Sabtu, 23 Mei 2015

26!!


Entah harus tertawa gembira atau tersenyum kalem dengan bertambahnya simbol satuan di belakang angka 2. Tapi tentu saja saya sungguh bersyukur, sebab 4 tahun terakhir pasca kelar kuliah, saya bisa merasakan momen pertambahan usia di 4 tempat yang berbeda : Jakarta-Kalimantan Timur-Jogja-Lampung. Yey!


Saya tidak pernah melakukan selebrasi yang meriah di hari ulang tahun. Alasannya macam-macam, mulai dari alasan kurang populer sampai kurang dana. Tahun lalu saya melakukan survey kecil ke beberapa teman dengan menanyakan apa arti umur 25 buat mereka sebagai bentuk selebrasi sederhana di momen pertambahan angka itu. Tahun ini, saya hanya ingin membuat daftar singkat 5 hal terbaik yang memaknai transisi dari 25 ke 25+1. 

1. Bertemu Rangers
Setelah 22 jam diam membisu tanpa kata di salah satu grup media sosial dan malah membicarakan hal-hal yang "mencurigakan", akhirnya conference call dalam rangka memberikan ucapan-selamat-ulang-tahun-buat-Sinta pun terjadi diawali dengan suara cetar Halida. Seperti biasa panggilan “Miss Ginger” favoritnya menjadi yang pertama mengalir, diikuti dengan cekakak-cekikik peserta conference call lain dan ucapan-ucapan penuh doa yang baik-baik. Terima kasih, Rangers, you made my day! Terima kasih Umur dan Halida yang sudah nyumbang pulsa untuk conference call, Ajeng yang baru masuk kamar kos dan langsung dipaksa untuk telponan, Ilham behel di tengah kesibukannya mengatur gaji karyawan, Eko yang lagi pusing-pusing-galau di kos VVIP-nya, Khai yang lagi melancong ke timur, dan Rara yang lagi super duper sibuk wira-wiri bawa Go! Archipelago-nya ke penjuru nusantara!! Bertemu kalian sejak 33 bulan silam dan intens bertengkar-tertawa-bertengkar lagi-ketawa lagi 14 bulan di antaranya adalah salah satu selebrasi terbaik yang diberikan Tuhan buat saya. Kapan kita pesta semalam suntuk di kawinan Eko? :p

2. Kembali ke nol
Saya pernah bekerja mulai dari jadi tukang jualan susu, guru SD, guru mahasiswa, hingga bisa kembali lagi ke makanan. Perjalanan agak panjang yang tidak selempeng rekan-rekan yang saat ini sudah settled dengan posisi pekerjaannya, karir akademisnya, jabatan PNS-nya, atau dengan usaha barunya yang berkembang pesat  membuat saya agak keder juga ketika memasuki hitungan seperempat abad lebih. Di kala yang lain sudah berkompetisi di nominal gaji, saya masih dengan lugunya mencari apa yang sesuai hati. Keinginan saya sih sederhana, yaitu bekerja di tempat dimana saya bisa terus berkembang, terus membawa manfaat, dan bisa hidup layak dan bahagia. Tapi kemudian di balik segala macam keinginan yang idealis, ternyata hidup pada akhirnya hanya harus dijalani, dan saya malah dipertemukan dengan limpahan biji-biji kakao. Yassalaaamm… Syukron, syukron.

3. Akhirnya ke Bandung juga
Saya sendiri agak tak percaya selama hampir setahun pernah bekerja di Jakarta, tak sekalipun pernah mampir ke Bandung. Terakhir kali saya ke kota ini adalah waktu SMP, waktu nginthil Bapak saya yang sedang menyelesaikan sekolah lanjutnya kala liburan sekolah. Tak cukup banyak memori yang saya ingat kala itu selain kontrakan mungil Bapak, jalanan tikus yang seperti labirin dari kontrakan ke jalan besar, angkot hijau berstiker Dago-St.Hall, dan warung sate di salah satu perempatan jalan yang membuat mata saya serasa bergaris-garis sekaligus pedih kena asap akibat memandangi banyaknya deretan tusuk sate yang berjejer di atas bakaran.
Terima kasih Shinta Maharani sudah ikhlas memfasilitasi kehadiran saya yang agak impulsif dan merealisasikan rencana perjalanan saya yang acak. Maaf harus membuatmu merasakan “cabe-cabean”, menempuh angkot dari terminal ke terminal, berjalan kaki berkilo-kilo meter demi menemukan tempat-tempat yang ajaib, sampai mengunjungi calon manten yang tak pernah kamu kenal sebelumnya sekaligus jadi penasihat kado untuk seorang teman yang terlalu banyak menimbang saat mau membeli barang ini. Jangan lupa, mari kita doakan semoga mamang ojek yang pernah jauh-jauh belajar perkusi di Jogja bisa jadi pemain perkusi handal di kota kelahirannya, Bandung. Sampai bertemu lagi di warung burjo yang gorengan dan rengginangnya (dan burjonya) enak banget itu!

4. Dikelilingi kerumunan positif
Katanya, orang di sekitar kita adalah yang paling mempengaruhi sikap dan perilaku kita, di samping keluarga. Betul juga rasa-rasanya. Terutama kerumunan dimana kita bisa dengan santai dan terbuka menyampaikan isi pikiran kita, yang kalau salah-salah kata sedikit bisa saling mengoreksi tanpa maksud menggurui, atau yang kalau berbagi informasi tanpa ada tendensi “aku yang paling tahu” melainkan memang benar-benar ingin berbagi. Dan satu lagi, adalah kerumunan yang dimana ketika pertanyaan “kapan nikah?” mulai membuat keringat dingin berjatuhan, bisa menyelamatkan kegalauan sembari mengingatkan bahwa di balik terjangan badai pertanyaan “kapan nikah?” selalu ada rasa kepo doa dan kepedulian. Yak. Stay positive.Lalalala.

5. Pesan terbaik
Munculnya dari seorang kawan lama yang mengirim pesan ucapan selamat ulang tahun dan menyambung obrolan singkat dengan mengirimi saya sebuah poster kegiatan berkarya untuk Jogja.
Kata dia, “Nek kangen Jogja dan punya ide, iso melu iki Sin”.
Kataku, “Tapi aku ra jago nulis e”.
Lalu dia tulis, “Nulis ki ora mesti jago, sek penting jujur dan pengen nulis ya nulis wae”.
Ah, orang ini memang tidak pernah berubah kecuali naluri berkarya-nya yang semakin hebat, tetap sesederhana dia saat bertemu 7 tahun yang lalu. Terima kasih ya Bang sudah mengingatkan.





3 komentar: