Minggu, 21 Juni 2015

Pertanyaan Revi


“Emang sebenernya apa sih yang lu cari?”

Pertanyaan pendek itu terlontar tepat beberapa detik setelah giliran saya bercerita selesai dengan penutup, “ Jadi gitu, Vi. Random idup gue mah.” Obrolan kami sebenarnya hanya berawal dari seputar hal remeh temeh tentang musik kesukaan. Bukan, jelas bukan obrolan serius tentang perkembangan musik dunia ala pengamat musik, melainkan lagu-lagu yang sering lewat saja di telinga kami.  Dari kamarnya, saya sering mendengar ada suara petikan gitar mengalunkan nada-nada lawas yang lebih familiar di telinga saya dibandingkan lagu-lagu kekinian. Sebulan berjalan, saya baru tahu bahwa orang inilah yang sering mengalunkan nada-nada petik itu dari kamar sebelah. Namanya Revi.


Waktu ke Bandung sekitar sebulan lalu, saya pernah menggunakan jasa ojek dan secara kebetulan bertemu dengan tukang ojek yang pernah sekolah musik di Yogyakarta. Kata Si Mamang Ojek, dia pegang alat perkusi waktu itu. Iseng saya bilang, “Wuah keren. Tapi kok jauh banget sampai ke Jogja segala?” Jawab si Mamang,  “Ya pingin aja. Seneng aja gitu main musik. Tapi sekarang udah nggak pernah lagi.”

Motor masih berjalan, memberi saya satu lagi kesempatan untuk bertanya, “Kenapa gitu?” Lalu sambil tertawa Si Mamang bilang, “Biasalah, Mba,” seakan-akan saya tahu apa arti “biasa” yang dikatakannya. Saya pun hanya terdiam dan memilih untuk menutup topik tersebut dan beralih ke topik lain, seperti membicarakan jalanan sempit yang ramai pedagang keliling dan dimana rumah Si Mamang  (ya walaupun saya juga nggak tahu letak daerah yang disebutkan Si Mamang juga sih, tapi asal manggut sajalah. Hahahaha). 

Apa yang saya lakukan di Lampung dan apa yang Si Mamang lakukan di Jogja sebenarnya sama saja, sama-sama mencari. Lalu, apa yang dicari?  Bicara tentang ini, Desi Anwar dalam bukunya A Simple Life menulis begini :

“So we become old, physically and mentally. Even our expressions become set in certain way, leaving traces of anxiety and worry lines that emerge as wrinkles and crow’s feet. But we don’t need to become like that. We may not be able to reverse the time or the clock from moving forward, but we can actually choose how we grow old.”

Memilih dan menjalani pencarian adalah jelas sebuah kemewahan. Dan saat ini beruntungnya saya adalah bisa mendapatkan kemewahan tersebut dengan kegiatan memilih-dan-menjalani itu tadi. Si Mamang Ojek, sama juga dengan mencari ilmu hingga ke ladang tetangga, namun dalam kelanjutannya, ia memilih untuk menjalani pilihan yang lain. Saya tidak bilang si Mamang adalah salah satu yang tidak beruntung, justru sebaliknya, mungkin justru dia beruntung dari sudut pandang yang tidak terlihat oleh saya.

Bahagia itu, tidak sederhana, karena alat ukurnya adalah hati manusia dimana tiap-tiap individu parameternya beda-beda. Bohong kalau saya melewati tahun-tahun terakhir ini tanpa harapan ingin mencapai kemapanan hidup seperti mencapai kebebasan finansial, hidup menetap di tempat yang nyaman dan bahagia bersama keluarga, jadi juragan batu akik bungur Tanjung Bintang, dll). Jelas dong saya masih mencari itu semua. Haha.

Tapi agak dalam dari situ, ada yang lain juga saya cari dalam setiap pilihan kepindahan yang saya jalani. Mungkin klise kalau saya bilang saya cari apapun yang buat saya terus belajar dan menikmati menjalaninya, tapi nyatanya ya cuma itu jawabannya.


Jadi, Vi, itu jawaban gue. Cukup menjawab nggak? :p

2 komentar: