Mbak, memangnya saya harus
bisa Bahasa Inggris ya?
Seringnya,
kekhawatiran selalu muncul di barisan paling depan. Jelas, karena yang muncul
belakangan hanya penyesalan atau rasa jumawa berlebihan :p. Seperti sore itu,
seorang teman kerja saya yang saat ini tengah giat belajar Bahasa Inggris,
melontarkan pertanyaan di atas pada saya.
Bos saya menyuruhnya untuk les percakapan Bahasa Inggris demi kelancaran komunikasi. Bukannya tidak menjunjung tinggi bahasa persatuan loh ya, tapi persentase pemakaian bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia yang berbanding 70-30 membuat komunikasi dengan si Bos lebih “mendingan” kalau dilakukan dalam Bahasa Inggris.
Bos saya menyuruhnya untuk les percakapan Bahasa Inggris demi kelancaran komunikasi. Bukannya tidak menjunjung tinggi bahasa persatuan loh ya, tapi persentase pemakaian bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia yang berbanding 70-30 membuat komunikasi dengan si Bos lebih “mendingan” kalau dilakukan dalam Bahasa Inggris.
Baru
masuk minggu ke-3 les, teman saya mulai menanyakan esensi belajar Bahasa
Inggris yang sedang dijalaninya. Ada nada kekhawatiran, kurang percaya diri,
ketidaksabaran, dan samar kelelahan dalam nada suaranya. Dalam salah satu
tulisan Desi Anwar di bukunya A Simple Life, dia bercerita tentang bagaimana
ayahnya memberikan salah satu contoh menjadi pembelajar seumur hidup (A Perpetual Learner), yaitu dengan
mempelajari Bahasa Jepang lengkap dengan teknik menulis kanji serta hiragana di
usia kepala 6 bukan demi tujuan apapun kecuali hanya agar otaknya tidak
berhenti bekerja.
That
the most important thing in life to invest in, is not in material things, but
in your own brain - She wrote.
Diberi
kesempatan belajar oleh atasan itu rasanya memang unik. Di satu sisi
menyenangkan karena mendapatkan pengalaman baru, di sisi lain mengkhawatirkan
karena tak yakin hasilnya sesuai harapan. Seorang bocah pernah mengajukan
pertanyaan di situs beralamat www.anakbertanya.com “Kenapa saya harus sekolah?” yang dijawab oleh beberapa penggiat aktivitas
pendidikan.
Sebenarnya
bukan sekolah yang jadi keharusan, tapi belajar – tulis Kresna Aditya,
pengelola “Bincang Edukasi”
Untuk
membuat kehidupan dan lingkungan sekitar kita menjadi lebih baik kelak – tulis Andy
Sutioso, pendiri rumah belajar Semi Palar
Tapi kenapa kita harus
belajar?
Karena
dalam kehidupan kita sehari-hari ada yang namanya “masalah”, dan “belajar”
adalah salah satu cara untuk mencari penyelesaian tiap-tiap masalah itu. –
tulis Aprileny, guru
Seseorang
mungkin tidak harus bisa Bahasa Inggris, tapi bisa berbahasa Inggris pasti akan
membuatnya menemukan hal-hal yang lebih baik nantinya. Jangan tanya hal apa
itu, karena manfaat ilmu tidak bisa terasa 1-2 hari setelah dicecap.
Tak
berhenti pada pertanyaan itu, teman saya ini lanjut mengajukan pertanyaan ke-2
: Saya ngga nyaman sama temen-temennya. Nggak
kayak kalo pas sekolah. Gimana ya mbak?
Teman
saya ini, tanpa dia sadari, sedang diberi kesempatan bagus untuk belajar
menjadi dewasa dengan beradaptasi di lingkungan yang bahasa gaulnya “nggak-dia-banget”.
Sambil cengar-cengir saya hanya bilang, “Ya namanya juga tempat baru,
teman-temannya baru. Kayak masuk sekolah 3 hari pertama juga kayak ngga punya
temen kan? Bedanya kalo sekolah kan
ketemu tiap hari, berlangsung tahunan. Ya beda dong ‘enak’nya.”
Saya
sih percaya rasa nyaman itu hampir selalu diawali dari rasa tak nyaman. Yang diperlukan
teman saya palingan sedikit rasa sabar dan santai. Menjalani SD sampai SMA saja
perlu waktu sampai umur 18 (siklus normal yaa, abaikan jika Anda lulusan
akselerasi), ini baru jalan belajar hal baru 2 minggu.
It may feels like a very long journey for
her. Yes it’s hard, but Dear, you better no feel it too deep. Face it.
Yang
terakhir dia bilang, “Saya takut ngecewain kalo ngga bisa lancar Bahasa
Inggris.”
Selalu.
Selalu ada beban ketika ada harapan dari orang lain yang ditaruh di pundak kita
dan bisa jadi membuat kita malu-malu melompat tinggi. Meletakkan harapan dan
memberikan semangat/motivasi itu secara nyata memberikan dampak yang berbeda
pada pihak yang diberi. Meleset sedikit bisa jadi beban yang mengerdilkan
semangat diri hingga muncul pikiran tak mampu untuk melewati sedikit-banyak
kesulitan yang (lumrahnya) dilewati.
Saya
bukan motivator beken seperti Mbak Merry Riana atau Om Mario Teguh, jadi saya
hanya bisa bilang mentok-mentok begini. “Pokoknya jangan terbebani dengan “harus-bisa-bahasa-inggris”
yah. Jalanin dengan santai aja kayak kamu belajar di sekolah tapi dibayarin
beasiswa gitulah.”
Haha.
Sungguh motivasi yang sangat dangkal. Oke lupakan jangan dicontoh.
Lalu
suatu malam, teman saya itu mengirimkan sebuah teks Whatsapp tentang karangan
pendek dia – tampaknya tugas les – dan meminta saya mengoreksi. Sekali, saya
kasih koreksian dengan membubuhkan tanda kurung di tempat dia membuat kesalahan
dan memintanya mengirimkan kembali teks yang sama dengan perbaikan. Dua kali,
saya beri perbaikan dari saya.
Dia
bilang, “Tapi aku lumayan banyak yang bener ya, Mba,” balasnya, beberapa menit
setelahnya.
Ah,
ya benar. Kamu mengingatkan saya yang lupa kasih apresiasi buat usahamu. Gambar
ikon ketawa lebar dan sebuah jempol saya ketikkan di layanan pesan online itu,
dan malam itu saya jadi lebih sedikit riang.
Satu
tembok yang tersusun atas bata-bata kekhawatiran agaknya runtuh sedikit. Yes!
Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
BalasHapusJika ya, silahkan kunjungi website ini www.kumpulbagi.com untuk info selengkapnya.
Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)