Sabtu, 24 September 2016

Ke Krakatau, Hore!






Menepi jam 6 pagi
Seminggu yang lalu, saya dan beberapa teman dari Jakarta pergi piknik. Sebenarnya rencana piknik hanya berawal dari obrolan singkat yang tidak lebih dari : eh ke Lampung yuk / haha ayuk, tengokin aku / kapan? / habis idul adha aja / ok wrapped!
E lha tenanan bar idul adha. Memang geng piknik yang ini betul-betul minim wacana.



Sebagai sesama alumni sebuah gerakan dimana kami pernah berkegiatan bersama, ada sebuah milis barengan yang jadi semacam wadah untuk menjaring sebanyak mungkin massa dan mengirimkan info-info apapun. Iya, serius apapun! Nah, lalu diunggahlah rencana kasar calon perjalanan ke Lampung (waktu itu baru saya, Mesa, dan Ilham yang jadi calon anggota piknik) oleh Mesa. Gayung bersambut, Rara, Hana (adik Rara), dan Dimas yang akhirnya betulan datang menanggapi pos Mesa di milis tersebut. Emang Mesa nih initiating actionnya 9,5 dari skala 10. :3
Mereka datang hari Jumat, rute pertama ke Way Kambas. Karena masih hari kerja, jadi saya nggak ikut dan baru gabung di hari ke-2 untuk ke Krakatau. Sempat sebelumnya saya ragu apakah tujuan pertama mereka, Taman Nasional Way Kambas, bisa memberikan pengalaman piknik yang cukup menarik buat mereka. Maklum, bocah-bocah ini rada “beda” daripada bocah piknik pada umumnya. They travel a lot, they explore a lot more! Tapi….Way Kambas? *pasang dahi berkerut*
Halo, Ibu!
Saya bagi sedikit catatan perjalanan kami, dan apa yang saya pelajari dari teman-teman ini. 

1. Zero expectation
Manusia kerap kali berekspektasi terhadap apa yang akan dan sudah mereka investasikan. Tidak hanya perkara materi, hati pun bisa berharap berlebih jika tidak dikontrol dengan baik. Asek. Tapi yang teman-teman saya lakukan ketika menuju Way Kambas sudah sangat tepat dengan memasang niat awal : “Guys, zero expectation ya”.
Selain membaca doa mau bepergian, menekan ekspektasi adalah cara terbaik menikmati perjalanan. Dengan demikian, rasa-rasanya eksplorasi jadi mengalir lebih alami, bukankah demikian? Saya bahkan bertanya : “Gimana? Krik-krik nggak disana? (krik-krik : semacam istilah penulis untuk membahasakan suasana hening dan wagu ketika bertemu dengan situasi dan kondisi yang jauh di bawah ekspektasi, -pen).”
Mungkin tidak spektakuler, tapi teman-teman ini ternyata ya cukup menikmati. Jalan-jalan terabas hutan naik gajah, ditemani pawang yang cerita banyak hal, dan gajah lucu bernama Kartija (tolong dikoreksi kalo salah) yang diselamatkan di hutan oleh para pawang saat terluka hingga sekarang jadi salah satu penghuni Way Kambas favorit. Haha, bagus bagus. Cerita lengkap tentang Way Kambas? Biar mereka saja yang cerita. Nanti kalau ada tautannya, saya sertakan di sini.

2. Traveling isn’t just taking hi-world-I’ve-been-here picture. Traveling, you know, is a story behind.
Kelima teman saya di atas terdiri dari : 1 mahasiswa pecinta alam, 2 freelancer berprestasi, 1 pemilik usaha, dan 1 pekerja kantoran fleksibel (kayak saya) :p. Siapa yang mana, nggak penting ya. Dari ragam latar belakang ini, ada satu kesamaan kami. We DO like stories, for sure. Destinasi wisata itu nomor 2, nomor 1 adalah cerita.
Dimas, di hari ke-2 memisahkan diri dengan mencari rute perjalanan sendiri. Solo trip gitulah. Sisanya, termasuk saya, memutuskan ikut open trip ke Krakatau. Alasan gabung open trip adalah karena malas ribet, dulu waktu muda udah pernah. Hahhaha.
Secara keseluruhan, perjalanan lancar kecuali cuaca mendung yang menyambut kami di hari pertama hingga menunda jadwal snorkeling. Oh, ya, Krakatau itu gunung yang dikelilingi laut, jadi memang ada beberapa titik untuk snorkeling. Lumayanlah buat yang biasanya selalu nyebur di air kolam isi kaporit atau cuma berkesempatan lihat sungai perkotaan yang tanpa arus :p.
            Baru dari perjalanan ini saya tahu bahwa dulunya, duluuuuuu sekali, Krakatau sebagai gunung api tunggal pernah meletus sangat dahsyat dan ”melahirkan” 3 gugusan gunung yang dinamakan Rakata, Sertung, dan Panjang dengan 2 pulau kecil hasil aktivitas pertumbuhan lava, Pulau Danan dan Pulau Perbuatan. Barulah pada 1883, letusan dahsyat sesi 2 yang terdengar sampai Australia sana,  menghancurkan hampir 2/3 bagian gunung, namun ketiga gunung yang saya sebut di atas masih kokoh berdiri. Aktivitas vulkanik pasca letusan tersebut terus berlangsung hingga saat ini “lahir” Gunung Anak Krakatau yang bisa disinggahi para turis penasaran, kayak kami. Kalo masalah kenapa bisa “lahir”, menyesal sekali kami tidak jalan bareng anak Geologi yang pastinya bisa membagi informasi lebih detil. :3
Dari Gunung Anak Krakatau ini kami bisa melihat berkeliling dan melihat si Rakata (yang juga sering disebut Ibu Krakatau), Panjang, dan Sertung berdiri. Pasir vulkanik hitam keabuan mengisi sepanjang rute treking pendek kami yang berketinggian sekitar 600 mdpl. Ketinggian segitu pun, alhamdulillah, cukup membuat saya bercucuran keringat dan muka memerah. (Haha lemaaah). Pengunjung tidak diijinkan naik hingga puncak yang menyimpan kawah dan mengepulkan asap putih dari dalam perutnya. Itu bahkan baru aktivitas si Anak. Gimana si Ibu ya?
Pak Raboi (lihat baju oranye)
Lalu terakhir, adalah Pak Raboi (aduh rada lupa namanya) penduduk asli Pulau Sebesi (pulau berpenghuni terdekat dengan Krakatau, yang katanya waktu Krakatau meletus di dini hari tahun 2012 lalu, di Sebesi baik-baik saja meski di kota Lampungnya malah agak amburadul. Hmm, ini cerita menarik, bahwa lokasi terdekat dengan gunung malah aman, hanya kebagian asap, sementara yang jauh kena imbas lebih parah) sekaligus penjaga gunung yang menemani kami bercerita ngalor-ngidul sepanjang turun gunung.

3. Take a minute walk and see how people…live a life
Cuma bareng mereka ini, di tengah piknik bisa muncul pertanyaan : “Di pulau ini ada sekolah nggak ya?” Mungkin Anda mikir, lah apa urusannya? Emang situ mau jadi guru? Ya enggak juga sih. Bangunan bernama “sekolah” itu, mungkin bagi kami lebih seperti…emm…representasi cerita kehidupan masyarakat lokal yang paling sederhana. Melampaui itu, sekolah adalah penyambung interaksi. Dari sekolah, kami bisa ngobrol sejarah, kearifan lokal, kebiasaan masyarakat, perkembangan pariwisata di Krakatau, dan banyak lainnya dengan siapapun yang kami temui. Dan itu menyenangkan, sungguh.
Ohya, di Sebesi (pulau tempat homestay kami berada) ada sekolah. Namun karena kami jalan-jalannya malam, ngga sempat ambil gambar sekolah setempat, yang sudah eksis sampai tingkat menengah atas. Ketika kami tanya sejak kapan tinggal di Sebesi, rata-rata semua menjawab sudah sejak dari kecil. Kebanyakan yang kami temui justru adalah orang Serang, bukan Lampung, entah kenapa.

4. Akses
Kalau dari Bakauheni, tinggal naik angkot sebentar arah Dermaga Canti. Kalau dari kota Bandar Lampung, bisa sewa travel (80ribu PP pada umumnya) atau mobil pribadi ke arah Kalianda, Lampung Selatan, lanjut ke Dermaga Canti. Dermaganya kecil, gampang ditemukan. Atau kalau mau ala-ala bule, selo finansial, dan menghemat waktu bisa juga dari Pantai Carita, Banten, bisa sewa kapal cepat/speedboat sekitar 2 jutaan muat 4-5 orang (kabar baiknya, menurut sedangkal pemantauan saya, dengan moda kapal cepat ini bisa mengurangi pengeluaran transpor Merak-Bakauheni kalau Anda dari Jakarta, hemat waktu menyebrang pakai feri yang bisa makan waktu 2-3 jam sekali jalan, sekalian piknik ke Pantai Carita).
Jika Anda datang sendiri, disarankan ikut rombongan trip yang mau menyeberang. Karena waktu tempuh Canti-Sebesi-Krakatau yang cukup panjang, biaya kapal jadi yang cukup berat untuk dibayar sendiri. Tapi sekali lagi, kalau Anda selo finansial, maka tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Jangan lupa, bawa tempat sampah. Lho buat apa? Ada dua manfaatnya lho, Sodara-sodara. Satu, bisa buat buang sampah yang Anda bawa sendiri, dan dua, bisa buat mengumpulkan sampah yang Anda temui selama 2 hari. Hihi.



Sudah ya, segitu dulu. Kalau suatu hari Anda main ke Lampung, singgahlah ke Krakatau, lebih baik lagi jika sudah browsing sedikit sebelumnya tentang gunung api aktif satu ini, jadi dateng bisa berbagi sama pemandu wisatanya (yang belum tentu tahu tentang gunung lucu ini walau sudah berpuluh kali bolak balik antar pengunjung. Haha). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar