Sabtu, 07 November 2015

Bagaimana Jika Nanti....

Mbak, memangnya saya harus bisa Bahasa Inggris ya?

Seringnya, kekhawatiran selalu muncul di barisan paling depan. Jelas, karena yang muncul belakangan hanya penyesalan atau rasa jumawa berlebihan :p. Seperti sore itu, seorang teman kerja saya yang saat ini tengah giat belajar Bahasa Inggris, melontarkan pertanyaan di atas pada saya.
Bos saya menyuruhnya untuk les percakapan Bahasa Inggris demi kelancaran komunikasi. Bukannya tidak menjunjung tinggi bahasa persatuan loh ya, tapi persentase pemakaian bahasa Inggris dan Bahasa Indonesia yang berbanding 70-30 membuat komunikasi dengan si Bos lebih “mendingan” kalau dilakukan dalam Bahasa Inggris.
Baru masuk minggu ke-3 les, teman saya mulai menanyakan esensi belajar Bahasa Inggris yang sedang dijalaninya. Ada nada kekhawatiran, kurang percaya diri, ketidaksabaran, dan samar kelelahan dalam nada suaranya. Dalam salah satu tulisan Desi Anwar di bukunya A Simple Life, dia bercerita tentang bagaimana ayahnya memberikan salah satu contoh menjadi pembelajar seumur hidup (A Perpetual Learner), yaitu dengan mempelajari Bahasa Jepang lengkap dengan teknik menulis kanji serta hiragana di usia kepala 6 bukan demi tujuan apapun kecuali hanya agar otaknya tidak berhenti bekerja.

That the most important thing in life to invest in, is not in material things, but in your own brain - She wrote.

Diberi kesempatan belajar oleh atasan itu rasanya memang unik. Di satu sisi menyenangkan karena mendapatkan pengalaman baru, di sisi lain mengkhawatirkan karena tak yakin hasilnya sesuai harapan. Seorang bocah pernah mengajukan pertanyaan di situs beralamat  www.anakbertanya.com  “Kenapa saya harus sekolah?”  yang dijawab oleh beberapa penggiat aktivitas pendidikan.

Sebenarnya bukan sekolah yang jadi keharusan, tapi belajar – tulis Kresna Aditya, pengelola “Bincang Edukasi”

Untuk membuat kehidupan dan lingkungan sekitar kita menjadi lebih baik kelak – tulis Andy Sutioso, pendiri rumah belajar Semi Palar

Tapi kenapa kita harus belajar?

Karena dalam kehidupan kita sehari-hari ada yang namanya “masalah”, dan “belajar” adalah salah satu cara untuk mencari penyelesaian tiap-tiap masalah itu. – tulis Aprileny, guru



Seseorang mungkin tidak harus bisa Bahasa Inggris, tapi bisa berbahasa Inggris pasti akan membuatnya menemukan hal-hal yang lebih baik nantinya. Jangan tanya hal apa itu, karena manfaat ilmu tidak bisa terasa 1-2 hari setelah dicecap.

Tak berhenti pada pertanyaan itu, teman saya ini lanjut mengajukan pertanyaan ke-2 : Saya ngga nyaman sama temen-temennya. Nggak kayak kalo pas sekolah. Gimana ya mbak?
Teman saya ini, tanpa dia sadari, sedang diberi kesempatan bagus untuk belajar menjadi dewasa dengan beradaptasi di lingkungan yang bahasa gaulnya “nggak-dia-banget”. Sambil cengar-cengir saya hanya bilang, “Ya namanya juga tempat baru, teman-temannya baru. Kayak masuk sekolah 3 hari pertama juga kayak ngga punya temen kan? Bedanya  kalo sekolah kan ketemu tiap hari, berlangsung tahunan. Ya beda dong ‘enak’nya.”
Saya sih percaya rasa nyaman itu hampir selalu diawali dari rasa tak nyaman. Yang diperlukan teman saya palingan sedikit rasa sabar dan santai. Menjalani SD sampai SMA saja perlu waktu sampai umur 18 (siklus normal yaa, abaikan jika Anda lulusan akselerasi), ini baru jalan belajar hal baru 2 minggu.

 It may feels like a very long journey for her. Yes it’s hard, but Dear, you better no feel it too deep. Face it.  

Yang terakhir dia bilang, “Saya takut ngecewain kalo ngga bisa lancar Bahasa Inggris.”
Selalu. Selalu ada beban ketika ada harapan dari orang lain yang ditaruh di pundak kita dan bisa jadi membuat kita malu-malu melompat tinggi. Meletakkan harapan dan memberikan semangat/motivasi itu secara nyata memberikan dampak yang berbeda pada pihak yang diberi. Meleset sedikit bisa jadi beban yang mengerdilkan semangat diri hingga muncul pikiran tak mampu untuk melewati sedikit-banyak kesulitan yang (lumrahnya) dilewati.
Saya bukan motivator beken seperti Mbak Merry Riana atau Om Mario Teguh, jadi saya hanya bisa bilang mentok-mentok begini. “Pokoknya jangan terbebani dengan “harus-bisa-bahasa-inggris” yah. Jalanin dengan santai aja kayak kamu belajar di sekolah tapi dibayarin beasiswa gitulah.”
Haha. Sungguh motivasi yang sangat dangkal. Oke lupakan jangan dicontoh.

Lalu suatu malam, teman saya itu mengirimkan sebuah teks Whatsapp tentang karangan pendek dia – tampaknya tugas les – dan meminta saya mengoreksi. Sekali, saya kasih koreksian dengan membubuhkan tanda kurung di tempat dia membuat kesalahan dan memintanya mengirimkan kembali teks yang sama dengan perbaikan. Dua kali, saya beri perbaikan dari saya.
Dia bilang, “Tapi aku lumayan banyak yang bener ya, Mba,” balasnya, beberapa menit setelahnya.
Ah, ya benar. Kamu mengingatkan saya yang lupa kasih apresiasi buat usahamu. Gambar ikon ketawa lebar dan sebuah jempol saya ketikkan di layanan pesan online itu, dan malam itu saya jadi lebih sedikit riang.

Satu tembok yang tersusun atas bata-bata kekhawatiran agaknya runtuh sedikit. Yes!

1 komentar:

  1. Perkenalkan, saya dari tim kumpulbagi. Saya ingin tau, apakah kiranya anda berencana untuk mengoleksi files menggunakan hosting yang baru?
    Jika ya, silahkan kunjungi website ini www.kumpulbagi.com untuk info selengkapnya.

    Di sana anda bisa dengan bebas share dan mendowload foto-foto keluarga dan trip, music, video, filem dll dalam jumlah dan waktu yang tidak terbatas, setelah registrasi terlebih dahulu. Gratis :)

    BalasHapus