Suatu malam di Pahawang. Photo by @priyankawibisono |
Sejujurnya, saya agak ragu jalan-jalan alam macam ke laut ini karena kulit saya yang gampang gosong dan sulit kembali seperti semula (yang sebenarnya sudah masuk kategori “gelap” juga) membuat saya nggak terlalu percaya diri setiap kali habis pulang jalan-jalan. Tapi lalu saya terpacu oleh kuot Rinso “nggak ada noda ya nggak belajar”, yang memantapkan tekad saya untuk pergi #halah.
Akses
ke Pahawang sangat mudah. Trip terbuka (atau lazimnya disebut “open trip”) dan
agen travel bertebaran dimana-mana. Selama Anda nggak ribet dan rajin cek Google
atau bergaul dengan teman-teman yang suka jalan-jalan, percayalah persiapan trip
ini sama seperti ketika Anda memutuskan untuk pergi ke kebun binatang atau
Candi Borobudur. Singkatnya, dari manapun Anda berada, carilah akses menuju
Bandar Lampung, bisa lewat bandara, jalan darat, ataupun laut melalui Pelabuhan
Bakauheni kemudian tinggal melakukan perjalanan darat selama kurang lebih 3 jam
ke Dermaga Ketapang. Dari Dermaga Ketapang, tujuan bisa berbeda-beda pulau nantinya
tergantung keputusan si pembuat trip. Secara umum, agenda wisata Pahawang
meliputi singgah ke pulau-pulau seperti Tanjung Putus, Balak, Kelagian Besar dan
Kecil, Pahawang, dan Sarang Nemo. Sisanya, masih ada beberapa spot snorkeling
dan pulau singgah yang lain yang hukumnya “sunah”.
Perjalanan
juga bagian dari belajar. Selain (tentunya) menikmati karunia alam dan melepas
pikiran tentang pekerjaan, perjalanan kali ini punya cerita unik juga buat saya.
1.
Para penge-trip
Laut surut di pagi hari (dok.pribadi) |
Ada 3 macam manusia dalam trip semacam ini.
Pertama adalah mereka yang sudah kenal cukup lama dan jokes-nya sudah nyambung karena sudah banyak perjalanan yang
dilalui bersama, berikut dengan pertemuan pasca perjalanan. Ke-2,
adalah mereka yang baru 1-2 kali ikut tapi ber-rombongan sehingga lebih nyaman
untuk bertukar jokes bersama
rombongan sambil sesekali menyapa orang baru di sekitar. Ke-3, adalah mereka
yang ikut perjalanan sendirian, newbie
dalam perihal perjalanan singkat 2 hari, dan sering terlihat plonga-plongo (karena sedang berusaha menyambungkan
lemparan-lemparan jokes di sekitar sambil membaca karakter orang-orang
sekitar) serta suka menclok sana-sini di tempat yang menguntungkan alias
oportunis. Yang ke-3 ini, agaknya sudah jelas siapa. :p
2.
Free diver
Saya tidak pernah bisa
bersahabat dengan air. Lepas pelampung sebentar, tamat riwayat. Iri sekali kalau melihat teman-teman
seperjalanan yang sudah jago menyelam bebas itu cemplang-cemplung ke air, sedangkan saya masih snorkelingan cemen
pakai pelampung. Haha. Kebanyakan dari mereka sudah berinvestasi di peralatan
menyelam mulai dari baju, goggle, fin, piranti pembersih alat, dry bag hingga go
pro. Saya? Sudahlah, sukur-sukur masih sempat beli sunblock SPF 30.
photo by kakak hilda |
3.
Bertemu
orang lokal
Photo by : Machfud Al Anshari |
Makan siang kami mengambil
tempat di Pulau Balak. Di pulau ini hanya ada sebuah rumah yang belakangan baru
diketahui sebagai satu-satunya sisa kehidupan yang masih betah di pulau itu.
Tanpa air bersih, tanpa listrik, tanpa tanah yang bisa ditanami sayur-buah. Saya
dan beberapa teman menyempatkan diri melakukan salat di satu-satunya rumah di
situ yang ditinggali sepasang nenek-kakek dan cucunya yang berumur 5 tahun. Salah
seorang teman menyeletuk, “Kasihan ya mereka” dengan tulus. Saya tahu bahwa tak
sedetik pun dalam bayangannya, ada orang yang bisa hidup di tempat serba
terbatas macam di pulau ini.
Dulu, saya juga berpikir
sama dengan teman saya itu : menempatkan standar bahagia adalah memiliki segala
kebutuhan dan akses terhadap modernitas serta teknologi. Lalu kemudian, saya secara
ajaib diberi kesempatan untuk bertemu dengan mereka yang hidup jauh lebih
terisolasi dari Pulau Balak dan tidak mengeluh. Yah, saya tau pasti keluhan itu
ada, tapi sama seperti si nenek – yang saya agak lupa namanya, entah Mutmaedah
atau Maemunah (maafkeun pengidap short-time
memory akut ini Ya Allah) – terlihat bahagia. Jadi, apakah standar bahagia
itu benar-benar ada? Saya rasa sih tidak. :D
4.
Go
Pro
Ketika barang mewah tidak
lagi terlihat terlalu mewah, maka salah satunya adalah Go Pro yang bergeletakan.
Alat ini semacam menjadi wajib bagi para pecinta dunia bawah air untuk merekam
memori di alam ikan-ikan. Kira-kira sama ketika Anda berkunjung ke sebuah
acara publik, DSLR mulai dari lensa standar sampai tele yang beratnya
ampun-ampunan bisa unjuk gigi semua dalam waktu bersamaan, mulai atas nama
profesionalisme, hobi, sampai sekedar buat keren-kerenan. Niat hati
biarlah si empunya alat yang tahu, sementara kaum yang masih dalam taraf
menabung harap bersabar sambil mengasup pengetahuan tentang cara menggunakan alat
sejenis secara optimal.
photo by Agus #Traveladdict |
Begitulah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar