Namanya familiar di kepalaku, tapi riwayat hilangnya aku tak pernah
tahu. Kemana ajaaaa, Sin? *nutupinmuka
Pertanyaan ini adalah
pertanyaan yang paling sering muncul memberondong kepala saya sembari membaca
kisah pelarian Wiji Thukul pada rentang tahun 1996-1998. Di lembar-lembar awal,
saya membacanya dengan jeda-jeda dari waktu senggang satu ke waktu senggang
berikutnya. Namun memasuki lembar-lembar pertengahan, saya mulai menciptakan
kesenggangan itu sendiri dan menyelesaikannya. Alasannya tentu saja karena dari
bagian pertengahan ini, cerita mulai seru.
Tidak ada fakta yang
terlalu “baru”, mungkin, yang disajikan dari buku Wiji Thukul : Teka Teki Orang
Hilang terbitan Kompas Gramedia yang ditulis Tempo sebagai salah satu buku seri
prahara Orde Baru ini, bagi mereka yang sudah khatam dengan dinamika
kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Karena ketika saya melanjutkan
pencarian melalui mesin pencari, garis besar hasil pencarian saya sama dengan
yang tersaji di hasil pencarian situs tersebut. Meski begitu, ada beberapa hal
yang menarik untuk saya catat selepas baca buku ini.
1. Di bagian prolog, ada
pertanyaan yang langsung mengusik saya : “Seperti apa situasi di tahun 1998
itu?” Pembelaan bahwa saya waktu amsih kelas 2 SD, tidak tinggal di Jakarta,
dan menjalani hidup dengan aman ternyata membuat saya jadi apatis. Dengung kata
“politik” jadi momok yang membuat alam bawah sadar saya langsung membungkam
rasa penasaran untuk mengeksplorasi fakta-fakta sejarah. Salah banget memang,
dan ini menjadi salah satu hal yang paling saya sesali dewasa ini. Thukul hanya
1 dari puluhan orang yang dihilangkan secara paksa pada masa itu. Membaca buku
ini, saya jadi (agak) paham (sedikit) mengapa begitu geramnya teman-teman aktivis
dengan capres dari latar belakangan militer pada pemilihan presiden 2014 silam.
Meskipun opsi yang satunya lagi juga tidak lebih meyakinkan, namun sebaik-baik
pilihan adalah beliau yang tidak terlibat aksi penghilangan aktivis dan tetap
hidup tapi menolak bicara, bukan? Doa saya, presiden terpilih kita saat ini
tidak lupa janjinya untuk mengurus ketidakadilan semacam ini daripada rebyek mengurusi Ahok seorang.
2. Thukul usia tanggung
adalah pujangga muda yang masih malu-malu. Bersekolah di sekolah menengah yang
baru buka sehingga bisa mengenyam kelas gratis, Thukul membuat puisi “Peringatan” yang sangat
ikonik. “Hanya ada satu cara : lawan!” adalah penggalan yang paling terkenal. Tenyata,
penggalan terkenal ini diinspirasi dari seorang teman penyair Thukul bernama
Pardi yang membuat sajak berjudul ‘Sumpah Bambu Runcing” dengan kata-kata
serupa. Kedekatan Pardi dengan Thukul membuat satu sama lain merasa saling
mempengaruhi yang tercermin dari hasil-hasil karya mereka pada waktu itu.
3. Sampai pada bab
hubungan guru-murid antara “Cempe” Lawu Warta dengan Thukul di Teater Jagat,
saya tersenyum mendapati cerita Lawu tentang bagaimana dia, sebagai seorang
guru, mengenali potensi kepujanggaan Thukul dan membaca rendahnya kepercayaan
diri Thukul pada saat itu. Sebagai solusinya, disuruhnya Thukul dan
murid-muridnya untuk mengamen ke kampung-kampung dengan membacakan sajak-sajak
ciptaan mereka sendiri. Dan berhasil! Kepercayaan diri Thukul semakin tampak,
sajak-sajaknya makin tajam meski saat itu belum bermuatan politis. Mengapa
bagian ini menarik bagi saya, lebih ke pengalaman “mengajar” Lawu tadi, dimana sejatinya,
disitulah fungsi terpenting keberadaan guru selain menyampaikan materi
pelajaran : naluri dan eksplorasi.
4. Acapkali terjadi juga
pertentangan antara guru dan murid itu. Ketika Thukul berpikir untuk mulai
memasukkan unsur politik praktis dalam karya-karyanya, hal ini ditentang oleh
Lawu. Menurut Lawu, tidak penting apakah kesenian itu ditonton khalayak banyak
atau tidak, yang penting adalah bagaimana si seniman menjalankannya. Hal ini
dibantah Thukul dengan argumen bahwa kesenian itu harus ditonton, harus punya
publik, dan musti mampu membentuk kesadaran publik. Lawu masih mengingat betapa
Thukul menganggapnya berpemahaman kuno dan tidak progresif dengan menampikkan
pentingan muatan politik praktis untuk disisipkan dalam karya seni, pada saat
itu. “Lawu kamu itu tidak berani. Karena itu, sampai kapanpun Teater jagat
tidak akan bisa merombak keadaan”, kenang Lawu menirukan Thukul. Perbedaan
faham ini kemudian membuat Thukul akhirnya hengkang dari teater Jagat asuhan
Lawu dan mendirikan sanggar seni sendiri di halaman belakang rumahnya bernama
Sanggar Suka Banjir.
Banyak sekali fragmen
menarik dari buku ini, menelusuri satu demi satu saksi hidup yang masih
memiliki kenangan dengan Thukul menjelang kehilangannya tahun 1998. Bagaimana
si kurus nan keras ini kemudian meminta Sipon (istrinya sekarang) menjadi
pacarnya dan menjahitkan baju serta popok bayi untuk kemudian dikirimkan ke
lokasi pelariannya di Kalimantan, adalah 2 hal manis di antara kisah-kisah
Thukul yang lain. Tapi ada juga fragmen yang membuat saya kesal karena ada
saksi-saksi penting yang menolak dimintai informasi cerita oleh Tempo.
Tentu saja
pengetahuan saya tentang Thukul dan perjuangannya yang sebenarnya masih sangat
dangkal kalau hanya bersumber dari buku tipis ini. Sebenarnya membaca biografi
Thukul ini juga merupakan ketidaksengajaan, karena saya awalnya hanya iseng
untuk mencoba-coba baca hal-hal di luar topik-topik “nyaman” saya. Bukan untuk
menjadi ahli atau tiba-tiba jadi sok peduli, tapi lebih ke menantang diri sendiri
untuk memahami banyak perspektif lain di luar zona nyaman saya sekaligus
menarik pembelajaran positif dari bacaan “asing” ini, yang ternyata masih
berrelasi dengan keseharian saya. Semisal cerita tentang cara didikan Lawu,
konsep berkarya ala Thukul, aktivitas berjejaring dengan orang-orang baik, dsb.
Saya mungkin bukan golongan yang mampu protes keras dan tidak sanggup kalau
harus menggalang massa turun ke jalan macam Thukul, tapi saya banyak belajar
dari kejujuran perilaku dan tuturnya, walau kadang sarkastik, sekaligus tak
habis pikir dengan kebiasannya makan jamur tlethong yang bikin dia
berhalusinasi berlebihan.
Bagaimanapun, Thukul
adalah seorang ayah yang dirindukan anak-anaknya, suami yang tak pernah
berhenti dicintai oleh istrinya, dan teman yang tak pernah bisa dilupakan jejak
perilakunya. Nggak sabar nonton filmnya Januari 2017 nanti (nasib manusia awam
yang tak punya akses untuk berada di barisan depan pemutaran filmnya yang sudah
sempat diputar di festival film ASEAN di Jogja awal Desember lalu, jadi harus
nunggu diputar di bioskop arus utama. Haha).
Casino Online Indonesia
BalasHapusBonus Online Indonesia
Daftar Online Indonesia
Live Online Indonesia
Permainan Online Indonesia
Prediksi Chelsea Vs Huddersfield Town 10 May 2018