Sabtu, 12 September 2015

Oleh-Oleh dari Pahawang

Suatu malam di Pahawang. Photo by @priyankawibisono

Sejujurnya, saya agak ragu jalan-jalan alam macam ke laut ini karena kulit saya yang gampang gosong dan sulit kembali seperti semula (yang sebenarnya sudah masuk kategori “gelap” juga) membuat saya nggak terlalu percaya diri setiap kali habis pulang jalan-jalan. Tapi lalu saya terpacu oleh kuot Rinso “nggak ada noda ya nggak belajar”, yang memantapkan tekad saya untuk pergi #halah.
Akses ke Pahawang sangat mudah. Trip terbuka (atau lazimnya disebut “open trip”) dan agen travel bertebaran dimana-mana. Selama Anda nggak ribet dan rajin cek Google atau bergaul dengan teman-teman yang suka jalan-jalan, percayalah persiapan trip ini sama seperti ketika Anda memutuskan untuk pergi ke kebun binatang atau Candi Borobudur. Singkatnya, dari manapun Anda berada, carilah akses menuju Bandar Lampung, bisa lewat bandara, jalan darat, ataupun laut melalui Pelabuhan Bakauheni kemudian tinggal melakukan perjalanan darat selama kurang lebih 3 jam ke Dermaga Ketapang. Dari Dermaga Ketapang, tujuan bisa berbeda-beda pulau nantinya tergantung keputusan si pembuat trip. Secara umum, agenda wisata Pahawang meliputi singgah ke pulau-pulau seperti Tanjung Putus, Balak, Kelagian Besar dan Kecil, Pahawang, dan Sarang Nemo. Sisanya, masih ada beberapa spot snorkeling dan pulau singgah yang lain yang hukumnya “sunah”. 
Perjalanan juga bagian dari belajar. Selain (tentunya) menikmati karunia alam dan melepas pikiran tentang pekerjaan, perjalanan kali ini punya cerita unik juga buat saya.

1.                   Para penge-trip
Laut surut di pagi hari (dok.pribadi)
Ada 3 macam manusia dalam trip semacam ini. Pertama adalah mereka yang sudah kenal cukup lama dan jokes-nya sudah nyambung karena sudah banyak perjalanan yang dilalui bersama, berikut dengan pertemuan pasca perjalanan. Ke-2, adalah mereka yang baru 1-2 kali ikut tapi ber-rombongan sehingga lebih nyaman untuk bertukar jokes bersama rombongan sambil sesekali menyapa orang baru di sekitar. Ke-3, adalah mereka yang ikut perjalanan sendirian, newbie dalam perihal perjalanan singkat 2 hari, dan sering terlihat plonga-plongo (karena sedang berusaha menyambungkan lemparan-lemparan jokes  di sekitar sambil membaca karakter orang-orang sekitar) serta suka menclok sana-sini di tempat yang menguntungkan alias oportunis. Yang ke-3 ini, agaknya sudah jelas siapa. :p


2.                   Free diver
Saya tidak pernah bisa bersahabat dengan air. Lepas pelampung sebentar, tamat riwayat.  Iri sekali kalau melihat teman-teman seperjalanan yang sudah jago menyelam bebas itu cemplang-cemplung ke air, sedangkan saya masih snorkelingan cemen pakai pelampung. Haha. Kebanyakan dari mereka sudah berinvestasi di peralatan menyelam mulai dari baju, goggle, fin, piranti pembersih alat, dry bag hingga go pro. Saya? Sudahlah, sukur-sukur masih sempat beli sunblock SPF 30.
photo by kakak hilda

3.                   Bertemu orang lokal
Photo by : Machfud Al Anshari
Makan siang kami mengambil tempat di Pulau Balak. Di pulau ini hanya ada sebuah rumah yang belakangan baru diketahui sebagai satu-satunya sisa kehidupan yang masih betah di pulau itu. Tanpa air bersih, tanpa listrik, tanpa tanah yang bisa ditanami sayur-buah. Saya dan beberapa teman menyempatkan diri melakukan salat di satu-satunya rumah di situ yang ditinggali sepasang nenek-kakek dan cucunya yang berumur 5 tahun. Salah seorang teman menyeletuk, “Kasihan ya mereka” dengan tulus. Saya tahu bahwa tak sedetik pun dalam bayangannya, ada orang yang bisa hidup di tempat serba terbatas macam di pulau ini.
Dulu, saya juga berpikir sama dengan teman saya itu : menempatkan standar bahagia adalah memiliki segala kebutuhan dan akses terhadap modernitas serta teknologi. Lalu kemudian, saya secara ajaib diberi kesempatan untuk bertemu dengan mereka yang hidup jauh lebih terisolasi dari Pulau Balak dan tidak mengeluh. Yah, saya tau pasti keluhan itu ada, tapi sama seperti si nenek – yang saya agak lupa namanya, entah Mutmaedah atau Maemunah (maafkeun pengidap short-time memory akut ini Ya Allah) – terlihat bahagia. Jadi, apakah standar bahagia itu benar-benar ada? Saya rasa sih tidak. :D

4.                   Go Pro
Ketika barang mewah tidak lagi terlihat terlalu mewah, maka salah satunya adalah Go Pro yang bergeletakan. Alat ini semacam menjadi wajib bagi para pecinta dunia bawah air untuk merekam memori di alam ikan-ikan. Kira-kira sama ketika Anda berkunjung ke sebuah acara publik, DSLR mulai dari lensa standar sampai tele yang beratnya ampun-ampunan bisa unjuk gigi semua dalam waktu bersamaan, mulai atas nama profesionalisme, hobi, sampai sekedar buat keren-kerenan. Niat hati biarlah si empunya alat yang tahu, sementara kaum yang masih dalam taraf menabung harap bersabar sambil mengasup pengetahuan tentang cara menggunakan alat sejenis secara optimal.
photo by Agus #Traveladdict
Begitulah.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar