Senin, 08 Februari 2016

Cerita Ibu PKK - Pencicip Kopi Keliling (1)


Huft.
Rasanya Januari terlalu banyak perjalanan dadakan yang menguras energi. Oleh karena itu, di bulan Februari saya memilih untuk lebih banyak berdiam diri. Lalu atas nama kesenggangan waktu yang demikian banyak di akhir pekan panjang yang tanpa piknik ini, saya buka tulisan Februari dengan bercerita tentang ketidaksengajaan saya bertemu kumpulan orang hobi minum kopi di Lampung.

Menyesal sekali karena selama setahun kemarin di Jogja, kiblat tempat ngopi saya ternyata sedikit, itu pun diawali hanya dari rasa penasaran tentang sebuah tempat minum bernama Klinik Kopi. Tempat ini membuat saya tertarik karena di kedatangan pertama saya, si pembuat kopinya (yang belakangan saya ketahui namanya Mas Pepeng) sangat bersahabat walau saya datang ke situ seperti orang linglung dan kuper. Setengah jam berikutnya, saya berpindah dari meja kerja Mas Pepeng (tentu setelah menyeruput kopi dan mendengarkan sedikit dongeng dari doski) ke lingkaran orang-orang asing. Dengan modal perkenalan diri singkat, orang-orang asing ini (dan saya) pun mengobrol seperti sudah saling mengenal lama (padahal baru ketemu. Gyahaha).

Konsep unik ini yang buat saya memutuskan untuk kembali minum kopi, lagi dan lagi, hingga akhirnya sekarang Klinik Kopi pun semakin berinovasi di karakter kopi yang dijualnya. Belum sempat berkenalan lebih jauh dengan kopi atau mingle dari kedai satu ke yang lain, saya harus migrasi ke Bandar Lampung. Hingga akhirnya, menyadari betapa tempat ini sangat selo dan saya tidak punya banyak kawan, saya pun mulai mencari-cari tempat dan manusia-manusia yang kurang lebih memiliki spirit yang sama seperti di Jogja. Apalagi yang dibutuhkan seorang ekstrovert untuk lebih bersemangat kecuali bertemu orang-orang yang menyenangkan dan menyerap energi positif dari mereka?

Keiko Bahabia
Kenapa “Bahabia”? Katanya sih itu sekedar plesetan saja dari kata “bahagia” supaya lebih catchy dan bikin penasaran. Hmm..ya sih, saya saja sampe penasaran juga. Selamat ya, mas-mas, kalian sukses memilih nama dan filosofinya. Hahaha.

Tahun 2011, tempat ini mulai dirintis berdiri di kala belum ada kedai kopi “beneran” yang menampakkan diri. Saya tidak tahu persis kondisi Lampung saat itu, namun melihat Lampung di tahun 2015 lalu hingga hari ini, saya jadi urung membayangkan. Hahah. Mulai dari berdiri dengan pengetahuan, alat, dan modal seadanya hingga saat ini sudah buka cabang ke-2, kedai ini cukup idealis. Ya, saya katakan idealis karena jarang (jarang lho ya, bukan tidak ada) ada orang idealis di Lampung, yang berani gebrak bikin sesuatu yang “aneh” dan anti mainstream. Kota ini sepertinya berjalan dengan prinsip aliran air yang bergejolak di permukaan tapi tenang di dalam, alias keras tapi sunyi. Pergerakan slengekan mungkin hanya menjadi riak kecil tak kasat mata, yang dalam perkembangannya saat ini, mulai terasa gelombangnya, meski masih meraba-raba juga ke mana arah gelombangnya akan bergulung dan mendebur di saat yang tepat. Keiko mungkin salah satu riak tersebut.

Lima tahun berjalan, sudah banyak liputan. Temui beberapa tulisan asik mereka di keikobahabia.wordpress.com, akun-akun sosial media bernama Keiko Bahabia, dan cek di mbah Google tentang beberapa publikasi online mereka. Ini bukan tulisan berbayar, hanya bentuk syukur saya menemukan tempat asik dengan orang-orang .... emm..baiklah, asik juga *salim sama trio asik Bang Adi, Wisnu, dan Alim*

Coffee Paste
Letaknya di daerah Kemiling, daerah pemukiman yang cukup padat di Bandar Lampung dan menanjak kalau dari pusat kota. Kalau tidak salah tangkap, kedai ini awal mulanya digawangi hanya oleh 2 orang nekat yang “gatel” pingin bikin usaha. Jadilah sambil berenang minum air, sambil jalan usaha sambil cari-cari ilmu yang mumpuni agar jalannya usaha juga makin berkembang.

Saya pertama kali datang ke sini karena ajakan 2 orang teman, Hasti dan Ami. Hasti ini adalah calon roaster (cieh), seorang wanita tangguh asal Tanjung Bintang (saya pernah sekali ke daerah Tanjung Bintang ini, dan sebagian jalanannya luar biasa nekuk dengan pinggiran jurang langsung, dimana tiap kali ada belokan dan papasan dengan kendaraan besar lain, saya sebagai penumpang di samping supir cuma mampu tutup mata) yang sekarang menekuni bisnis kopi dari hulu sampai hilir PLUS bikin coffee-trip. Menarik banget, kan? Di lembar lain nanti akan saya ceritakan tentang Hasti J. Lalu Ami, sama kayak saya yang suka minum kopi tapi dia tingkatannya lebih tinggi karena lebih intens dan istiqomah dibandingkan saya yang minum kopi kalau sempat (dan disempatkan). Halah.

Jadilah kami bertiga malam-malam hujan-hujan ke kedai kopi milik Ferdy ini dan saya belajar cup test! Yeayyyy! Baru tau saya kalau untuk menguji sensorisnya, ada tahap bernama cup test yang menggunakan basis kopi tubruk untuk membuat sampel ujinya. Standarnya, 8-10 gram bubuk kopi ditubruk dengan 150 gram air di suhu 93-96C, didiamkan selama 1-2 menit, dibuang ampasnya, lalu dilakukan uji (rasa-rasanya harus cek lagi di kitab standarnya, karena informasi ini hanya saya dapatkan dari hasil mendengarkan orang). Teknik menyeruputnya pun khusus, kalau belum ahli bisa tersedak karena ada sebagian yang dilewatkan saluran tenggorokan. Beruntungnya saya bisa icip-icip 3 jenis arabika yaitu Java Mocha, Ijen Raung, dan Mandheling. Uwuwuwuwu. Saya sukaaa banget arabika karena wangi dan flavornya yang lucu nggak seperti kopi instan yang selalu diminum sama bapak saya dulu. Haha biarin udik, penting senengg. :p.

Java Mocha, kenapa diberi nama demikian, adalah karena dikatakan ada flavor coklat yang dibawanya. Si petani sekaligus roaster pemilik biji jenis ini mengaku memiliki 60-an jenis metode pasca panen untuk membentuk Java Mocha ini. Masya Allah. Entahlah, sebagai penikmat cerita, saya baru hanya menyerap saja, belum paham betul kebenaran atau ketertelusuran ke-60an metode tadi.

Ijen Raung, saya hanya bisa tangkap body-nya yang tebal, asamnya tipis.
Mandheling, saya suka karena asamnya medium.
Yah, emang dasar saraf sensorinya kurang peka sih ya. Haha. Saya masih harus terus belajar, betul. Kata mas Pepeng waktu itu, kalo mau membiasakan sensori ya harus konsisten minum kopinya minimal ya 3 kali seminggu lah kalo belum mau tiap hari. Ya betul juga sih, dimana-mana memang bisa itu karena terbiasa, kan?
Makasih, Ferdy buat nge-treat cuptest nya dan Mba Hasti buat traktiran bijinya. Ohya, tentang kedai, kedai ini konsepnya juga masih manual brew seperti Keiko dan Klinik Kopi. Sebagian besar pelanggannya mahasiswa. Tempatnya mungil, tapi hangat. Seriusan lho ini. Terutama kalau dateng ke sana hujan-hujan dan pesan secangkir kopi dan terlibat pembicaraan seru nan hangat. Asek.

Nb : Jangan lupa setelah minum kopi, bantu ginjalmu bekerja dengan meminum air mineral 3-4 gelas, kata Hasti. Baiklaaahh!



Tidak ada komentar:

Posting Komentar