harus masuk perkuliahan.


“Iya, iya bisa kok,” jawab gadis yang berdiri di depannya. Tegar.
“Bajunya sudah dibawa semua kan? Nanti Bapak antar sampai dalam,” kata Bapak lagi.
Si Gadis mengangguk. “Udah, Pak”, sambil mimbik-mimbik (ekspresi semacam mau nangis tapi ditegar-tegar-in sambil senyum. Bayangin sendirilah)
Lalu Bapak mengantri beli tiket.

Saat itu, pengantar masih bebas masuk-keluar peron tanpa pemeriksaan. Tempat duduk pun belum ada nomornya, bahan kursinya masih terbuat dari plastik keras, bau besi menyengat di mana-mana, serta kaca jendela pun masih lebih banyak yang berstatus pecah daripada utuh. Bapak tengah mengantar anak bungsunya pasca kegiatan menghabiskan liburan sekolah di Bandung. Itu adalah kali pertama Si Bungsu bepergian jauh dengan tentengan pribadi, jika sebelum-sebelumnya selalu campur dengan bawaan ibunya. Kala itu, Ibu tidak ikut ke Bandung karena kedua kakak Si Bungsu tidak ikut liburan ke Bandung sehingga harus jaga rumah.

Peron semarak dengan kumpulan pedagang koran dan surat kabar bekas yang menjajakan dagangannya, tak lain untuk keperluan basa-basi-baca yang berakhir jadi alas tidur para penumpang di dalam kereta. Kereta ekonomi berwarna oranye itu  sudah siap, Bapak dan Si Bungsu masuk dan langsung cari kursi kosong. Beres mendudukkan Si Bungsu di dalam kereta, Bapak pun ikut duduk di samping Si Bungsu.
“Loh, Bapak kok nggak turun?” tanya Si Bungsu.
“Kan mau ke Jogja”, jawab Bapak.
“Loh emang ada tiketnya?” tanya si Bungsu lagi.
Si Bungsu mungkin masih terlalu kecil untuk menyadari bahwa kebanyakan Ayah tipe ini seringnya sulit mengungkapkan secara jujur kekhawatiran yang dirasakannya. Alih-alih mengungkapkan rencana, mereka akan merasa lebih nyaman berbuat tanpa butuh persetujuan.

***

Bapak tidak pernah terlalu banyak berkata-kata. Kalaupun harus berkata-kata, maka pilihan kata-katanya selalu santun dan tidak membakar emosi. Entah karena bidang Bahasa Indonesia yang ditekuninya atau memang hidupnya yang cukup keras yang membentuk karakternya yang demikian. Kemarin, 21 Agustus, Bapak berulang tahun. Bapak tidak pernah terlalu peduli dengan hal-hal semacam ulang tahun, kue tart, kejutan, dan hal-hal manis sejenisnya. Memilih kado untuk Bapak adalah sebuah PR maha berat yang jarang sukses Sinta lakukan.
Fix, gen romantis memang tidak mengalir dalam darah Sinta karena bibitnya tidak pernah ada. -__-

Pak, Sinta suka sekali dengan sebuah lagu berjudul Di Beranda. Penyanyinya menyebut dirinya Banda Neira, duet 2 orang bernama Ananda Badudu dan Rara Sekar. Tentu Bapak tidak asing dengan nama “Badudu” di belakang nama Ananda, mengingat 5 tahun perjuangan Bapak di Bandung akhirnya selesai dengan dibubuhkannya tanda tangan Jusuf Syarif (JS)Badudu di atas lembar pengesahan disertasi Bapak. Ternyata bakat berbahasa JS Badudu ini turun kepada cucunya, Ananda, yang kemudian jadi salah satu lagu yang paling sering Sinta putar kalau sedang kangen rumah.

Kata dia dalam lagunya :
Dan jika suatu saat buah hatiku buah hatimu untuk sementara waktu pergi
Usahlah engkau pertanyakan ke mana kakinya kan melangkah
Kita berdua tahu dia pasti pulang ke rumah


Selamat ulang tahun, Pak. You’re the best father ever. May you stay healthy, healthier, healthier again, again, again, til we meet again, and always be blessed. Terima kasih untuk segala perhatian tak terlihat, keleluasaan untuk bertanggungjawab dalam setiap pilihan yang Sinta ambil, perjalanan-perjalanan-tanpa-GPS yang tak pernah takut nyasar, bantahan-bantahan halus untuk menyadarkan Sinta untuk tak pernah lupa “menginjak bumi”, segalanya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar