Senin, 26 Desember 2016

Kamu Tahu Wiji Thukul, Kan?


Namanya familiar di kepalaku, tapi riwayat hilangnya aku tak pernah tahu. Kemana ajaaaa, Sin? *nutupinmuka

Pertanyaan ini adalah pertanyaan yang paling sering muncul memberondong kepala saya sembari membaca kisah pelarian Wiji Thukul pada rentang tahun 1996-1998. Di lembar-lembar awal, saya membacanya dengan jeda-jeda dari waktu senggang satu ke waktu senggang berikutnya. Namun memasuki lembar-lembar pertengahan, saya mulai menciptakan kesenggangan itu sendiri dan menyelesaikannya. Alasannya tentu saja karena dari bagian pertengahan ini, cerita mulai seru.


Tidak ada fakta yang terlalu “baru”, mungkin, yang disajikan dari buku Wiji Thukul : Teka Teki Orang Hilang terbitan Kompas Gramedia yang ditulis Tempo sebagai salah satu buku seri prahara Orde Baru ini, bagi mereka yang sudah khatam dengan dinamika kasus-kasus pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM). Karena ketika saya melanjutkan pencarian melalui mesin pencari, garis besar hasil pencarian saya sama dengan yang tersaji di hasil pencarian situs tersebut. Meski begitu, ada beberapa hal yang menarik untuk saya catat selepas baca buku ini.

1. Di bagian prolog, ada pertanyaan yang langsung mengusik saya : “Seperti apa situasi di tahun 1998 itu?” Pembelaan bahwa saya waktu amsih kelas 2 SD, tidak tinggal di Jakarta, dan menjalani hidup dengan aman ternyata membuat saya jadi apatis. Dengung kata “politik” jadi momok yang membuat alam bawah sadar saya langsung membungkam rasa penasaran untuk mengeksplorasi fakta-fakta sejarah. Salah banget memang, dan ini menjadi salah satu hal yang paling saya sesali dewasa ini. Thukul hanya 1 dari puluhan orang yang dihilangkan secara paksa pada masa itu. Membaca buku ini, saya jadi (agak) paham (sedikit) mengapa begitu geramnya teman-teman aktivis dengan capres dari latar belakangan militer pada pemilihan presiden 2014 silam. Meskipun opsi yang satunya lagi juga tidak lebih meyakinkan, namun sebaik-baik pilihan adalah beliau yang tidak terlibat aksi penghilangan aktivis dan tetap hidup tapi menolak bicara, bukan? Doa saya, presiden terpilih kita saat ini tidak lupa janjinya untuk mengurus ketidakadilan semacam ini daripada rebyek mengurusi Ahok seorang.

2. Thukul usia tanggung adalah pujangga muda yang masih malu-malu. Bersekolah di sekolah menengah yang baru buka sehingga bisa mengenyam kelas gratis, Thukul  membuat puisi “Peringatan” yang sangat ikonik. “Hanya ada satu cara : lawan!” adalah penggalan yang paling terkenal. Tenyata, penggalan terkenal ini diinspirasi dari seorang teman penyair Thukul bernama Pardi yang membuat sajak berjudul ‘Sumpah Bambu Runcing” dengan kata-kata serupa. Kedekatan Pardi dengan Thukul membuat satu sama lain merasa saling mempengaruhi yang tercermin dari hasil-hasil karya mereka pada waktu itu.

3. Sampai pada bab hubungan guru-murid antara “Cempe” Lawu Warta dengan Thukul di Teater Jagat, saya tersenyum mendapati cerita Lawu tentang bagaimana dia, sebagai seorang guru, mengenali potensi kepujanggaan Thukul dan membaca rendahnya kepercayaan diri Thukul pada saat itu. Sebagai solusinya, disuruhnya Thukul dan murid-muridnya untuk mengamen ke kampung-kampung dengan membacakan sajak-sajak ciptaan mereka sendiri. Dan berhasil! Kepercayaan diri Thukul semakin tampak, sajak-sajaknya makin tajam meski saat itu belum bermuatan politis. Mengapa bagian ini menarik bagi saya, lebih ke pengalaman “mengajar” Lawu tadi, dimana sejatinya, disitulah fungsi terpenting keberadaan guru selain menyampaikan materi pelajaran : naluri dan eksplorasi.

4. Acapkali terjadi juga pertentangan antara guru dan murid itu. Ketika Thukul berpikir untuk mulai memasukkan unsur politik praktis dalam karya-karyanya, hal ini ditentang oleh Lawu. Menurut Lawu, tidak penting apakah kesenian itu ditonton khalayak banyak atau tidak, yang penting adalah bagaimana si seniman menjalankannya. Hal ini dibantah Thukul dengan argumen bahwa kesenian itu harus ditonton, harus punya publik, dan musti mampu membentuk kesadaran publik. Lawu masih mengingat betapa Thukul menganggapnya berpemahaman kuno dan tidak progresif dengan menampikkan pentingan muatan politik praktis untuk disisipkan dalam karya seni, pada saat itu. “Lawu kamu itu tidak berani. Karena itu, sampai kapanpun Teater jagat tidak akan bisa merombak keadaan”, kenang Lawu menirukan Thukul. Perbedaan faham ini kemudian membuat Thukul akhirnya hengkang dari teater Jagat asuhan Lawu dan mendirikan sanggar seni sendiri di halaman belakang rumahnya bernama Sanggar Suka Banjir.

Banyak sekali fragmen menarik dari buku ini, menelusuri satu demi satu saksi hidup yang masih memiliki kenangan dengan Thukul menjelang kehilangannya tahun 1998. Bagaimana si kurus nan keras ini kemudian meminta Sipon (istrinya sekarang) menjadi pacarnya dan menjahitkan baju serta popok bayi untuk kemudian dikirimkan ke lokasi pelariannya di Kalimantan, adalah 2 hal manis di antara kisah-kisah Thukul yang lain. Tapi ada juga fragmen yang membuat saya kesal karena ada saksi-saksi penting yang menolak dimintai informasi cerita oleh Tempo.
Tentu saja pengetahuan saya tentang Thukul dan perjuangannya yang sebenarnya masih sangat dangkal kalau hanya bersumber dari buku tipis ini. Sebenarnya membaca biografi Thukul ini juga merupakan ketidaksengajaan, karena saya awalnya hanya iseng untuk mencoba-coba baca hal-hal di luar topik-topik “nyaman” saya. Bukan untuk menjadi ahli atau tiba-tiba jadi sok peduli, tapi lebih ke menantang diri sendiri untuk memahami banyak perspektif lain di luar zona nyaman saya sekaligus menarik pembelajaran positif dari bacaan “asing” ini, yang ternyata masih berrelasi dengan keseharian saya. Semisal cerita tentang cara didikan Lawu, konsep berkarya ala Thukul, aktivitas berjejaring dengan orang-orang baik, dsb. Saya mungkin bukan golongan yang mampu protes keras dan tidak sanggup kalau harus menggalang massa turun ke jalan macam Thukul, tapi saya banyak belajar dari kejujuran perilaku dan tuturnya, walau kadang sarkastik, sekaligus tak habis pikir dengan kebiasannya makan jamur tlethong yang bikin dia berhalusinasi berlebihan.


Bagaimanapun, Thukul adalah seorang ayah yang dirindukan anak-anaknya, suami yang tak pernah berhenti dicintai oleh istrinya, dan teman yang tak pernah bisa dilupakan jejak perilakunya. Nggak sabar nonton filmnya Januari 2017 nanti (nasib manusia awam yang tak punya akses untuk berada di barisan depan pemutaran filmnya yang sudah sempat diputar di festival film ASEAN di Jogja awal Desember lalu, jadi harus nunggu diputar di bioskop arus utama. Haha).

1 komentar: