Selasa, 16 September 2014

"Kecemplung" Pameran





Sepertinya catatan hutang tulisan saya semakin bertambah. Di awal bulan September saya sempat meniatkan untuk menulis setiap hari. Namun setelah 5 hari pertama, berikutnya tiada. Dan pada akhirnya, baru 10 hari kemudian, yaitu hari ini, mulai menulis kembali.

Apa yang terjadi selama seminggu kemarin? Jaga pameran.
Menjadi event organizer? Tidak juga, karena kalau dibayar, saya pasti sudah terbang ke Pulau Togean, Sulawesi, saat ini dengan bayaran tersebut. Haha. Ini pertama kalinya saya ikut mengurus suatu acara semacam pameran foto, setelah sebelumnya lebih banyak berkutat mengurus acara-acara seperti seminar, diskusi, latihan kepemimpinan, training, dll. Dan kalau biasanya acara pameran hanya melibatkan saya sebagai pihak yang datang, berkunjung, lalu terkagum-kagum, kali ini saya diberi kesempatan untuk belajar dari belakang layar bersama orang-orang hebat yang bersedia “ikut campur” di dalamnya.
Saya bisa dibilang “kecemplung” ketika akhirnya in charge secara penuh di kegiatan ini sejak 2-3 minggu sebelum hari H. Era “jadi panitia” buat saya sudah berakhir ketika Kelas Inspirasi Yogyakarta, 24 April 2014 lalu sudah terlaksana. Tapi ada satu hal, yang dalam tulisan terpisah akan saya ceritakan lebih detail, yang membuat saya kemudian memutuskan ikut mendukung acara pameran ini sepenuhnya.


Suasana Pamera (foto : Fransisca Tika)
Pameran yang berlangsung 8-14 September 2014 di Museum Pendidikan Indonesia UNY ini sebenarnya adalah kelanjutan dari gerakan sosial bernama Kelas Inspirasi Yogyakarta. Kegiatan puncak Kelas Inspirasi disebut dengan Hari Inspirasi, hari dimana ratusan profesional diundang untuk mengajar selama 1 hari ke SD-SD di Yogyakarta sebagai relawan. Selama berlangsungnya kegiatan, ada juga relawan fotografer dan videografer yang merekam jejak-jejak tersebut. Muara dari kegiatan sehari itu akhirnya berujung pada pameran 7 hari kemarin, Pameran Kelas Inspirasi. Konsepnya sederhana, jajaran foto dan tampilan video dengan barang-barang kecil sebagai ornamen yang mewakili keprofesian. Ide tentang barang-barang keprofesian ini sebenarnya hanya berawal dari gurauan kecil dengan beberapa teman di malam pembukaan pameran, tepat sebelum saling berpamitan pulang ke rumah masing-masing. Tapi dari gurauan yang diseriusi, jadi juga konsep lumayan di keesokan hari. Lalala. J
Selain pameran, ada pula workshop komunitas dan talkshow dengan 2 tema berbeda, tentang Kelas Inspirasi (yang diisi oleh relawan pengajar Daniel Denny Setiawan, Feriawan Agung Nugroho, dan salah satu kepala sekolah SD yang pernah disinggahi kegiatan Kelas Inspirasi) dan Pengajaran Kreatif. Sebanyak 12 komunitas pendidikan datang untuk open house dan melakukan workshop dalam rangkaian acara pameran, antara lain Solo Mengajar, Arsip UGM, Hoshizora Foundation, Koin Cinta Pendidikan, Save Street Child, Jogja Menyala, Kamera Analog Jogja, Sanggar Anak Alam, Book For Mountain, Gerakan KAMMI Mengajar, Kelas Inspirasi, dan Coin A Chance. Dari kehadiran mereka, saya ternyata bisa belajar bagaimana sebuah inisiatif gerakan menjadi berarti karena ada wadahnya, yaitu komunitas-nya. Seperti dalam sebuah tayangan presentasi TED-x nya Ridwan Kamil, beliau bilang :

“Temukan dulu masalahnya, pilih satu yang spesifik, cari solusi, bikin komunitas. Mengapa harus bikin komunitas? Karena tanpa komunitas, ya ngga ada penggeraknya. Nggak jalan solusinya.”

Salah satu stand komunitas - Sanggar Anak Alam
Foto : Fransisca Tika
 
Talkshow-nya sendiri tidak terlalu mengalami kesulitan teknis, hanya sempat terjadi miskomunikasi dengan calon peserta dan harapannya tidak lagi terulang di masa yang akan datang (kalau ada pameran lagi). Talkshow  yang semula direncanakan akan dihadiri oleh Pak Anies Baswedan harus puas dengan video berisi pesan dari beliau sebagai pengganti karena beliau tidak jadi bisa hadir. Seperti biasa, saya selalu menganggap ulasan Pak Anies, walau hanya beberapa menit, adalah jeda menyenangkan yang tidak pernah rugi untuk didengarkan. Sebuah pesan singkat sederhana mengenai kegiatan Kelas Inspirasi dan pentingnya sebuah dokumentasi beliau utarakan dengan pilihan kata-kata yang tidak pernah tidak tepat. Salah satu yang benar-benar “membius” saya adalah saat bagian ini dikatakan :

"Inspirasi itu datangnya dari interaksi, bukan hasil dari berdiam diri."


Ada juga pesan menarik dari Pak Andy, salah satu pengisi acara talkshow tentang pengajaran kreatif dari Rumah Belajar Semi Palar, Bandung.

“Sekolah seringkali mengkotak-kotakkan pelajaran. Padahal di kehidupan nyata, semua ilmu itu tak bersekat. Metode belajar holistik mempersiapkan anak untuk dapat beradaptasi di kehidupan nyata.”

(terima kasih buat Mba Wulan yang sudah berbagi catatan dan foto yang menarik dari Pak Andy di atas)
Saya masih ingat betul bagian dimana beliau mengatakan hal di atas, yaitu saat ditunjukkan slide pertama dalam presentasinya untuk menjelaskan Semi Palar lewat gambar gelas-gelas cat warna-warni dan selembar kertas yang sudah penuh coretan warna.

Pak Andy-Semi Palar sedang berbicara mengenai konsep holistik
Foto : Mba Wulan 

Pengisi talkshow yang lain adalah Pak Ahmad Bahruddin dari Komunitas Belajar Qaryyah Thayybah yang banyak memberikan contoh karya kreatif anak-anak didiknya seperti tulisan dan gambar. Kata beliau,

“Di sekolah kami guru dilarang mengajar. Guru harus belajar. Belajar memahami potensi anak, memfasilitasi kebutuhan dan kemampuan mereka.”


Foto oleh : Mba Wulan
Kedua sekolah tersebut terhubung melalui satu benang merah : kebebasan. Saya sendiri sempat membatin, apa jadinya seseorang dengan kebebasan tanpa ada penanaman sistem kontrol, baik dari luar maupun dari dalam dirinya? Yang mungkin terjadi adalah dia bisa jadi orang yang lupa filosofi padi (bahasa gampangnya jadi orang yang “sok”) dan tidak mengerti unggah-ungguh ketimuran (jika kita bicara dalam konteks orang timur). Sebaliknya, pengekangan kebebasan bisa berdampak buruk pada matinya kreativitas dan berakhir pada ke-tidak produktif-an.
Namun tiap-tiap sekolah senyatanya (dan semestinya) memiliki cara sendiri untuk mengelola bagaimana kebebasan tersebut  dalam porsi yang pas, menjadi hal menyenangkan yang tetap terarah. Konsep tematik yang ditawarkan sekolah Semi Palar sudah demikian bagus contohnya, konkret, dan bisa dijalankan sesuai kurikulum pendidikan yang saat ini juga mengusung konsep tematik di tingkatan pendidikan dasar. Diam-diam saya menunggu saat dimana Semi Palar bisa menjadi salah satu rujukan dan contoh praktek penerapan tematik yang menarik bagi para guru yang masih bingung dengan konsep tersebut dalam aktivitas di kelasnya.
Dulu waktu diberi kesempatan sejenak jadi guru SD, terasa mudah untuk mengonsep tematik di atas lembar-lembar RPP tapi cukup kelabakan saat praktek dan melakukan pengukuran terhadap kemajuan siswa. Terminologi “kemajuan” di sini tidak melulu tentang angka, tapi kemajuan siswa juga perlu dituangkan dalam catatan, toh?
Terima kasih untuk sesinya yang menarik, Pak Andy dan Pak Bahrudin. Semoga pembaharuan-pembaharuan seperti yang Anda lakukan bisa lebih masif lagi terjadi di kemudian hari.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar